Catatan
Pilkada Serentak 2017
Yunarto Wijaya ;
Direktur
Eksekutif Charta Politika Indonesia
|
KOMPAS, 09 Maret 2017
Pilkada serentak 2017 harus diakui menempatkan Pemilihan
Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta menjadi primadona. Ingar-bingarnya
mewarnai pemberitaan di media massa dan percakapan di media sosial.
Dua pilkada lain yang biasanya juga mendapat atensi tinggi
di tingkat nasional, Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur (Pilgub) Banten dan
Aceh, kali ini harus rela tertepikan. Padahal, dinamika kontestasinya tak
kalah menarik. Keriuhan Pilgub DKI Jakarta 2017 sudah berlangsung sebelum
masa pilkada dimulai. Faktor kepemimpinan yang ditautkan dengan wacana
primordialisme menjadi bahan baku utamanya. Dan, hoaks menjadi bumbu terpentingnya.
Ketika kandidat mengerucut pada tiga pasangan calon (Agus
Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful
Hidayat, Anies Baswedan-Sandiaga Uno), sempat muncul harapan bahwa isu
primordialisme akan tersisih. Namun, harapan itu nyatanya tak berpijak. Para
penantang seolah-olah ikut "menikmati"-nya dan ini diimbuhi blunder
komunikasi yang dilakukan petahana.
Pilgub DKI kian tinggi daya tariknya karena kemudian juga
dimaknai sebagai ajang pertarungan tak langsung para elite politik nasional,
persisnya antara Susilo Bambang Yudhoyono, Prabowo Subianto, dan Megawati
Soekarnoputri. Bahkan, ada yang beranggapan pilkada ini lanjutan dari Pilpres
2014. Ada pula yang menilainya pemanasan menjelang 2019. Singkatnya, pilkada
ini menjadi beraroma pilpres.
Meski menarik, Pilkada DKI bukanlah satu-satunya fenomena
penting dalam penyelenggaraan pemilu serentak tingkat daerah kedua di Tanah
Air. Dari pemberitaan dan pengamatan lapangan, pilkada serentak 2017 masih
diwarnai berbagai masalah lama. Akibatnya, pilkada tak sepenuhnya memadai
sebagai ruang bersama bagi warga menentukan ke mana pembangunan daerahnya
akan diarahkan dan siapa yang akan jadi pengelolanya.
Trilogi masalah
Di sejumlah tempat, termasuk Jakarta, ada trilogi masalah berulang
yang terutama berpotensi mendistorsi atau sekurang-kurangnya memengaruhi
hasil pilkada. Trilogi yang dimaksud adalah netralitas dan profesionalitas
penyelenggara, daftar pemilih, serta politik uang.
Netralitas dan profesionalisme penyelenggara, termasuk
pengawas pemilu, terus menjadi sorotan. Di tingkat provinsi atau
kabupaten/kota, seleksi pemilihan komisionernya semakin ketat. Namun, tak
terhindarkan, selalu saja ada dugaan mereka berpihak. Dalam kasus Pilgub DKI,
misalnya, penyelenggara dianggap kurang menerima masukan masyarakat ketika
memilih panelis ataupun moderator debat. Sebaliknya, di Banten, Panitia
Pengawas Pemilu (Panwaslu) dianggap abai terhadap maraknya politik uang.
Titik persoalan utama yang kurang diperhatikan adalah pada
tingkat eksekutor lapangan, khususnya Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) ataupun panwas tingkat
kecamatan. PPS dan KPPS pada pilkada serentak masih dipilih dengan aturan
lama (berdasarkan usulan kepala desa atau lurah setempat) dan bukan seleksi
terbuka sebagaimana diamanatkan UU Nomor 10 Tahun 2016.
Meski melalui seleksi terbuka dapat diperoleh pelaksana
yang lebih profesional, faktor netralitas relatif sulit diprediksi. Selalu
ada berbagai kemungkinan, pelaksana terpilih menjadi tidak netral. Karena
itu, KPU kabupaten/kota ke depannya harus memiliki instrumen untuk memonitor
dan indikator yang jelas untuk mengganti petugas yang bermasalah tanpa
menimbulkan keributan baru. Pada pilkada serentak 2017, masalah daftar pemilih
kian melebar. Masalah berulangnya, sejumlah pemilih tak terdaftar atau
sebaliknya ditengarai ada pemilih siluman. Lebih dari sebelumnya, keluhan tak
mendapat undangan untuk memilih (Formulir C1) lebih mengemuka. Terlebih
ketika mereka juga merasa dipersulit di TPS. Akibatnya, hak memilih mereka
terampas. Ini terjadi terutama ketika KPPS setempat atau yang lebih tinggi
terindikasi tak netral.
Kisruh daftar pemilih tetap (DPT) dan Formulir C1 ini bisa
diminimalkan jika ada upaya diseminasi informasi daftar pemilih yang lebih
intensif. Selama ini, (calon) daftar pemilih hanya diumumkan di tempat-tempat
tertentu atau dipasang di TPS. Secara individu, setiap pemilih bisa memeriksa
namanya melalui situs Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat. Persoalannya, tak
semua KPU kabupaten/kota memiliki situs atau menyediakan fasilitas untuk
keperluan tersebut.
Ke depan, kisruh daftar pemilih dapat dikurangi dengan dua
hal. Pertama, ada ketersediaan informasi semua pemilih yang dipilah menurut
rukun tetangga (RT) di laman KPU setempat. Kedua, daftar yang sama juga
dibagikan pada tingkat RT untuk didistribusikan kepada warganya. Berdasarkan
daftar ini, warga bisa memantau kemungkinan adanya pemilih yang tak dikenal
atau malah tak terdaftar. Lebih dari itu, pemilih terdaftar yang tak mendapat
Formulir C1 dapat menggunakan daftar ini sebagai penggantinya.
Meski aturan politik uang sudah semakin ketat, nyatanya
politik uang dilaporkan masih terjadi. Menurut Bawaslu, ada 600 laporan
dugaan praktik politik uang. Namun, pembuktiannya tak mudah. Terlebih,
kandidat atau pendukungnya kian kreatif mengemas politik sogokan ini dalam
rupa-rupa bentuk, mulai dari kupon hingga pemberian barang melalui pihak
ketiga. Politik uang tak mudah dihalangi karena permintaan akan hal ini masih
ada. Pemilih ada yang melihatnya sebagai kesempatan untuk dapat rezeki
tambahan. Namun, ada pula yang menganggapnya kewajaran, bahkan keharusan.
Dari sisi kandidat, terkadang ini dilakukan sekadar untuk mengimbangi manuver
lawan agar suaranya tak tergerus secara signifikan.
Melakukan politik uang yang terstruktur, sistematis, dan
masif tidak saja butuh biaya sangat besar, tetapi juga diragukan
efektivitasnya. Namun, harus diakui, dalam segmen atau wilayah tertentu,
politik uang bisa sangat efektif mengalihkan suara pemilih. Dan, bisa jadi
kunci pemenangan ketika persaingan berlangsung ketat. Dengan bekal dua
informasi ini saja, Panwaslu ataupun pemantau pemilu dapat bekerja lebih
efektif untuk mencegah terjadinya praktik politik uang.
Menggugurkan kewajiban
Selain trilogi masalah di atas, dalam beberapa aspek
penyelenggaraan pada tahun ini terkesan KPUD masih sekadar menggugurkan
kewajiban. Padahal, jika dilaksanakan secara saksama, niscaya dapat
meningkatkan kualitas kepemiluan.
Aspek penyelenggaraan yang dimaksud adalah pertama,
terkait informasi pilkada. Perubahan format kampanye membuat paparan pemilih
terhadap penyelenggaraan pilkada ataupun kontestan menjadi berkurang.
Penyelenggara pemilu terlihat kurang memperhatikan aspek ini. KPUD, umpamanya,
terlihat kurang memanfaatkan medium seperti laman resminya.
Dalam beberapa upaya penelusuran, masih ditemui ada KPUD
yang lamannya sulit diakses atau memang tak tersedia. Jika pun ada, tak
sedikit yang tak menginformasikan tentang pasangan calon, dan seperti sudah
disebut, juga informasi terkait daftar pemilih. Selain itu, masih sangat
jarang laman penyelenggara pemilu di daerah yang menunjukkan adanya
kesinambungan data dari pilkada/pemilu sebelumnya. Padahal, jika KPUD mampu
menyediakan aliran informasi yang lengkap dan terperbarui, ini akan sangat
membantu pemilih, jurnalis, dan juga pasangan calon yang berkontestasi.
Untuk wilayah yang akses internetnya masih rendah, KPUD ke
depan perlu mendorong aliran informasi yang menyebar hingga tingkat RT lewat
penyebaran semacam buletin yang menjelaskan tahapan pelaksanaan dan tentu
saja informasi tentang pasangan calon serta pelaksana pemilu di PPS ataupun
KPPS.
Akan sangat baik jika dalam buletin juga dapat sedikit
dimodifikasi per wilayah sehingga mencantumkan pula nama personel
penyelenggara ataupun pengawas, terutama di tingkat kecamatan atau lebih
rendah. Dengan informasi ini, pemilih bisa melakukan rekonfirmasi jika tak
mendapat Formulir C1 atau hendak melaporkan adanya politik uang, umpamanya.
Kedua, prosesi debat kandidat tetap tak banyak perubahan.
Dengan format seperti sekarang, kandidat tak dapat maksimal mengeksplorasi
gagasan sendiri dan menyanggah argumentasi kompetitor. Akibatnya, pemilih
juga kurang dapat pemahaman utuh tentang gagasan kandidat. Ke depan, perlu
dipertimbangkan perubahan dan atau penambahan format debat yang lebih fokus
pada satu isu yang spesifik. Selain itu, juga memberikan keleluasaan kandidat
untuk memaparkan gagasan dan menyanggah gagasan kompetitornya. Dengan kata
lain, jika pun ada moderator, perannya minimalis.
Syarat penting dari debat tipe ini adalah penetapan tema
merupakan kesepakatan bersama dengan kandidat dan bukan ditentukan sepihak
oleh KPUD atau panelis. Ini untuk mencegah tudingan ketaknetralan dan untuk
mendapatkan tema yang bisa menjadi pembeda utama di antara para kontestan.
Belajar dari Pilkada Jakarta, prosesi debat bisa menjadi ajang bagi pemilih
mempelajari kandidat dan juga isu-isu yang dilontarkan. Karena itu, ke depan,
KPUD perlu mempertimbangkan penambahan frekuensi debat dan atau memperluas
kegiatan debat yang menghadirkan representasi resmi dari setiap kandidat
sebagai peserta.
Ketiga, terkait pelaporan dana kampanye. Sejauh ini,
terkesan pelaporan dana kampanye dan tindak lanjutnya sekadar "menggugurkan
kewajiban" yang diamanatkan perundang-undangan yang berlaku. Ke depan,
KPUD sewajarnya membuka laporan itu kepada publik. Dan, ini diinformasikan
secara saksama. Dengan cara ini, akan ada dorongan bagi publik untuk ikut
menilai dan memberikan masukan. Keterbukaan dana kampanye ini menjadi penting
agar pemilih juga menjadi lebih memahami siapa yang memberikan dukungan
kepada kandidat. Informasi ini dapat jadi masukan bagi pemilih untuk
mempertimbangkan kemungkinan kebijakan yang akan diambil seorang kandidat
jika kelak terpilih.
Penanganan pelaporan dana kampanye ini sudah saatnya
ditempatkan dalam posisi penting, bukan lagi sekadar untuk memenuhi
persyaratan. Karena itu, kandidat harus secara berkala melaporkannya, tidak
hanya menjelang akhir pemilu.
Calon tunggal
Selain rangkaian masalah di atas, rezim pilkada serentak
sejak 2015 diwarnai kehadiran calon tunggal. Pada 2017, jumlahnya kurang dari
10 persen. Persisnya, sembilan pasangan dari 94 pilkada tingkat
kabupaten/kota atau sembilan dari 101 pilkada secara keseluruhan. Fenomena
hadirnya calon tunggal tak diinginkan, tapi dimungkinkan. Karena itu, telah
mengemuka usulan untuk memagarinya. Misalnya, melalui persyaratan maksimal
jumlah partai politik yang bisa mengusung satu pasangan calon. Aturan ini
dapat dianggap melampaui hak prerogatif yang dimiliki parpol untuk mengusung
atau tidak mengusung kandidat tertentu.
Sebagai jalan tengah, bisa dipertimbangkan memperberat
persyaratan pemenangan bagi calon tunggal. Misal saja, memberikan ambang batas
bawah jumlah pemilih yang mencoblos dan menetapkan batasan minimal untuk bisa
dinyatakan menang dari kotak kosong. Perberatan persyaratan ini akan memaksa
kandidat untuk lebih berinteraksi dengan para pemilih. Pada saat yang sama,
KPUD harus memberikan ruang bagi warga untuk mempromosikan memilih kotak
kosong.
Beberapa catatan dan usulan perubahan ini diajukan dengan
maksud utama mendorong pilkada sebagai ruang yang kondusif bagi pemilih dan
juga kandidat. Pemilih bisa lebih saksama mempelajari kandidat, pun
sebaliknya kandidat bisa lebih terfasilitasi mengeksplorasi
gagasan-gagasannya. Catatan ini sejatinya juga bukan hal yang terlalu baru.
Kini kembali dilontarkan sebagai ajakan agar pembentuk UU ataupun KPU(D)
lebih berorientasi pada kebutuhan pemilih (dan juga kandidat). Bagaimanapun,
pilkada adalah momen bagi pemilih dan kontestan, penyelenggara adalah
pelayannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar