Cahaya
di Lorong Gelap
Komaruddin Hidayat ;
Guru
Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 10
Maret 2017
Suatu hari saya terhenyak melihat anak kecil terlahir
dengan kebutaan. Begitu mengenal dunia, langsung dia sudah menapaki lorong
gelap entah di mana ujungnya. Cerita nestapa ini mudah sekali kita jumpai di
sekeliling kita.
Berapa banyak anak terlahir dan tumbuh dalam rumah tangga
yang papa dan miskin. Mereka terbentuk dalam budaya miskin, bagaikan berjalan
merangkak menelusuri lorong gelap, menanti secercah cahaya kehidupan yang
belum tahu kapan datangnya, sehingga muncul ungkapan populer, cahaya di lorong
gelap. Ini menegaskan bahwa perjalanan hidup seseorang tak selalu berada di
atas jalan yang lapang, nyaman, dan terang. Di antara kita pasti memiliki
pengalaman menapaki lorong gelap.
Bahkan tidak saja gelap, tapi ditambah lagi jalan terjal
atau turun yang keduanya memerlukan ekstrastamina dan kehatihatian karena
jika terpeleset akan fatal akibatnya. Belum lagi jika lorong gelap itu
terdapat banyak binatang berbisa seperti tergambar dalam adegan film First
Blood yang dibintangi Sylvester Stallone. Dalam situasi demikian, ketika
melihat cahaya di ujung lorong maka hati langsung gembira. Semangat hidup
naik. Optimisme muncul. Dari pengalaman perjumpaan dengan sekian banyak
teman, bahkan ada yang sengaja ingin bertemu untuk konsultasi, saya
mendapatkan banyak cerita hidup tentang episode lorong gelap ini.
Peristiwa ini dialami dalam rumah tangga, karier politik,
pebisnis, birokrat, dan lainnya lagi. Kita sering melihat sajian iklan yang
serbaindah, glamor, seakan hidup mulus-mulus saja. Tetapi di bawah permukaan
dan di sekitar kita, betapa banyak orang yang merasa tidak jelas masa
depannya. Ada sebuah keluarga yang sedang beranjak naik kehidupan ekonomi dan
pendidikan anak-anaknya, tiba-tiba ayahnya yang menjadi tulang punggung
ekonomi keluarga meninggal. Seketika terjadi perubahan drastis pada keluarga
itu. Anak-anaknya yang semula bermimpi indah menikmati dunia kampus,
tiba-tiba mimpi indahnya terenggut.
Begitu pun ibunya harus berjuang mencari pekerjaan yang
mendatangkan uang sambil mengasuh anak-anaknya, suatu tuntutan baru yang amat
berat dijalani. Belum lama ini saya bertemu teman yang bekerja sebagai sopir
pribadi dengan gaji jauh di bawah penghasilan sebelum dirinya terkena PHK
(pemutusan hubungan kerja) karena perusahaan tempat dia bekerja bangkrut.
Istri dan anak-anaknya pun jadi berubah standar dan gaya hidupnya.
Yang juga menyentuh perasaan adalah banyaknya perceraian,
sementara anak-anaknya masih kecil. Hati mereka pasti terluka. Yang paling
mencolok adalah mereka yang pindah rumah ke penjara, disebabkan oleh satu dan
lain hal. Semua ini bagi yang mengalami, tentu merupakan ujian dan beban
hidup yang tidak ringan. Jangankan mereka ikut memikirkan persoalan bangsa
dan masyarakat, untuk memikirkan dan menyelesaikan problem diri dan keluarganya
saja sudah berat. Jika gelapnya malam, kita bisa menunggu datangnya cahaya
matahari pagi dengan tidur. Namun, gelapnya kehidupan sangat beda seseorang
menyikapinya.
Ketika jutaan orang tengah dirundung putus asa dan
pesimisme menjalani hari ini dan menatap hari esok karena kemiskinan, di
negeri ini sekelompok kecil di puncak piramida sosial tengah menikmati kue
hasil kekayaan alam Indonesia dengan berlimpah. Sementara itu, sekelompok
politisi dan pejabat negara tengah asyik berpesta ria dari hasil korupsinya,
menjarah uang rakyat. Jadi, ada yang merasa berada dalam lorong gelap
kemiskinan dan kebodohan, ada yang terjerat dalam kegelapan nurani dan akal
sehatnya.
Keduanya membuat lumpuh bangsa dan negara ini untuk maju,
menghidupkan dan menyehatkan jiwa dan raga. Yang paling bahaya dan merugikan
bangsa adalah mereka yang berpendidikan dan memiliki jabatan tinggi, namun
hati dan pikirannya dirundung kegelapan. Hatinya tertutup (covered, kafir)
dari cahaya ilahi dan dari sumber energi kebenaran sehingga menghancurkan
dirinya dan bangsanya. Padahal, mereka inilah yang mestinya bertugas
menyalakan obor dan cahaya untuk mengusir kegelapan. Mereka inilah yang
mestinya menata dan mengendalikan jalannya pemerintahan, agar rakyat yang
terkurung kemiskinan dan kebodohan itu terbebaskan.
Namun, bagaimana bisa diharapkan membantu orang lain kalau
menyelamatkan dirinya saja tidak mampu. Bagi orang beriman, sesusah apa pun
kehidupan, tetap ada cahaya yang menyertai dan menerangi perjalanan hidupnya.
Allah Mahacahaya, Maha Pemberi Terang dan Harapan, baik di dunia maupun
akhirat. Tanpa iman, terlalu gaduh dan tidak jelas lagi arahnya ke mana kaki
ini akan melangkah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar