Senin, 03 Agustus 2015

Politik Serbasalah

Politik Serbasalah

Moh Mahfud MD ;  Guru Besar Hukum Konstitusi
                                                  KORAN SINDO, 01 Agustus 2015 

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Banyak di antara kita yang sangat gelisah melihat perkembangan politik terkait dengan pemilihan umum kepala daerah (pilkada). Pertama, kita kaget ketika ternyata ada beberapa mantan narapidana ikut mendaftar sebagai calon kepala daerah.

Ini sungguh mengagetkan sebab yang dulu-dulu orang yang pernah dihukum pidana dengan ancaman pidana lima tahun atau lebih tidak bisa menjadi kepala daerah. Pada 2009, melalui perdebatan panas di antara para hakimnya, melalui putusan Nomor 4/PUUVII/ 200 (25 Maret 2009) MK menentukan bahwa mantan narapidana bisa menjadi pejabat publik yang dipilih oleh rakyat asal sudah keluar dari lembaga pemasyarakatan selama minimal lima tahun.

Alasannya, orang yang sudah dihukum berarti sudah menebus dosanya. Setelah rakyat diberi kesempatan untuk menilai perilakunya selama lima tahun yang bersangkutan boleh mencalon diri. Sekarang, berdasar Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 (9 Juli 2015) orang yang baru keluar dari penjara bisa langsung mencalonkan diri sebagai kepala daerah, tanpa batasan jeda waktu dan tanpa batasan tindak pidana apa yang dilakukannya.

Secara pribadi saya menyayangkan putusan MK tersebut, apalagi tanpa mengecualikan tindak pidana tertentu yang sebaiknya tak diperbolehkan ikut menjadi calon kepala daerah, misalnya terorisme, narkoba, dan korupsi. Benar, bahwa jika orang sudah dihukum berarti sudah menebus kesalahannya sehingga hak-haknya harus dipulihkan.

Tetapi benar juga, demi pertimbangan tertentu, menurut Pasal 28J ayat (2) UUD hak asasi manusia itu bisa dikurangi dengan ketentuan undang-undang. Di negara-negara yang demokrasinya liberal sekalipun, pembatasan bagi mantan napi diberlakukan berdasar undangundang. Rasanya kita ini sudah jauh lebih liberal dalam perlindungan HAM dibandingkan dengan negara-negara lain.

Pertimbangan moral dan etika publik tak lagi menjadi hal utama. Banyakyangrisau, secara teoretis, sekarang orang yang baru keluar dari penjara dan masih punya uang banyak bisa langsung menjadi calon kepala daerah. Kita tak boleh berdalih, rakyat tentu akan menilai dan tetapakanmemilihyangterbaik.

Nyatanya, dalam pengalaman yang belum lama, karena politik uang dan kebrutalan politik, rakyat tetap memilih orang yang punya kasus korupsi, bahkan orang yang sedang dihukum di penjara karena korupsi. Tetapi, betapa pun kita tidak suka, putusan MK itu bukan hanya harus dihormati, melainkan harus ditaati.

Menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 putusan MK itu bersifat final, mengikat untuk dilaksanakan. Berita panas lainnya yang juga menggelisahkan adalah munculnya pasangan calon tunggal di beberapa daerah. Ada satu pasangan calon yang tidak mempunyai lawan karena tidak ada pasangan lain yang mendaftar.

Ini merepotkan karena menurut undang-undang pasangan calon harus lebih dari satu, tak boleh tunggal. Ada yang menyalahkan pembentuk undang-undang karena tidak membuka kemungkinan munculnya pasangan calon tunggal. Katanya, seharusnya calon tunggal diperbolehkan.

Jika tidak ada pasangan calon lain yang berani maju atau tidak ada yang memenuhi syarat dukungan untuk maju maka seharusnya pasangan calon tunggal langsung dinyatakan sebagai pemenang. Sebenarnya kemungkinan seperti itu sudah pernah didiskusikan. Tapi pembentuk undang-undang menetapkan, pasangan calon harus lebih dari satu untuk menghindari “koalisi licik”.

Kalau calon tunggal diperbolehkan, bisa terjadi semua parpol dibeli secara borongan guna berkoalisi untuk satu calon saja. Maka pembentuk undangundang tak membolehkan adanya calon tunggal. Bahkan agar bisa lebih fair dibuka juga peluang untuk pasangan calon perseorangan bukan dari partai politik (independen). Jadi penetapan pasangan calon tunggal itu memang ada alasan logisnya.

Ternyata, saat ini kita dihadapkan pada situasi pelik karena pasangan calon tunggal tetap muncul di lebih dari sepuluh kabupaten/kota. Mau diundur sampai tahun 2017? Bagaimana kalau pada 2017 tetap hanya ada satu pasangan? Sejak era reformasi pengaturan pemilihan kepala daerah memang berjalan dalam proses eksperimentasi yang tampak selalu serbasalah.

Pada awal reformasi, berdasarkan UU Nomor 22/1999, kita serahkan sepenuhnya pemilihan kepada daerah kepada DPR provinsi/kabupaten/kota. Namun, karena mekanisme tersebut berpotensi dan ditengarai dijadikan ajang jual beli suara oleh oknum-oknum anggota DPRD maka berdasarkan UU Nomor 32/2004 mekanismenya diubah menjadi pemilihan langsung.

Perubahan ke pemilihan langsung tak menghilangkan isu politik uang. Konon, untuk menjadi calon kepala daerah biaya yang harus dikeluarkan oleh calon jauh lebih besar karena selain harus membayar “mahar” yang mahal ternyata orangorang yang baik tetapi tak punya parpol atau tak punya uang untuk parpol menjadi tertutup untuk menjadi calon.

Maka, mekanisme pun diubah lagi, dibuka peluangbagi calon perseorangan bukan dari partai politik (independen) dengan syarat dukungan minimal tertentu oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Jadi setiap perubahan undang-undang yang merespons kritik dan problem di lapangan selalu bermasalah, bahkan selalu salah. Jadinya kita selalu ada dalam proses ekperimentasi yang tak pernah selesai.

Sebenarnya, persoalannya bukan terletak pada kebenaran atau keketatan pengaturan oleh undang-undang, melainkan karena mental korup yang sudah mendalam. Diatur bagaimanapun oleh undang-undang, ada saja akal kreatif untuk mengorupsinya. Menyedihkan, bangsa ini mempunyai orang-orang yang kreatif untuk melakukan korupsi dan melumpuhkan undang-undang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar