Sabtu, 11 Maret 2017

Cabai Dipolisi atau Disrupsi?

Cabai Dipolisi atau Disrupsi?
Rhenald Kasali  ;    Pendiri Rumah Perubahan
                                                  KORAN SINDO, 09 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Mungkin ini hanya ter jadi di Indonesia: harga cabai lebih mahal ke timbang harga daging sapi. Ini perbandingannya. Harga da ging sapi saat ini masih berkisar Rp120.000 per kilogram, sementara cabai sudah menem bus Rp160.000. Bahkan sejumlah perusahaan makanan be rani membeli cabai dari pengepul seharga Rp181.000 per kilogram. Bagaimana bisa? Nyatanya begitu. Bahkan yang tak kalah janggal—maaf saya memakai istilah janggal—adalah ketika suatu pagi, sambil sarapan, saya menyaksikan talk show di sebuah TV swasta yang membahas soal melonjaknya harga cabai. Anda tahu siapa nara sumbernya?

Selain pejabat dari Kementerian Perdagangan, pem - bicara lain bukan pakar ekonomi dan bisnis, bukan pula para pedagang cabai, me lainkan dari Badan Reserse Kriminal, Kepolisian RI. Mengapa kepolisian sampai meng urusi harga cabai? Baiklah saya uraikan sedikit sebab-musababnya. Mulanya jelas lonjakan harga cabai tadi. Di Jakarta, pasokan cabai di Pasar Induk Kramat Jati yang biasa - nya mencapai 40 ton per hari turun tajam menjadi tinggal 12 ton. Jelas harga cabai langsung melonjak.

Anjloknya pasokan ini ko non karena banyak perusahaan makan - an memborong cabai dari para pengepul. Bahkan un tuk bisa mem - beli cabai, perusahaan-perusahaan tersebut bersedia membeli dengan hargaRp181.000per kilogram. Semen - t ara para pe da gang ha nya sanggup membeli dengan harga Rp160.000 per kilogram. Aksi perusahaan mem borong cabai inilah yang bakal diperik sa kepolisian. Me reka diduga me lakukan praktik kartel. Betulkah? Supaya fair, kita lihat definisi kartel. Dalam UU Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, kartel termasuk jenis perjanjian yang dilarang.

Di sana dituliskan, “Pelaku usaha dilarang membuat per - janjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk memengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa yang dapat meng - akibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.” Menurut otak sederhana saya, aksi beberapa perusahaan memborong cabai harusnya tak bertujuan untuk memengaruhi harga. Aksi ini lebih didorong upaya untuk mengamankan pro ses produksi, bukan me - nyim pan cabai dan kelak dijual kembali ketika harga terus ber - gerak naik. Masalahnya mereka telah menjadi produsen besar yang produknya sudah kadung dikehendaki pasar.

Spekulasi itu Biasa

Naiknya harga cabai adalah fenomena bisnis biasa. Ini hu - kum supply and demand. Semua tahu, setiap kali terjadi banjir, siapa pun presiden atau gu ber - nurnya, ya pastilah distribusi barang terganggu. Panen gagal. Pasokan berkurang dan harga pun melonjak. Fenomena harga cabai dan kalau tahun-tahun lalu ditambah dengan lonjakan harga bawang merah selalu terjadi. Nyaris setiap tahun. Inilah mungkin yang membuat kita sebal. Kita seakan-akan tak pernah belajar. Lalu para pengepul tadi di - cari-cari polisi.

Mereka dituding melakukan permainan yang mem buat harga cabai melam - bung. Aksi spekulasi yang me - reka lakukan kemudian men - jadi sorotan. Ini keterlaluan. Se - bab dalam bisnis aksi spekulasi adalah hal biasa. Lihatlah di bursa efek, juga di bursa komo - ditas berjangka, isinya spe kulasi semua. Hanya di sana para pe - laku bursa melengkapi dirinya dengan sejumlah perangkat. Mereka mengembangkan ber - bagai model matematika dan rumus-rumus lainnya untuk memprediksi naik-turunnya harga saham (kalau di bursa efek) atau kalau di bursa ber - jangka yang ditransaksikan adalah kontrak. Perangkat ini penting untuk meyakinkan investor.

Apakah prediksinya selalu benar? Belum tentu. Bisa saja harga saham (atau kontrak) suatu perusahaan diprediksi bakal naik, tetapi yang terjadi sebaliknya. Malah anjlok. Jadi kalau merujuk di dua bursa tersebut, spekulasi adalah hal biasa. Bahkan aksi spekulasi telah membuat pasar bergairah. Harga saham bergerak naik atau turun sehingga ada peluang bagi para investor untuk me ngail ke - untungan (termasuk menang - gung risiko rugi). Bayangkan kalau harga saham-saham atau kontrak di dua bursa tadi terus flat, bergerak mendatar, tak ada investor yang mau beli. Di dua bursa ini, nilai spe - kulasinya juga tak tanggungtanggung!

Kalau di Bursa Efek Indonesia transaksinya lebih dari Rp5 triliun per hari. Ada - pun di bursa berjangka, ada dua bursa. Pertama, Bursa Ber - jangka Jakarta yang setiap hari transaksinya berkisar Rp260 miliar. Kedua, Bursa Komoditas dan Derivatif Indonesia yang nilai transaksinya baru Rp49 miliar. Kalau para pialang di bursa efek dan di bursa komoditas boleh melakukan spekulasi, mengapa para pedagang cabai tidak boleh?

Bahkan sampai harus dicari-cari polisi? Kalau Anda beranggapan saham bu - kan barang kebutuhan pokok, lantas apakah cabai masuk kategori makanan pokok? Anda tahu para pebisnis, apa - lagi pe laku UMKM dan petani, paling enggan dan takut ber - urusan dengan penegak hu - kum. Masih banyak di antara mereka yang beranggapan bis - nis nya bakal terganggu, hidup - nya terancam, dan masa depan terusik.

Business Friendly

Jadi, menurut saya, mung - kin lebih bijak jangan mengatasi spekulasi dengan memakai pen dekatan sekuriti. Cara-cara seperti ini harus sudah kita disrupsi. Kita harus memakai pendekatan yang lebih business friendly. Bicara soal ini, saya jadi ingat dengan soal daging sapi. Feno - menanya persis cabai. Harga daging sapi selalu naik men - jelang Lebaran dan setelah itu seakan-akan enggan turun lagi. Negara kita sekarang ini sudah menjadi salah satu importir sapi—ingat, ini sapi hidup, bukan dagingnya—terbesar di dunia.

Sepanjang tahun 2016 kita mengimpor 600.000-an sapi dari Australia. Untuk tahun ini impor sapi kita bahkan bakal naik lagi menjadi 700.000 ekor. Anda tahu, mengimpor sapi hidup jelas lebih mahal ketim - bang impor dagingnya. Ada ba - nyak biaya tambahan. Misalnya biaya pakan selama perjalanan, biayaasuransi, danberbagaibiaya lain. Maka tak meng herankan kalau akhirnya harga daging sapi menjadi lebih mahal. Pada - hal banyak negara sudah tidak lagi mengimpor sapi hidup. Mereka meng impor nya dalam kondisi beku. Dengan berkem - bangnya teknologi penyim pan - an, kualitas daging sapi beku ini sebetulnya tidak kalah bila dibandingkan dengan sapi segar.

Pendekatan serupa mung kin bisa kita terapkan pada cabai. Kita tidak perlu lagi mengi rim - kannya dalam bentuk segar, melainkan dalam bentuk bubuk cabai. Toh akhirnya ketika di - olah menjadi sambal, misalnya, cabai kita gerus juga. Kita hancurkan. Ketika sudah jadi sambal, yang kita nikmati juga hanya pedasnya. Bukan lagi ini dari cabai segar atau bubuk. Anda tahu, mengirimkan cabai dalam bentuk segar juga sama seperti impor sapi hidup. Biayanya lebih mahal dan risi - ko nya lebih tinggi. Kalau terlalu lama di jalan, misalnya, cabai bisa membusuk. Lalu, karena masih banyak mengan dung air, cabai menjadi lebih berat.

Risiko dan berat serta berbagai ma - salah lain pada akhirnya harus dikonversi men jadi harga. Jelas, harga yang lebih mahal. Disrupsi lainnya adalah pen - dekatan intervensi pasar. Jadi agak mirip seperti peran Bulog dalam menjaga harga beras. Untuk pendekatan seperti ini, kita bisa mendayagunakan BUMN. Kita punya PT Bhanda Ghara Reksa (BGR) dengan skema bisnis resi gudang. Lalu untuk asuransi, bisnis ini sekarang sudah digarap oleh PT Jamkrindo.

Dengan skema ini, petani tak perlu langsung men - jual hasil panen nya—terlebih saat harganya rendah. Petani bisa menyimpan hasil panen - nya di gudang-gudang milik BGR. Kelak BGR akan mener - bit kan resi yang mirip dengan kontrak dalam bursa berjangka. Jadi resi ini bisa ditransaksikan atau dipakai sebagai jaminan ke bank. Nah, untuk kepentingan intervensi pasar, pemerintah bisa membeli hasil panen yang ada di gudang BGR—tentu dengan cara membeli resinya. Bukannya langsung membeli dari petani.

Selebihnya pemerintah tentu boleh merekayasa agar budi daya cabai tidak terkonsentrasi hanya di beberapa daerah. Kalau bisa tersebar sehingga pasokannya tidak meng - alir hanya di satu arah. Dengan cara seperti ini, saya berharap tahun depan kita tak perlu membeli cabai seharga ratusan ribu per kilogram. Juga tak perlu melibatkan polisi dalam urusan harga cabai. Makan tanpa cabai memang kurang enak. Tapi kalau harga cabainya “lebih pedas” ketimbang rasanya, pasti lebih tidak enak.


 ( Mohon maaf, masih versi asli, belum di-edit )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar