Mengendalikan
Harga Cabai
Khudori ;
Anggota
Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat;
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik
Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 08 Maret 2017
SETELAH lebih dua bulan seperti tak berdaya, kini
pemerintah menemukan biang harga cabai tinggi. Perlahan-lahan, negara melalui
aparat penegak hukum mulai menjangkau tangan-tangan tak kelihatan yang
mempermainkan harga cabai. Penyidik Bareskrim Polri menangkap dua pengepul
cabai rawit di Surakarta, Jawa Tengah. Lewat kerja sama dengan enam
perusahaan di Jakarta, dua orang itu mempermainkan harga cabai lewat dua
modus. Pertama, cabai yang mestinya masuk ke pasar induk disetor ke
perusahaan. Cabai Rp10 ribu/kg dijual tinggi: Rp181 ribu/kg. Kedua,
pengepul-petani bekerja sama menjual cabai ke Jakarta dalam partai besar.
Keuntungan dibagi dua (Media Indonesia, 4/3/2017).
Karakteristik produk hortikultura yang mudah rusak seperti
cabai memang membuka peluang besar bagi pihak-pihak yang menguasai informasi,
jalur distribusi, dan pasar untuk mempermainkan harga. Secara agregat,
sebetulnya produksi cabai kita, baik cabai merah maupun rawit, surplus.
Masalahnya, pertama, produksi tidak merata sepanjang tahun. Sementara itu,
permintaan cabai stabil. Kedua, seperti komoditas hortikultura umumnya, cabai
gampang rusak. Agar tidak rusak, cabai harus segera didistribusikan dari
sentra produsen ke sentra konsumen. Atau diolah jadi bahan olahan. Kedua
langkah itu berbenturan dengan persoalan yang tidak mudah. Distribusi ke
daerah-daerah bukan penghasil cabai terkendala oleh infrastruktur yang tidak
merata, baik sarana transportasi, jalan, pelabuhan, maupun infrastruktur
nonfisik. Ujungnya bisa dua: kalau cabai tidak busuk, harganya tinggi. Harga
kian tak terkendali bila penguasa jalur distribusi dan pasar mempermainkan
harga. Mengolah cabai juga masih berbenturan dengan selera konsumen, lebih
suka cabai segar.
Apa pun persoalannya, diakui atau tidak, sistem distribusi
cabai memang belum efisien. Survei pola distribusi perdagangan pangan pokok
dan strategis di 34 provinsi dan 186 kabupaten/kota (BPS, 2015)
mengafirmasikan itu. Survei menemukan distribusi perdagangan beras, cabai
merah, bawang merah, jagung pipilan, dan daging ayam ras dari produsen sampai
ke konsumen akhir melibatkan 2-9 fungsi kelembagaan usaha perdagangan. Margin
perdagangan dan pengangkutan cabai merah sebesar 25,33%. Margin yang
dinikmati pedagang cabai terlalu besar. Idealnya margin tak lebih dari 10%.
Setiap titik distribusi mengutip margin yang membuat harga akhir di konsumen
melambung. Pasar menjadi tidak terkendali karena ditopang rantai pasok dan
jalur rantai distribusi yang centang perenang. Implikasinya, pasar tidak
berjalan sempurna karena ruang informasi dalam posisi asimetris (Stiglitz,
2005). Ditambah pasar yang oligopoli, negara kian tidak berdaya mengendalikan
harga pangan.
Instabilitas harga cabai merupakan fenomena tahunan yang
berulang. Setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan agar penyakit tahunan
itu bisa diputus mata rantainya. Pertama, memetakan daerah dan kapasitas
produksi cabai. Dengan data itu, pemerintah dengan mudah bisa mengatur
distribusi silang antardaerah. Jika sebuah daerah kekurangan produksi cabai,
daerah lain yang membutuhkan dengan cepat bisa disuplai dari daerah surplus
cabai. Pada saat musim hujan, agar suplai cabai tetap ada, petani bisa
didorong menanam cabai yang tahan hujan atau menggunakan teknologi yang ramah
hujan.
Yang tidak kalah penting ialah memetakan daerah penyangga
sebagai produsen cabai. Daerah penyangga itu harus berada di wilayah konsumen
yang kebutuhannya amat besar. Ada dua fungsi daerah penyangga. Selain untuk
memasok rutin kebutuhan wilayah setempat, juga sebagai 'senjata' apabila
terjadi gejolak harga cabai di pasar. Kedua, mengedukasi konsumen pentingnya
mengonsumsi cabai olahan. Memang, antara cabai olahan dan cabai segar berbeda
rasa dan aroma. Namun demikian, sensasi pedas antara cabai olahan dan yang
segar tidak berbeda. Lebih dari itu, mengonsumsi cabai olahan juga membantu
pemerintah mengatasi instabilitas harga yang juga akan membantu dalam
menjinakkan inflasi.
Ketiga, memanfaatkan pekarangan untuk menanam cabai.
Mengelola negeri dengan puluhan ribu pulau, kondisi ekologis dan
infrastruktur yang amat beragam tentu tak semudah menakhodai Singapura atau
Korea Selatan yang daratan. Saat ada gangguan distribusi, gejolak harga jadi
keniscayaan. Harga makin sulit dijinakkan bila pada saat yang sama ada
gangguan produksi. Rutinitas tahunan gejolak harga pangan, termasuk cabai,
tidak sepenuhnya salah pemerintah. Sikap warga yang mudah panik, membeli
besar-besaran, menimbun, membuat situasi makin tidak mudah.
Menyerahkan segala hal menjadi tanggung jawab pemerintah
jelas tidak pada tempatnya. Warga, dengan segenap sumber daya yang dimiliki,
seharusnya bisa jadi bagian solusi. Di sebagian besar rumah warga ada
pekarangan atau halaman yang bisa dimanfaatkan. Selama ini pekarangan kurang
dilirik. Padahal, potensinya cukup besar. Pada 2010 luas pekarangan di
Indonesia 10,3 juta hektare, lebih besar daripada luas sawah.
Betapa pun kecilnya luas pekarangan, warga bisa
mengusahakan untuk praktik bertanam. Selain tanaman obat, aneka komoditas
hortikultura (seperti cabai dan tomat) serta pelbagai sayuran (kangkung,
sawi, bayam) bisa ditanam bersamaan. Bisa pakai sistem akuaponik, hidroponik,
atau aeroponik. Biaya terjangkau, dan secara teknis mudah dipraktikkan. Yang
dibutuhkan ialah ketekunan. Cabai, misalnya, bisa dipanen mulai umur 90 hari
sampai 6 bulan. Tiap minggu cabai bisa dipetik 2-3 kali. Satu pohon
menghasilkan 115 cabai, lebih dari cukup untuk kebutuhan 5 keluarga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar