Pengawasan
Hakim MK
Oce Madril ;
Dosen
Fakultas Hukum UGM; Kandidat Doktor
Ilmu Hukum UGM
|
KOMPAS, 09 Maret 2017
Dua kali tertangkap tangan oleh KPK, sistem pengawasan
terhadap hakim Mahkamah Konstitusi dipertanyakan. Ada anggapan umum bahwa
hakim MK enggan diawasi.
Ide memperkuat pengawasan terhadap MK selalu muncul ketika
MK dirundung masalah. Namun, gagasan ini selalu menemui jalan buntu. Sebab,
MK selalu menolak berbagai ide pengawasan sehingga MK nyaris menjadi lembaga
yang nir-pengawasan.
Kejadian tertangkapnya Ketua MK pada 2013 agaknya menjadi
pelajaran penting bagi MK. Setelah menolak beragam model pengawasan, MK
akhirnya membentuk lembaga pengawas versinya. Dibentuklah Dewan Etik yang
diatur oleh MK sendiri.
Pengawasan
Walaupun sekarang MK memiliki Dewan Etik, pengawasan
internal ini menyimpan banyak masalah yang menyebabkannya tidak bisa bekerja
efektif. Problem terbesar Dewan Etik adalah karena lembaga ini dibentuk
sendiri oleh MK (berdasarkan peraturan MK).
Para hakim MK (pimpinan MK) memegang peranan penting dalam
proses pengangkatan anggotanya dan proses bekerja Dewan Etik. Bahkan,
pengaruh para hakim MK bisa sampai pada tahap pembentukan Majelis Kehormatan
yang akan mengadili dugaan pelanggaran etik hakim MK. Dengan demikian, secara
kelembagaan dan atmosfer bekerja, Dewan Etik akan menghadapi kendala-kendala
yang muncul akibat relasi kuasa antara pimpinan MK dan Dewan Etik. Sanksi
ringan berupa "teguran lisan" yang diberikan kepada Ketua MK atas
tuduhan "katebelece" beberapa waktu lalu adalah bentuk nyata
lemahnya sistem Dewan Etik.
Selain itu, secara teknis administratif, Dewan Etik tidak
didukung dengan sumber daya manusia dan anggaran yang memadai. Tidak ada
dukungan staf yang memadai untuk melakukan fungsi pengawasan.
Jika ada, itu berasal dari staf MK sendiri. Kesimpulannya,
secara aturan, kelembagaan, dan administrasi, termasuk anggaran, Dewan Etik
berada di bawah kontrol MK, lembaga yang seharusnya diawasi.
Desain kelembagaan seperti ini akan melahirkan Dewan Etik
yang memiliki ketergantungan yang besar pada MK. Lembaga ini tidak memiliki
independensi dalam bekerja. Model pengawasan seperti ini dapat dipastikan
tidak akan efektif dan akan mengidap penyakit yang sama dengan
lembaga-lembaga pengawas internal lainnya yang lumpuh.
Kenapa bukan pengawas eksternal dan independen? Selama ini
ada salah paham terhadap pengawasan. Sering kali pengawasan disamakan dengan
intervensi. Ini jelas keliru. Pengawasan harus dibedakan dari intervensi.
Segala bentuk intervensi terhadap independensi hakim dan lembaga yudisial
jelas harus ditolak, tetapi pengawasan tidak.
Independensi tidak dapat dijadikan alasan untuk
menghindari pengawasan. Sebab, pengawasan memiliki tujuan yang berbeda dengan
intervensi.
Pengawasan bertujuan untuk memastikan agar kekuasaan (dan
segala akses yang timbul karenanya) tidak disalahgunakan. Jabatan hakim
konstitusi memiliki kekuasaan yang besar. Jabatan mulia ini dapat dengan
mudah berubah menjadi koruptif seperti yang dilakukan Akil Mochtar dan Patrialis
Akbar. Pengawasan dibutuhkan untuk mencegah perilaku koruptif tersebut.
Agar pengawasan efektif, maka bagan pengawasan harus
dibuat independen dan berada di luar struktur lembaga yang diawasi.
Kewenangan pengawasan harus didefinisikan sejelas mungkin agar tidak masuk
pada wilayah absolut hakim MK.
Pengawasan fokus dan terbatas pada soal etik dan perilaku
hakim, bukan soal putusan hakim. Kode etik dan perilaku hakim yang menjadi
sandaran harus dibuat lebih rinci.
Dua pilihan
Lembaga mana yang akan melakukan? Pilihannya ada dua.
Membuat lembaga baru atau memberikan urusan ini pada lembaga yang telah ada.
Membangun lembaga baru jelas akan membuang energi. Pilihan
rasional adalah memberdayakan lembaga yang sudah ada. Ada dua lembaga yang
dapat dipertimbangkan, yaitu Dewan Etik MK atau Komisi Yudisial (KY).
Masing-masing perlu diberi catatan.
Jika diberikan pada Dewan Etik, sebenarnya hampir sama
dengan membuat lembaga baru. Sebab, perlu dipikirkan bentuk lembaganya,
anggota, kantor, staf dan anggarannya.
Diperlukan juga tata kerja baru. Sebab, Dewan Etik belum
teruji dan tidak punya pengalaman menjadi pengawas hakim dan melakukan
tugas-tugas pengawasan.
KY memiliki hal-hal yang tidak dimiliki oleh Dewan Etik.
KY adalah lembaga independen dan dibentuk atas perintah konstitusi. KY juga
telah mempunyai pengalaman panjang melakukan tugas pengawasan. Karena itu,
adalah rasional jika fungsi pengawasan ini diserahkan kepada KY. Hal ini
jangan diperumit dengan perdebatan sistematika pasal-pasal tentang MK dan KY
dalam UUD 1945.
Tidak juga dalam kerangka checks and balances antarlembaga
negara. Namun, lebih merupakan sebagai bagian dari legal policy untuk
mengoptimalkan fungsi pengawasan yang selama ini telah ada. Lagi pula,
sebenarnya MK telah mengakui peran pengawasan KY ini dengan memasukkan unsur
anggota KY sebagai anggota Majelis Kehormatan MK selain hakim MK.
Apa pun pilihannya, hakim MK wajib diawasi dengan model
pengawasan yang independen dan efektif, demi menjaga kehormatan dan
kewibawaan MK itu sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar