Pemberdayaan
dan Kemandirian Perempuan
Razali Ritonga ;
Alumnus
Georgetown University, AS, Jurusan Kependudukan dan Ketenagakerjaan; Bekerja
sebagai Kapusdiklat BPS RI
|
MEDIA
INDONESIA, 08 Maret 2017
TANGGAL 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan
Internasional (HPI). Untuk memperingati HPI tahun ini, Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB) menetapkan tema dengan fokus Women in the Changing World
of Work: Planet 50-50 by 2030. Penetapan tema dengan fokus itu didasarkan
atas perubahan dunia kerja. Di satu sisi kesempatan bekerja dan berusaha kian
terbuka lebar akibat globalisasi, perkembangan teknologi, dan revolusi
digital. Namun, di sisi lain, terjadi perkembangan informalitas kegiatan
perempuan, instabilitas kehidupan dan pendapatan, kebijakan baru perdagangan
dan keuangan, serta dampak lingkungan. Semua perubahan dunia kerja itu harus
diperhitungkan untuk memberdayakan perempuan dalam kegiatan ekonomi (laman UN
Watch, 6/3). Dalam konteks mengantisipasi perubahan dunia kerja itu,
tampaknya kita telah selaras dengan tema terhadap fokus dalam HPI oleh PBB.
Sebab, sebelumnya pemerintah sudah menetapkan Strategi 3 Ends, yaitu untuk
mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, perdagangan orang, dan
kesenjangan akses ekonomi bagi masyarakat.
Menuju kemandirian
Aspek pemberdayaan perempuan dalam kegiatan ekonomi memang
amat krusial. Sebab, hal itu dapat menjadi pintu masuk menuju kemandirian
guna meningkatkan posisi tawar perempuan dalam pengambilan keputusan,
khususnya pada aspek ekonomi dan reproduksi. Kemandirian perempuan dalam
aspek ekonomi perlu dipacu karena tingkat partisipasi perempuan dalam
angkatan kerja masih cukup rendah dan jauh tertinggal jika dibandingkan
dengan laki-laki. Dalam lima tahun terakhir tingkat partisipasi angkatan kerja
perempuan sekitar 50-55%, sedangkan tingkat partisipasi angkatan kerja
laki-laki berkisar 75-80%. Bahkan, mayoritas perempuan bekerja di sektor
informal, khususnya perdagangan dan jasa.
Jika partisipasi perempuan dalam angkatan kerja bisa
ditingkatkan, hal itu akan memberikan kontribusi besar terhadap produk
domestik bruto (PDB). Di Jepang, misalnya, berdasarkan studi Aguirre ( 2012)
jika penyetaraan kesempatan kerja perempuan dan laki-laki dapat diwujudkan,
akan memberikan kontribusi sebesar 9% terhadap PDB negara itu. Sementara itu,
kemandirian dalam aspek reproduksi juga perlu ditingkatkan karena cukup
banyak perempuan yang belum mampu mengambil keputusan berkaitan dengan umur
perkawinan dan jumlah anak yang diinginkan. Padahal, pengambilan keputusan
perempuan tentang usia kawin dan jumlah anak yang diinginkan umumnya
berkaitan dengan kesehatannya atau keinginan berusaha dan bekerja.
Nyatanya, semakin banyak anak yang dilahirkan akan kian
menurunkan peluang ibu bekerja. Bloom et al (2009) dalam studinya
mengungkapkan tambahan satu anak yang dilahirkan dari perempuan usia 25-29
tahun, akan menurunkan kesempatan kerja perempuan sebesar 10-15 poin.
Sayangnya, turunnya angka kelahiran dalam beberapa dekade terakhir, yakni
dari sekitar 5,6 anak per keluarga pada 1970-an menjadi 2,6 anak pada 2000-an
belum cukup berkontribusi dalam meningkatkan partisipasi perempuan dalam
angkatan kerja di Tanah Air.
Perlu upaya
Untuk meningkatkan pemberdayaan, pemerintah tampaknya
perlu memperluas kesempatan bagi perempuan untuk bekerja dan berusaha, serta
meninjau ulang berbagai peraturan yang merugikan perempuan untuk aktif dalam
kegiatan ekonomi. Menurut data Komnas Perempuan ada sekitar 282 peraturan
daerah yang diduga bias gender. Salah satu di antaranya pekerja laki-laki
sebagai kepala keluarga memperoleh tunjangan untuk anak dan istri, sebaliknya
perempuan dianggap sebagai pekerja lajang tanpa tunjangan keluarga (Women
Research Institute, 2006).
Secara faktual, dengan ditertibkannya berbagai peraturan
yang mendistorsi perempuan dalam kegiatan ekonomi akan sangat berarti untuk
meraih kembali potensi yang hilang (potential loss), yang selama selama ini
terjadi. Potential loss itu terjadi akibat kurang diberdayakannya perempuan,
sementara pendidikan perempuan semakin meningkat. Faktor lain yang
diperkirakan turut memengaruhi rendahnya pemberdayaan perempuan dalam
kegiatan ekonomi ialah aksesibilitas terhadap internet, khususnya pada
perempuan di daerah perdesaan, pedalaman dan pinggiran. Studi yang dilakukan
oleh Web Fondation, misalnya, menunjukkan dalam mengakses internet perempuan
50% lebih rendah daripada laki-laki. Faktor penyebabnya ialah tidak memiliki
fasilitas, kurang memahami penggunaan internet, dan kurang pengamanan
terhadap privasi perempuan (Web Fondation, 2016).
Padahal, dengan mengakses internet, perempuan tidak hanya
dapat mencari informasi kesempatan berusaha dan bekerja, tetapi juga dapat
memahami posisinya. Dalam soal upah, misalnya, dapat diketahui bahwa pada
2011, rasio upah buruh perempuan terhadap laki-laki sebesar 0,78, dengan
rata-rata upah buruh laki-laki sebesar Rp1.640.472, dan rata-rata upah buruh
perempuan sebesar Rp1.275.653. Dikaitkan dengan Konvensi Badan Perburuhan
Internasional (ILO) Nomor 100 tentang pengupahan yang sama antara laki-laki
dan perempuan, informasi itu akan memberikan pemahaman bagi perempuan tentang
posisi pengupahan yang belum setara. Padahal, pemerintah telah meratifikasi
konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, dan hal
itu telah diundangkan dalam UU No 7 tahun 1984.
Sejatinya, penyetaraan upah amat penting sebagai salah
satu instrumen menurunkan angka kemiskinan. Hal ini mengingat mayoritas
kemiskinan umumnya berada pada kelompok perempuan. Publikasi Institute for
women’s policy research, misalnya, melaporkan, jika upah perempuan dapat
disetarakan dengan laki-laki, hal itu dapat menurunkan angka kemiskinan
perempuan sebesar 50%. Besar harapan, HPI tahun ini dapat menjadi momentum
guna meningkatkan pemberdayaan perempuan dalam kegiatan ekonomi sehingga
perempuan di Tanah Air dapat mandiri dan memiliki posisi tawar yang tinggi,
khususnya dalam aspek ekonomi dan reproduksi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar