Islam
Arab dan Islam Nusantara
Ahmad Najib Burhani ;
Peneliti
Senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KORAN
SINDO, 10
Maret 2017
Dalam diskursus tentang Islam di Indonesia, sering muncul
upaya mendefinisikan identitas Islam Nusantara sebagai lawan dari “Islam
Arab”, bahwa Islam Nusantara adalah antitesis dari citra Islam yang tampil di
dunia Arab.
Islam Nusantara adalah Islam yang telah mengalami “pribumisasi”
atau nativization sehingga sesuai dengan kepribadian dan jati diri bangsa
Indonesia. Karakter yang sering disematkan kepada Islam Nusantara adalah
ramah, antikekerasan, toleran, menghargai tradisi, dan menghargai kebangsaan
(Sahal dan Aziz [eds.] 2015).
Kebalikan dari Islam Nusantara, Islam Arab sering
diasosiasikan dengan beberapa sifat negatif, seperti kekerasan, diskriminasi,
dan pelecehan terhadap perempuan, tidak menghargai tradisi dan warisan
sejarah yang digambarkan dengan penghancuran heritage dari Mekkah dan Madinah, serta cenderung menolak inovasi
dalam pemikiran keagamaan. Pandangan ini sering didukung dengan kabar tentang
perlakuan terhadap TKI (tenaga kerja Indonesia), larangan bagi perempuan
untuk menyopir, wisata Arab di Puncak, pembangunan Mekkah yang mirip Las
Vegas, dan tak kunjung usainya perang dan konflik di Timur Tengah.
Karena itulah, sering didengar penegasan bahwa Islam
Indonesia bukanlah Islam Arab. Bahkan, ada juga yang bersikap ekstrem dengan
mengekspresikan ketidaksukaan terhadap simbol atau apa pun yang berkaitan
dengan identitas Arab yang ada di masyarakat. Problem yang terkait dengan
citra buruk Islam Arab itu akan kita singgung nanti, tapi inti dari tulisan
ini adalah ingin membahas pertanyaan tentang mengapa sebagian orang terlihat
begitu antipati terhadap budaya Arab yang ditampilkan di masyarakat? Mengapa
pertentangan identitas etnik antara “Islam Pribumi” dan “Islam Asing” sering
mengemuka belakangan ini?
Penguatan Identitas
Dalam tulisannya yang berjudul “Religious Freedom, the
Minority Question, and Geopolitics in the Middle East” (2012) Saba Mahmood,
di antaranya mencoba melihat tentang adanya penguatan identitas dan dampaknya
terhadap pertentangan antara “agama pribumi” dan “agama asing” di Mesir.
Mahmood menyebutkan, saat ini sebagian orang meragukan
identitas dan loyalitas orang Mesir yang memeluk agama Islam. Apakah mereka
tetap menjadi orang Mesir yang berakar kuat pada budaya bangsa itu atau telah
berubah menjadi orang Arab?
Menjadi muslim itu pada sebagian orang ternyata tak
sekadar perpindahan agama, tapi juga pergantian kultur; mengadopsi budaya
Arab, berbahasa Arab, dan berperilaku seperti orang Arab. Bahwa orang Mesir yang
menjadi muslim itu bukan hanya berubah identitas keagamaannya, tapi juga
identitas kulturalnya; mereka telah berubah menjadi orang Arab. Karenanya, beberapa orang Qoptik mengklaim,
hanya merekalah yang betul-betul menjaga dan memelihara identitas dan kebudayaan
Mesir.
Hal yang hampir sama terjadi di Indonesia, meski dalam
konteks dan relasi yang berbeda. Pertentangan identitas yang berkaitan dengan
Arab itu berada pada dua level, pertama, antara folk atau indigenous
religions vs foreign religions (agama leluhur atau pribumi vs agama asing).
Kedua, antara “Islam pribumi vs Islam asing” atau, jika ditarik pada garis
eks trem, antara “Islam Nusantara vs Islam Arab”.
Pada poin pertama, pertentangan itu terjadi karena
agama-agama yang dominan di Indonesia itu ternyata semuanya agama asing. Enam
agama yang“diakui” di Indonesia itu bahkan kadang dianggap sebagai agama
“penjajah” (invaders) yang
kehadirannya telah menggusur beragam agama lokal atau agama leluhur.
Bersamaan dengan pengukuhan mereka sebagai agama “resmi” atau “diakui”, berbagai
agama lokal itu lantas hanya dianggap sebagai kepercayaan, bukan agama. Mereka
tidak dianggap layak atau memenuhi syarat untuk disebut agama yang diberi
definisi mengikuti kriteria agama yang dominan.
Pada poin kedua, dalam konteks Islam saja, terdapat
perdebatan tentang implementasi ajaran-ajaran Islam dalam konteks
keindonesiaan, tentang universalisme ajaran Islam dan kosmopolitanisme
peradaban Islam, tentang dakwah kultural dan pribumisasi, dan lain-lain. Jika
dibawa ke hal konkret, maka pertanyaannya, misalnya adalah “Apakah jilbab
merupakan budaya Arab atau ajaran Islam? Apakah jenggot, khitan perempuan,
dan baju putih itu merupakan sesuatu yang kultural saja?” Pendeknya, apakah
dalam berislam itu kita harus mengadopsi budaya Arab atau kita bisa
memodifikasinya sesuai dengan kultur dan identitas Indonesia dan menamainya
“Islam Nusantara”? Poin ke dua ini menjadi isu panas ketika masyarakat sibuk
berdebat tentang definisi, metodologi, dan kriteria tentang Islam Nusantara.
Akulturasi dan Segregasi
Kedatangan orang Arab di Indonesia telah terjadi sejak
lama. Hubungan mereka dengan pribumi Nusantara juga tidak bisa dikatakan
monolitik. Selain itu, ada beragam proses akulturasi budaya yang dilakukan
oleh orang Arab ketika tiba di Indonesia. Konon, di beberapa tempat di NTB
(Nusa Tenggara Barat), orang-orang Arab tidak mengajarkan Bahasa Arab kepada
anak-anaknya agar mereka cepat beradaptasi dan menyatu dengan masyarakat setempat
(Bamualim 2016).
Bahkan, seperti ditulis oleh Michael Feener dalam
“Hibridity and the ‘Hadhrami Diaspora’ in the Indian Ocean Muslim Networks ”
(2004), tokoh-tokoh semisal Hamzah Fansuri, Nuruddin al- Raniri, Yusuf
al-Makassary, Abdul Rauf al-Singkeli , adalah beberapa contoh nama dari
keturunan Arab yang lebih dikenali dengan identitasnya sebagai orang
Indonesia daripada sebagai keturunan Arab, baik di dalam negeri maupun dalam
konteks internasional.
“Ethnicity... was not a primary factor in the construction
of one ís identity for these individuals .” Menurut kajian Feener, identitas Arab itu
baru menguat karena politik Belanda dan dilanjutkan oleh orang-orang Arab
sendiri pada awal abad ke-20 ketika merasakan bahwa penguatan identitas itu
diperlukan, di antaranya dalam konteks perjuangan kemerdekaan dan pembaruan
pemikiran keagamaan.
Belakangan ini, identitas etnis itu kembali menguat
seiring dengan globalisasi dan marjinalisasi. Saya sepakat dengan tulisan
Mohamad Shohibuddin (KORAN SINDO, 24 Januari 2017) bahwa masyarakat sering
terjebak dalam memahami Islam Nusantara, yaitu, “sebagai ekspresi
sosio-keagamaan dari kelompok tertentu di Indonesia, dalam hal ini Nahdlatul
Ulama” dan bahwa “Islam Nusantara ‘mahjubun bin Nahdliyyin”, yakni dikaburkan
oleh kalangan NU sendiri”. Lebih parah lagi, banyak tokoh yang sering
memperhadapkan Islam Nusantara dengan Islam Arab sebagai cara mendefinisikan
dirinya. Ini tentu bisa memperkuat identitas Islam Nusantara, tapi melalui
jalur yang negatif.
Inilah di antaranya yang juga berkontribusi terhadap
terciptanya kebencian terhadap Islam Arab. Tuduhan terhadap Islam Arab
sebagai sumber kekerasan ini sangat mungkin tidak diterima oleh orang Arab
atau keturunan Arab di Indonesia. Ini adalah bagian dari stereotyping. Kajian lebih detail tentang ini sedang dilakukan
oleh Ermin Sinanovic dari IIIT (International Institute of Islamic Thought)
Virginia. Namun, secara ringkas, kutipan dari Azhar Irfansyah dan Muhammad
Azka Fahriza (2017, 45) cukup mewakili.
“Ada banyak prasangka tidak sehat
yang dilancarkan terhadap gerakan Islamis. Salah satu yang paling sering
dikemukakan di media sosial adalah gerakan ini tidak pas dengan ekosistem
Nusantara dan harus diasingkan ke Timur Tengah. Ini pandangan yang sama keblingernya
dengan kelompok rasis ultrakanan Golden Dawn di Yunani, yang menganggap semua
kekerasan berasal dari Arab dan harus dikembalikan ke Arab”.
Beruntung, kedatangan Raja Salman membantu menetralkan
stereotip negatif tersebut dan bahkan berfungsi melawan citra negatif Arab.
Sikap masyarakat terhadap kedatangan Raja Salman dan rombongannya berbeda dari
pandangan dan sikap yang sering muncul berkaitan dengan Arab. Kunjungan ini
menjadi topik utama berita nasional dan umumnya terlihat positif. Pembicaraan
bergerak dari persoalan investasi, kerja sama, Wahabisasi, TKI di Saudi
Arabia, wisata Arab di Puncak, Arab ori vs Arab kw, pertemuan dengan Ahok,
wisata ke Bali, mobil dan barang perbekalan yang dibawa, tentang Raja Salman
sendiri serta keluarganya, dan berbagai topik lain.
Beberapa media bahkan menggunakan kunjungan Raja Salman
ini untuk menyindir beberapa orang ke turunan Arab yang sering di citrakan
dengan kekerasan dan belakangan ingin membakar populisme Islam untuk melawan
negara. Maka, tema-tema yang diangkat oleh media tersebut dari kunjungan Raja
Salman adalah penguatan Islam moderat dan penentangan terhadap terorisme.
Terakhir, perbedaan antara saya dan Shohibuddin dalam
konteks Islam Nusantara adalah pada pemahaman tentang makna exceptional Islam.
Shohibuddin mendefinisikannya sebagai “identik dengan Nahdlatul Ulama (NU)”,
maka saya memahaminya sebagai sesuatu yang menjadi sumber pride dan
kepercayaan diri. Sebagai exceptional Islam, Islam Nusantara adalah Islam
yang unik; bisa beradaptasi secara kultural tanpa kehilangan substansinya
sama sekali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar