Cabai
Dipolisi atau Disrupsi?
Rhenald Kasali ;
Pendiri
Rumah Perubahan
|
KORAN
SINDO, 09
Maret 2017
Mungkin ini hanya ter jadi di Indonesia: harga cabai lebih
mahal ke timbang harga daging sapi. Ini perbandingannya. Harga da ging sapi
saat ini masih berkisar Rp120.000 per kilogram, sementara cabai sudah menem
bus Rp160.000. Bahkan sejumlah perusahaan makanan be rani membeli cabai dari
pengepul seharga Rp181.000 per kilogram. Bagaimana bisa? Nyatanya begitu.
Bahkan yang tak kalah janggal—maaf saya memakai istilah janggal—adalah ketika
suatu pagi, sambil sarapan, saya menyaksikan talk show di sebuah TV swasta
yang membahas soal melonjaknya harga cabai. Anda tahu siapa nara sumbernya?
Selain pejabat dari Kementerian Perdagangan, pem - bicara
lain bukan pakar ekonomi dan bisnis, bukan pula para pedagang cabai, me
lainkan dari Badan Reserse Kriminal, Kepolisian RI. Mengapa kepolisian sampai
meng urusi harga cabai? Baiklah saya uraikan sedikit sebab-musababnya.
Mulanya jelas lonjakan harga cabai tadi. Di Jakarta, pasokan cabai di Pasar
Induk Kramat Jati yang biasa - nya mencapai 40 ton per hari turun tajam
menjadi tinggal 12 ton. Jelas harga cabai langsung melonjak.
Anjloknya pasokan ini ko non karena banyak perusahaan
makan - an memborong cabai dari para pengepul. Bahkan un tuk bisa mem - beli
cabai, perusahaan-perusahaan tersebut bersedia membeli dengan
hargaRp181.000per kilogram. Semen - t ara para pe da gang ha nya sanggup
membeli dengan harga Rp160.000 per kilogram. Aksi perusahaan mem borong cabai
inilah yang bakal diperik sa kepolisian. Me reka diduga me lakukan praktik
kartel. Betulkah? Supaya fair, kita lihat definisi kartel. Dalam UU Nomor
5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
kartel termasuk jenis perjanjian yang dilarang.
Di sana dituliskan, “Pelaku usaha dilarang membuat per -
janjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk memengaruhi harga
dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa yang
dapat meng - akibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat.” Menurut otak sederhana saya, aksi beberapa perusahaan memborong
cabai harusnya tak bertujuan untuk memengaruhi harga. Aksi ini lebih didorong
upaya untuk mengamankan pro ses produksi, bukan me - nyim pan cabai dan kelak
dijual kembali ketika harga terus ber - gerak naik. Masalahnya mereka telah
menjadi produsen besar yang produknya sudah kadung dikehendaki pasar.
Spekulasi itu Biasa
Naiknya harga cabai adalah fenomena bisnis biasa. Ini hu -
kum supply and demand. Semua tahu, setiap kali terjadi banjir, siapa pun
presiden atau gu ber - nurnya, ya pastilah distribusi barang terganggu. Panen
gagal. Pasokan berkurang dan harga pun melonjak. Fenomena harga cabai dan
kalau tahun-tahun lalu ditambah dengan lonjakan harga bawang merah selalu
terjadi. Nyaris setiap tahun. Inilah mungkin yang membuat kita sebal. Kita
seakan-akan tak pernah belajar. Lalu para pengepul tadi di - cari-cari
polisi.
Mereka dituding melakukan permainan yang mem buat harga
cabai melam - bung. Aksi spekulasi yang me - reka lakukan kemudian men - jadi
sorotan. Ini keterlaluan. Se - bab dalam bisnis aksi spekulasi adalah hal
biasa. Lihatlah di bursa efek, juga di bursa komo - ditas berjangka, isinya
spe kulasi semua. Hanya di sana para pe - laku bursa melengkapi dirinya
dengan sejumlah perangkat. Mereka mengembangkan ber - bagai model matematika
dan rumus-rumus lainnya untuk memprediksi naik-turunnya harga saham (kalau di
bursa efek) atau kalau di bursa ber - jangka yang ditransaksikan adalah
kontrak. Perangkat ini penting untuk meyakinkan investor.
Apakah prediksinya selalu benar? Belum tentu. Bisa saja
harga saham (atau kontrak) suatu perusahaan diprediksi bakal naik, tetapi
yang terjadi sebaliknya. Malah anjlok. Jadi kalau merujuk di dua bursa
tersebut, spekulasi adalah hal biasa. Bahkan aksi spekulasi telah membuat
pasar bergairah. Harga saham bergerak naik atau turun sehingga ada peluang
bagi para investor untuk me ngail ke - untungan (termasuk menang - gung
risiko rugi). Bayangkan kalau harga saham-saham atau kontrak di dua bursa
tadi terus flat, bergerak mendatar, tak ada investor yang mau beli. Di dua
bursa ini, nilai spe - kulasinya juga tak tanggungtanggung!
Kalau di Bursa Efek Indonesia transaksinya lebih dari Rp5
triliun per hari. Ada - pun di bursa berjangka, ada dua bursa. Pertama, Bursa
Ber - jangka Jakarta yang setiap hari transaksinya berkisar Rp260 miliar.
Kedua, Bursa Komoditas dan Derivatif Indonesia yang nilai transaksinya baru
Rp49 miliar. Kalau para pialang di bursa efek dan di bursa komoditas boleh
melakukan spekulasi, mengapa para pedagang cabai tidak boleh?
Bahkan sampai harus dicari-cari polisi? Kalau Anda
beranggapan saham bu - kan barang kebutuhan pokok, lantas apakah cabai masuk
kategori makanan pokok? Anda tahu para pebisnis, apa - lagi pe laku UMKM dan
petani, paling enggan dan takut ber - urusan dengan penegak hu - kum. Masih
banyak di antara mereka yang beranggapan bis - nis nya bakal terganggu, hidup
- nya terancam, dan masa depan terusik.
Business Friendly
Jadi, menurut saya, mung - kin lebih bijak jangan
mengatasi spekulasi dengan memakai pen dekatan sekuriti. Cara-cara seperti
ini harus sudah kita disrupsi. Kita harus memakai pendekatan yang lebih
business friendly. Bicara soal ini, saya jadi ingat dengan soal daging sapi.
Feno - menanya persis cabai. Harga daging sapi selalu naik men - jelang
Lebaran dan setelah itu seakan-akan enggan turun lagi. Negara kita sekarang
ini sudah menjadi salah satu importir sapi—ingat, ini sapi hidup, bukan
dagingnya—terbesar di dunia.
Sepanjang tahun 2016 kita mengimpor 600.000-an sapi dari
Australia. Untuk tahun ini impor sapi kita bahkan bakal naik lagi menjadi
700.000 ekor. Anda tahu, mengimpor sapi hidup jelas lebih mahal ketim - bang
impor dagingnya. Ada ba - nyak biaya tambahan. Misalnya biaya pakan selama
perjalanan, biayaasuransi, danberbagaibiaya lain. Maka tak meng herankan
kalau akhirnya harga daging sapi menjadi lebih mahal. Pada - hal banyak
negara sudah tidak lagi mengimpor sapi hidup. Mereka meng impor nya dalam
kondisi beku. Dengan berkem - bangnya teknologi penyim pan - an, kualitas
daging sapi beku ini sebetulnya tidak kalah bila dibandingkan dengan sapi
segar.
Pendekatan serupa mung kin bisa kita terapkan pada cabai.
Kita tidak perlu lagi mengi rim - kannya dalam bentuk segar, melainkan dalam
bentuk bubuk cabai. Toh akhirnya ketika di - olah menjadi sambal, misalnya,
cabai kita gerus juga. Kita hancurkan. Ketika sudah jadi sambal, yang kita
nikmati juga hanya pedasnya. Bukan lagi ini dari cabai segar atau bubuk. Anda
tahu, mengirimkan cabai dalam bentuk segar juga sama seperti impor sapi
hidup. Biayanya lebih mahal dan risi - ko nya lebih tinggi. Kalau terlalu
lama di jalan, misalnya, cabai bisa membusuk. Lalu, karena masih banyak
mengan dung air, cabai menjadi lebih berat.
Risiko dan berat serta berbagai ma - salah lain pada
akhirnya harus dikonversi men jadi harga. Jelas, harga yang lebih mahal.
Disrupsi lainnya adalah pen - dekatan intervensi pasar. Jadi agak mirip
seperti peran Bulog dalam menjaga harga beras. Untuk pendekatan seperti ini,
kita bisa mendayagunakan BUMN. Kita punya PT Bhanda Ghara Reksa (BGR) dengan
skema bisnis resi gudang. Lalu untuk asuransi, bisnis ini sekarang sudah
digarap oleh PT Jamkrindo.
Dengan skema ini, petani tak perlu langsung men - jual
hasil panen nya—terlebih saat harganya rendah. Petani bisa menyimpan hasil
panen - nya di gudang-gudang milik BGR. Kelak BGR akan mener - bit kan resi
yang mirip dengan kontrak dalam bursa berjangka. Jadi resi ini bisa
ditransaksikan atau dipakai sebagai jaminan ke bank. Nah, untuk kepentingan
intervensi pasar, pemerintah bisa membeli hasil panen yang ada di gudang
BGR—tentu dengan cara membeli resinya. Bukannya langsung membeli dari petani.
Selebihnya pemerintah tentu boleh merekayasa agar budi daya
cabai tidak terkonsentrasi hanya di beberapa daerah. Kalau bisa tersebar sehingga
pasokannya tidak meng - alir hanya di satu arah. Dengan cara seperti ini,
saya berharap tahun depan kita tak perlu membeli cabai seharga ratusan ribu
per kilogram. Juga tak perlu melibatkan polisi dalam urusan harga cabai.
Makan tanpa cabai memang kurang enak. Tapi kalau harga cabainya “lebih pedas”
ketimbang rasanya, pasti lebih tidak enak. ●
|
(
Mohon maaf, masih versi asli, belum di-edit )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar