Kamis, 09 Maret 2017

Mengendalikan Harga Cabai

Mengendalikan Harga Cabai
Khudori  ;    Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat;
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia
                                             MEDIA INDONESIA, 08 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SETELAH lebih dua bulan seperti tak berdaya, kini pemerintah menemukan biang harga cabai tinggi. Perlahan-lahan, negara melalui aparat penegak hukum mulai menjangkau tangan-tangan tak kelihatan yang mempermainkan harga cabai. Penyidik Bareskrim Polri menangkap dua pengepul cabai rawit di Surakarta, Jawa Tengah. Lewat kerja sama dengan enam perusahaan di Jakarta, dua orang itu mempermainkan harga cabai lewat dua modus. Pertama, cabai yang mestinya masuk ke pasar induk disetor ke perusahaan. Cabai Rp10 ribu/kg dijual tinggi: Rp181 ribu/kg. Kedua, pengepul-petani bekerja sama menjual cabai ke Jakarta dalam partai besar. Keuntungan dibagi dua (Media Indonesia, 4/3/2017).

Karakteristik produk hortikultura yang mudah rusak seperti cabai memang membuka peluang besar bagi pihak-pihak yang menguasai informasi, jalur distribusi, dan pasar untuk mempermainkan harga. Secara agregat, sebetulnya produksi cabai kita, baik cabai merah maupun rawit, surplus. Masalahnya, pertama, produksi tidak merata sepanjang tahun. Sementara itu, permintaan cabai stabil. Kedua, seperti komoditas hortikultura umumnya, cabai gampang rusak. Agar tidak rusak, cabai harus segera didistribusikan dari sentra produsen ke sentra konsumen. Atau diolah jadi bahan olahan. Kedua langkah itu berbenturan dengan persoalan yang tidak mudah. Distribusi ke daerah-daerah bukan penghasil cabai terkendala oleh infrastruktur yang tidak merata, baik sarana transportasi, jalan, pelabuhan, maupun infrastruktur nonfisik. Ujungnya bisa dua: kalau cabai tidak busuk, harganya tinggi. Harga kian tak terkendali bila penguasa jalur distribusi dan pasar mempermainkan harga. Mengolah cabai juga masih berbenturan dengan selera konsumen, lebih suka cabai segar.

Apa pun persoalannya, diakui atau tidak, sistem distribusi cabai memang belum efisien. Survei pola distribusi perdagangan pangan pokok dan strategis di 34 provinsi dan 186 kabupaten/kota (BPS, 2015) mengafirmasikan itu. Survei menemukan distribusi perdagangan beras, cabai merah, bawang merah, jagung pipilan, dan daging ayam ras dari produsen sampai ke konsumen akhir melibatkan 2-9 fungsi kelembagaan usaha perdagangan. Margin perdagangan dan pengangkutan cabai merah sebesar 25,33%. Margin yang dinikmati pedagang cabai terlalu besar. Idealnya margin tak lebih dari 10%. Setiap titik distribusi mengutip margin yang membuat harga akhir di konsumen melambung. Pasar menjadi tidak terkendali karena ditopang rantai pasok dan jalur rantai distribusi yang centang perenang. Implikasinya, pasar tidak berjalan sempurna karena ruang informasi dalam posisi asimetris (Stiglitz, 2005). Ditambah pasar yang oligopoli, negara kian tidak berdaya mengendalikan harga pangan.

Instabilitas harga cabai merupakan fenomena tahunan yang berulang. Setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan agar penyakit tahunan itu bisa diputus mata rantainya. Pertama, memetakan daerah dan kapasitas produksi cabai. Dengan data itu, pemerintah dengan mudah bisa mengatur distribusi silang antardaerah. Jika sebuah daerah kekurangan produksi cabai, daerah lain yang membutuhkan dengan cepat bisa disuplai dari daerah surplus cabai. Pada saat musim hujan, agar suplai cabai tetap ada, petani bisa didorong menanam cabai yang tahan hujan atau menggunakan teknologi yang ramah hujan.

Yang tidak kalah penting ialah memetakan daerah penyangga sebagai produsen cabai. Daerah penyangga itu harus berada di wilayah konsumen yang kebutuhannya amat besar. Ada dua fungsi daerah penyangga. Selain untuk memasok rutin kebutuhan wilayah setempat, juga sebagai 'senjata' apabila terjadi gejolak harga cabai di pasar. Kedua, mengedukasi konsumen pentingnya mengonsumsi cabai olahan. Memang, antara cabai olahan dan cabai segar berbeda rasa dan aroma. Namun demikian, sensasi pedas antara cabai olahan dan yang segar tidak berbeda. Lebih dari itu, mengonsumsi cabai olahan juga membantu pemerintah mengatasi instabilitas harga yang juga akan membantu dalam menjinakkan inflasi.

Ketiga, memanfaatkan pekarangan untuk menanam cabai. Mengelola negeri dengan puluhan ribu pulau, kondisi ekologis dan infrastruktur yang amat beragam tentu tak semudah menakhodai Singapura atau Korea Selatan yang daratan. Saat ada gangguan distribusi, gejolak harga jadi keniscayaan. Harga makin sulit dijinakkan bila pada saat yang sama ada gangguan produksi. Rutinitas tahunan gejolak harga pangan, termasuk cabai, tidak sepenuhnya salah pemerintah. Sikap warga yang mudah panik, membeli besar-besaran, menimbun, membuat situasi makin tidak mudah.

Menyerahkan segala hal menjadi tanggung jawab pemerintah jelas tidak pada tempatnya. Warga, dengan segenap sumber daya yang dimiliki, seharusnya bisa jadi bagian solusi. Di sebagian besar rumah warga ada pekarangan atau halaman yang bisa dimanfaatkan. Selama ini pekarangan kurang dilirik. Padahal, potensinya cukup besar. Pada 2010 luas pekarangan di Indonesia 10,3 juta hektare, lebih besar daripada luas sawah.

Betapa pun kecilnya luas pekarangan, warga bisa mengusahakan untuk praktik bertanam. Selain tanaman obat, aneka komoditas hortikultura (seperti cabai dan tomat) serta pelbagai sayuran (kangkung, sawi, bayam) bisa ditanam bersamaan. Bisa pakai sistem akuaponik, hidroponik, atau aeroponik. Biaya terjangkau, dan secara teknis mudah dipraktikkan. Yang dibutuhkan ialah ketekunan. Cabai, misalnya, bisa dipanen mulai umur 90 hari sampai 6 bulan. Tiap minggu cabai bisa dipetik 2-3 kali. Satu pohon menghasilkan 115 cabai, lebih dari cukup untuk kebutuhan 5 keluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar