Jati
Diri Bangsa
Asep Saefuddin ;
Rektor
Universitas Trilogi; Guru Besar Statistika FMIPA IPB
|
MEDIA
INDONESIA, 09 Maret 2017
DALAM dialog TV CNN tentang kedatangan Raja Salman dan
timnya, Pak Faisal Basri (pengamat ekonomi) agak pesimistis terhadap tindak
lanjut kerja sama ekonomi Indonesia dengan Arab Saudi itu. Menurutnya,
Indonesia selama ini bukan target bisnis Arab Saudi. Saat ini saja, posisi
investasi Arab Saudi kalah jauh jika dibandingkan dengan Singapura, Jepang,
dan Tiongkok. Urutannya tidak masuk 20 besar negara-negara investor di
Indonesia. Bahkan, kilang minyaknya dibangun di Malaysia, bukan di Indonesia.
Padahal, Indonesia memerlukan banyak energi minyak, jauh di atas Malaysia.
Demikian menurut Pak Faisal Basri. Saya sebagai orang awam dalam dunia
perekonomian, merasa terenyuh sekaligus heran. Bukankah Indonesia negara
dengan penduduk muslim terbanyak di dunia?
Untuk jemaah haji saja kita selalu menempati urutan
terbanyak. Mengapa Malaysia yang menjadi mitra bisnis Arab Saudi, padahal
dari segi kuantitas penduduk muslim jauh di bawah Indonesia? Apakah jumlah
jemaah haji setiap tahun sekitar 250 ribu itu tidak cukup? Apakah perlu 1
juta jemaah agar mendapat perhatian khusus? Ekonomi, kata Faisal, tidak
mengenal agama, tetapi kepastian dan keamanan. Sewaktu ada musibah haji pada
2004, jemaah berdesak-desakan antara mereka yang pergi ke dan pulang dari
lokasi pelemparan batu. Banyak jemaah yang berjatuhan sehingga ada sekitar
300 orang yang meninggal dari berbagai negara terutama ASEAN. Jemaah
Indonesia termasuk korban terbanyak. Pada saat upacara pemakaman massal,
pihak Malaysia yang mewakili negara-negara ASEAN, bukan Indonesia.
Mengapa hal ini terjadi? Investasi dan penghormatan saya
rasa sangat berkaitan dengan jati diri bangsa. Secara sederhana, investasi
dan penghormatan dari negara asing tidak mungkin terjadi bila kita kurang
menghormati bangsa kita sendiri. Menghormati bangsa sendiri muncul dalam
bentuk memberikan pelayanan secara baik. Tidak mempersulit, tidak memperlambat.
Buang jauh-jauh paradigma 'untuk apa dipermudah bila bisa dipersulit.'
Perilaku birokrasi kaku dan mengada-ada ialah cerminan ingin selalu berkuasa
dan pamrih. Seolah-olah persoalan itu sulit sehingga diperlukan 'upaya' untuk
menyelesaikannya. Tidak jarang 'upaya' itu bukan cara atau teknologi,
melainkan uang, alias UUD (ujung-ujungnya duit).
Keadaan inilah yang menyebabkan pungli menjamur dan
korupsi susah diberantas. Birokrasi perizinan bisnis sering hanya bisa
diselesaikan lewat 'upaya' itu. Para pebisnis dan investor ada yang terpaksa
melakukan itu supaya bisnisnya jalan. Akan tetapi, hal ini menyebabkan
ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Akhirnya produk menjadi tidak
kompetitif. Ditambah lagi masalah kepastian dan keamanan yang sumir menyebabkan
para investor malas untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Walaupun negara
kita ini kaya raya, tetap saja para pemodal asing memilih Singapura,
Malaysia, atau Thailand.
Tidak sadar bahwa para birokrat yang short term mind dan
'mata duitan' (materialistis) ini sedang merusak citra jati diri bangsa.
Akhirnya, wajar bila kita tidak dihormati dan sedikit sekali investor yang
menanamkan modalnya di negeri kaya raya ini. Kesulitan perizinan juga terjadi
dalam bidang lainnya, termasuk pendidikan. Para pengelola pendidikan sering
kewalahan menghadapi ribetnya dan lambatnya birokrasi. Para pengelola
pendidikan dibuat tergantung dan tidak pasti. Proses perizinan program studi,
walaupun sudah menggunakan IT lewat daring (online) tetap saja 'lelet'. Akar
masalahnya bukan di teknologi, melainkan di sumber daya manusia. Paradigmanya
yang harus dibereskan, baru keterampilannya.
Pembenahan teknologi melalui pemasangan IT serta pelatihan
untuk peningkatan keterampilan hanya membuang-buang uang, bila mindset birokrat
tidak berubah. Adalah wajar bila Kerajaan Arab Saudi harus menunggu 47 tahun
untuk melakukan kunjungan besar lagi karena mereka tentu melihat hal-hal yang
mendasar dari Indonesia. Mereka mempelajari adakah perubahan mindset bangsa
Indonesia atau begitu-begitu saja. Artinya, kuantitas jumlah penduduk muslim
yang besar bukan menjadi faktor kunci untuk investasi. Yang menjadi faktor
kunci ialah kualitas sumber daya manusia. Kualitas, bukan kuantitas. Bisa
jadi saat ini, Kerajaan Arab Saudi, sudah melihat adanya kesungguhan
pemerintah Indonesia untuk melakukan pembenahan-pembenahan. Mereka mulai
melihat adanya titik terang untuk berinvestasi di Indonesia.
Bayangkan, kunjungan itu selain cukup lama, juga jumlah
personel yang datang sangat besar (sekitar 1.500 orang).
Kesepakatan-kesepakatan telah ditandatangani pada kesempatan kunjungan
kenegaraan itu serta langsung disaksikan Raja Salman dan Presiden Joko
Widodo. Betul, kata Faisal Basri, MoU tinggal MoU bila kita tidak serius
menindaklanjutinya. Upaya untuk mengimplementasikan kesepakatan itu akan
tergantung kepada pemerintah. Bila dijawab dengan model birokrasi masa lalu,
peluang sukses operasionalisasi MoU itu akan sangat kecil. Kalau sudah
demikian, jangan salahkan negara lain, tetapi perbaikilah perilaku bangsa
kita. Itulah jati diri bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar