Pancasila
dan Ketimpangan
Radhar Panca Dahana ;
Budayawan
|
KOMPAS, 09 Maret 2017
Berita itu, walau sebenarnya lama sudah kita ketahui,
tetap saja mengejutkan. Betapa luar biasa kenyataan yang digambarkan dalam
laporan terbaru INFID dan Oxfam: Indonesia adalah negara keenam dunia dalam
hal ketimpangan ekonomi atau kesejahteraan publiknya.
Bagaimana kekayaan empat orang, sekali lagi hanya empat
orang terkaya di Indonesia, melebihi kekayaan 100 juta penduduk termiskin ?
Jangankan menyebut angka, merinding pun tidak berani saya:
Rp 325 triliun (25 miliar dollar AS)! Dalam angka lain, 10 persen orang
terkaya menguasai 77 persen dari kekayaan nasional. Bagaimana sisa kekayaan
(23 persen) harus dibagi pada 90 persen penduduk?
Pada akhirnya, dalam perebutan kekayaan itu rakyat jelata
hanya bisa bisu dan gigit jari karena agresivitas dan kerakusan kelas
menengah (dan sebagian elite) memperebutkan sisa itu.
Negeri apa sebenarnya Indonesia ini? Ketika mereka yang
menjadi obligor terbesar-karena amanah dan fasilitas luar biasa yang kita
berikan pada mereka-ternyata justru menikmati keuntungan dari tragedi
kebangsaan kita itu. Parlemen, misalnya, bukan prihatin dan bersatu untuk
berjuang memperbaiki itu, tetapi malah sibuk dengan kepentingan sempit kelompoknya;
otak-utik undang-undang politik, mengurus dan ikut-ikutan demonstrasi, hak
angket yang mokal-mokal yang tidak terlalu prinsipil, dan sebagainya.
Negeri apa ini jika semua tragedi kesejahteraan publik di
atas lebih banyak diakibatkan oleh kekeliruan sistemik,
"struktural" dalam bahasa Oxfam, yang artinya kita menyusun,
memutuskan, dan memberlakukan sebuah sistem yang justru menciptakan
kesengsaraan yang kian luas.
Negeri apa ini di kala yang menyedihkan itu para kapitalis
dan korporat besar terus sibuk menimbun harta di gudang "Paman
Gober" mereka yang telah penuh. Hingga kapan hingga berapa gudang,
padahal mereka tidak berbuat apa pun? Sementara hartanya membutuhkan lebih
dari satu generasi untuk menghabiskannya.
Berapa ribu pengusaha UKM tertolong dengan angka Rp 13
miliar yang mereka belanjakan sehari itu? Berapa gudang dan generasi lagi
mereka harus merebut (kadang dengan paksa) rezeki orang lain yang umumnya
orang-orang kurang dan tak berdaya karena tidak punya sumber daya: modal,
relasi, pendidikan, dan seterusnya?
Negeri apa Indonesia kita ini jika membiarkan semua hal
itu terjadi? Inikah negeri yang kita idealisasikan dengan Pancasila?
Pancasilaiskah kita, wahai kaum elite, jika 90 persen dari
rakyatmu, konstituen yang harusnya kalian wakili dan bela, berebut
remah-remah (sisa pesta ekonomi kalian) dari rezeki nasional kita?
Lalu, untuk apa ideologi? Untuk apa dia yang kita sebut
"harga mati"?
Negeri tidak Pancasilais
Marilah kita mulai jujur, berbening hati, dan berpikir
jernih. Berulang kali saya telah menyatakan betapa persoalan mendasar yang
menjadi muasal semua tragik di atas bersifat sistemik. Artinya, selama sistem
yang kita berlakukan saat ini-entah sistem ekonomi yang tak cuma berkelindan,
tetapi juga "berkonspirasi secara epistemik" dengan sistem politik,
hukum hingga akademik-tidak juga kita ubah secara fundamental hingga ke akar
epistemologis bahkan ontologisnya, kita tidak akan sampai pada solusi yang
komprehensif. Solusi yang sungguh-sungguh memberikan perubahan hingga ke
dasar piramida sosial, kultural kita.
Apa yang menjadi desakan kuat bagi itu, bukan saja
kenyataan-kenyataan (ekonomis, politis, yuridis) yang kian tragis terjadi,
melainkan juga fakta yang sering kali kita menutup mata pada keberadaannya:
negeri ini kian jauh dari cita-cita ideologis. Akui saja, kita semakin kuat
mengkhianati Pancasila.
Tentu dengan catatan: jika memang benar kita memiliki
ideologi itu. Jika memang benar Pancasila itu ideologi. Jika memang benar
Pancasila itu adalah idea (l) abstrak yang kita konsensuskan, yang dalam
pergerakan waktu, abstraksi-yang tak kunjung menjadi nyata itu-menjadi
semacam obsesi, lalu akhirnya menjadi ilusi. Bagaimana tidak? Sederhana saja
cara kita membuktikannya.
Kita dapat memeriksa semua sistem yang berlaku nasional
saat ini, termasuk regulasi turunannya. Mana yang memerikan dengan jelas dan
jitu pasal-pasal atau sila dari ideologi kita? Terlebih dalam praksisnya. Di
mana dan yang mana praktik-praktik kenegaraan dan kemasyarakatan kita
merupakan perwujudan konsisten dari semua sila Pancasila? Periksalah satu per
satu. Kita mudah menemukan jawabannya: tidak ada!
Fakta dari laporan Oxfam dan INFID di atas juga
menunjukkan bahwa penyebab "struktural", atau sistemik dalam
terminologi saya berlaku setidaknya sejak 1997. Sejak IMF memaksakan resep
"penyembuhan" ekonominya, dalam letter of intent yang heboh itu.
Resep yang membodohi, menjerumuskan, dan dipaksakan secara koersif oleh
masyarakat (-konspiratif) internasional itu berkelindan dengan aksi massa
"reformasi". Aksi massa itu pun akhirnya menjadi konspiratif karena
seperti menjadi semacam "legitimator" diterimanya resep itu. Dengan
kata lain, kekalahan Soeharto pada IMF adalah kekalahan bangsa kita.
Dan ajaibnya, saat semua hal diliberalisasi, negara kita
rugi luar biasa besar. Begitu pun resep itu masih saja dilaksanakan.
Ada apa dengan negeri ini? Ada apa dengan Pancasila,
ketika ideologi yang "harga mati" itu benar-benar seperti mati
menghadapi konspiratif ini?
Negeri tidak ideologis
Lalu di manakah "kesaktian" Pancasila itu, yang
kita peringati setiap 1 Oktober itu? Adakah ia hanya "sakti" dalam
menumpas komunis di negeri ini dan menegakkan orde penumpasnya? Adakah ia
hanya sakti dalam momen sejarah dari sang pemenang, tetapi lumpuh melempem di
kalangan rakyat yang selalu kalah? Adakah Pancasila, kalaupun kurang atau
tidak sakti, juga tidak berlaku bagi kita, masyarakat atau bangsa ini
keseluruhannya?
Pertanyaan pun menjadi: apakah arti atau adakah makna
ideologi bagi (bangsa) kita? Lebih mendasar lagi, benarkah kita ini bangsa
yang ideologis, pada mula dan dasarnya? Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin
mengganggu, bahkan dengan sangat keras bagi mereka yang cinta buta,
meng"harga mati"kan, atau taklid pada Pancasila. Sekali lagi mari
kita jujur, ikhlas, berbening hati, dan berjernih pikiran melihat persoalan
besar ini.
Satu argumen dasar saja untuk saya kemudian menjelaskan
pandangan saya mengenai hal di atas. Pancasila, sebagaimana kita pahami,
adalah hasil renungan dan kristalisasi para bapak dan ibu pendiri bangsa ini
berbasis pada realitas sosial, kultural, dan historis dari masyarakat
Nusantara. Sehebat dan sejenius apa pun bapak dan ibu yang mulia itu,
tetaplah mereka manusia, bukan nabi, rasul apalagi Yang Kuasa. Artinya,
ciptaan mereka pada dasarnya tidak abadi, sebagaimana manusia itu sendiri.
Pancasila tidaklah abadi, dalam rumusannya. Ia adalah
harga yang selalu hidup, tidak pernah mati. Kenapa? Karena kita manusia, kita
bangsa yang terus hidup, berkembang, maju, dan konsisten melakukan semacam adjustment
dengan realitas mutakhir (kontemporer) yang labil dan tak berhenti berubah.
Kenyataan bahwa dalam perubahan zaman itu, data, hasil riset, hingga
kesehatan atau infrastruktur hasil pembangunan berkembang signifikan,
harusnya membuat kita lebih hebat, lebih mumpuni, dan lebih kuat/dalam
memahami diri (bangsa) kita, ketimbang para pendiri bangsa itu.
Di titik inilah Pancasila harus kita hidupkan seiring
bahkan secara inheren dalam kehidupan yang tumbuh dalam diri bangsa. Tentu
saja bukan tumbuh dalam pergeseran libido keserakahan sistemik seperti yang
terjadi sekarang. Namun, sebaliknya tumbuh kian matang, dewasa, cerdas, dan
jitu dalam merespons dan memberi solusi pada tantangan kerakusan sistemik
tersebut.
Caranya, bukan hanya kita (1) memeriksa ulang dan berani
mengubah sistem yang menjerat serta mengimperialisasi bangsa sendiri ini,
melainkan juga (2) memeriksa ulang semua dasar pikiran hingga sila-sila
Pancasila hingga (3) mengoreksi dan menggeser modus atau cara kita
bereksistensi, berpikir-bersikap-berperilaku sebagai manusia, sebagai sebuah
bangsa. Revolusi mental berada di basis terakhir ini.
Hal terakhir yang perlu kita renungkan, benarkah Pancasila
itu sesungguhnya sebuah ideologi bagi kita? Atau mungkin ia hanya semacam
idealitas, mungkin idealisme biasa dalam hidup keseharian kita? Karena
sesungguhnya dalam sikap hidup manusia atau masyarakat bahari yang pragmatis
dan sederhana, ideologi tidaklah punya arti. Tak punya daya kerja atau daya
operasionalnya.
Seperti juga dalam Islam, misalnya. Sabang sampai Merauke,
lihatlah dan periksalah diri Anda sendiri, adakah ideologi sembunyi dalam
nurani, dalam dasar pikiran atau perbuatan Anda?
Pertanyaan sejenis: adakah partai politik di Indonesia,
yang dalam sejarah awalnya di belahan sana berdiri dengan tiang ideologis
sebagai penyangga, digerakkan dan bekerja dengan ideologi? Ideologi apa?
Ketika seorang anggota partai begitu mudah menjadi "kutu loncat",
berpindah dari "ideologi" satu ke lainnya? Ketika seluruh anggota
parpol hanya digerakkan olah syahwat kekuasaan dan akses ekonomis saja?
Mungkin itu "ideologi" sesungguhnya parpol di negeri ini.
Kenyataannya, sebagai ideologi negara, ternyata tak satu
pun pasal hukum yang diproduksi negara (cq pemerintah) dapat menjadi alat
pemaksa (represi) untuk melaksanakan norma, nilai, atau acuan lain dari
ideologi itu sendiri. Kita tuna ideologi. Namun, tentu, tak perlu kuatir
karena pada dasarnya kita-bangsa bahari-memang masyarakat yang punya
cita-cita atau ideal yang tinggi, kita orang yang idealis, tetapi tidak
ideologis.
Jadi, Pancasila tak lain adalah idea, cita-cita kita
bersama. Namun, siapa yang telah (berani) memperjuangkannya? Anda? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar