Paradoks
Asesmen Nasional Doni Koesoema A ; Pemerhati Pendidikan, Anggota BSNP
Periode 2019-2023 |
KOMPAS,
09 Maret
2021
Ketidakadilan, standardisasi manusia,
reduksi proses pendidikan. Inilah tiga residu yang masih tersisa akibat
kebijakan ujian nasional. Apakah asesmen nasional mampu menjawab tiga
persoalan ini? Ujian nasional (UN) tidak adil karena
disparitas kualitas guru dan sarana prasarana antardaerah dan sekolah yang belum
merata. Ketimpangan kualitas guru dan sarana belajar membedakan pengalaman
belajar tiap siswa dalam mempelajari kurikulum nasional. Dalam kondisi seperti ini, melaksanakan
ujian standar yang bersifat nasional melahirkan ketidakadilan. UN yang berpretensi
menstandarkan individu melalui pengetahuan pada mata pelajaran tertentu
mengabaikan dimensi inteligensi ganda (multiple intelligences) yang ada dalam
diri manusia (Gardner, 1983). Padahal, inteligensi ganda adalah sebuah
fakta. Paradigma standardisasi juga melecehkan
harkat dan martabat manusia. Padahal, bagi Ki Hajar Dewantara, pendidikan
adalah salah satu cara untuk memberikan nilai-nilai kebatinan menuju ke arah
keluhuran hidup kemanusiaan (KHD, 2011, 344). Pemberian nilai-nilai kebatinan
ini tidak terjadi melalui mekanisme UN. Reduksi atas proses pendidikan menjadi
persoalan utama dalam kebijakan UN. Guru dan siswa cenderung belajar untuk
ujian. Hasil UN yang secara implisit memeringkat sekolah dan keberhasilan
pendidikan daerah menjadi sumber manipulasi dan kecurangan. Kebijakan UN harus dihapus karena
mendistorsi konsep manusia sebagai pembelajar unik. UN menolak keunikan
individu dan fakta kecerdasan ganda yang jadi kodrat bagi berkembangnya
harkat dan martabat individu melalui pendidikan. Reduksi atas proses
pendidikan mempermiskin gairah belajar dan menjadikan anak instrumen
keberhasilan pihak lain. Nadiem Makarim juga tergagap-gagap saat
hendak memperbaiki kebijakan UN. Ini terlihat dari inkonsistensi dalam
berbagai penjelasannya. Awalnya, ia memperkenalkan istilah asesmen kompetensi
minimum (AKM) sebagai pengganti UN. Namun, setelah itu direvisi, AKM bukan
untuk menggantikan UN. Lalu muncul istilah baru asesmen nasional
(AN), yang di dalamnya terdapat AKM, survei karakter, dan survei lingkungan
belajar. AN inilah yang nanti akan menggantikan kebijakan UN. Bagi saya,
tidak pentinglah apa nama kebijakannya. Yang penting adalah apakah esensi
kebijakan baru ini dapat menjawab tiga residu kebijakan UN yang telah merusak
pendidikan kita selama dua dekade ini? Otonomi
guru Kebijakan Merdeka Belajar ala Nadiem
memperkuat kembali otonomi guru dan sekolah dalam menilai hasil belajar,
menentukan kenaikan, dan kelulusan peserta didik. Amanat ini sangat jelas
dalam UU Sisdiknas Pasal 58 Ayat 1 yang menyatakan bahwa ”evaluasi hasil
belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses,
kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”. Dalam konsep sistem evaluasi pendidikan di
Indonesia, satu-satunya pelaku dalam ekosistem pendidikan yang memiliki hak
untuk menilai hasil belajar peserta didik adalah guru (pendidik) dan sekolah.
Alasannya jelas. Guru dan sekolahlah yang paling memahami dinamika dan proses
belajar peserta didik. Guru dan sekolahlah yang paling mengerti
siapa peserta didik yang sedang didampingi dalam proses belajar. Maka,
mengembalikan kepercayaan dan mandat secara total kepada para guru dan
sekolah merupakan kebijakan tepat. Berpihak
kepada anak Kelebihan AN dibandingkan UN adalah
kebijakan ini lebih berpihak kepada anak. AN tidak membuat anak tertekan
karena yang dievaluasi adalah sistem pendidikan dan iklim yang melingkupi
kegiatan belajar. Bahkan, AN tidak dilakukan pada akhir tahun pelajaran. Hasil AN akan menjadi rapor sekolah atau
profil sekolah. Kumpulan profil sekolah ini akan jadi gambaran profil
pendidikan daerah. Profil pendidikan daerah menjadi dasar bagi pemda
mengevaluasi kebijakan pendidikan demi perbaikan. Melalui kebijakan berbasis fakta dan data
ini, diharapkan ke depan terjadi transformasi pendidikan yang sinergis antara
pemerintah pusat, pemda, satuan pendidikan, masyarakat. Beginilah kira-kira logika transformasi
pendidikan melalui kebijakan AN. Bahwa AN tidak menilai hasil belajar peserta
didik tidak berarti otomatis AN berpihak kepada anak. AN hanya sekadar tidak
membebani siswa saja, tetapi belum secara eksplisit berpihak kepada anak
karena AN merupakan sebuah asesmen untuk menilai kualitas sistem pendidikan. Sebagai alat evaluasi sistem, dampak final
pada peserta didik terjadi ketika ada intervensi lanjutan terhadap para guru
yang mengajar dan perbaikan lingkungan sekolah berdasarkan hasil asesmen.
Siswa sebenarnya tidak secara langsung memperoleh manfaat dari AN. Lebih dari itu, hasil AN tidak mencerminkan
apa yang dibutuhkan individu per individu siswa sehingga tidak dapat
menunjukkan intervensi khas apa yang dibutuhkan peserta didik dalam
mengembangkan kompetensinya. Hasil AN memberi informasi tentang kualitas
guru dan iklim sekolah, tetapi tidak memberikan informasi bagaimana membantu
individu per individu siswa dalam mengembangkan literasi dan numerasi.
Padahal, persoalan setiap anak berbeda. Hasil AN tidak membantu pengembangan
siswa secara langsung. Paradoks
asesmen Sebuah asesmen dikatakan berpihak kepada anak
apabila asesmen tak dikaitkan dengan kepentingan dan tujuan lain, selain demi
pertumbuhan dan perkembangan anak itu sendiri. Di sinilah kebijakan AN
mengalami paradoks. Di satu sisi, ia tak membebani anak karena
tak menilai hasil belajar individu per individu. Namun, di lain sisi, hasil
AN akan menjadi rapor sekolah dan rapor pendidikan daerah. Kebijakan AN akan berdampak tinggi pada
persepsi masyarakat terhadap kualitas sekolah dan pandangan publik terhadap
keberhasilan kebijakan pendidikan kepala daerah. Padahal, pertaruhan seperti
inilah yang selama ini terjadi melalui kebijakan UN sehingga melahirkan
banyak kecurangan, manipulasi, distorsi, dan reduksi proses pendidikan. Jika kebijakan AN memiliki dampak tinggi
pada kualitas sekolah, apalagi jika hal ini juga nanti akan dikaitkan dengan
akreditasi sekolah, dan kebijakan pendidikan di daerah, potensi manipulasi
akan terjadi. Pertaruhan AN adalah guru, kepala sekolah,
pengawas, dan pemerintah daerah. Bagi sekolah swasta, hasil AN memengaruhi
persepsi masyarakat yang berdampak pada penerimaan siswa baru. Ini berarti
pertaruhan keberlangsungan sekolah di masa depan. Distorsi tujuan AN sangat potensial.
Sekolah akan berlatih mempersiapkan soal-soal AKM. Kepala sekolah, guru, dan
pengawas akan bersinergi agar hasil AN menjadi baik apa pun caranya. Survei
karakter pun juga berpotensi dimanipulasi. Siswa akan dilatih menjawab yang
baik sehingga pertanyaan terkait lingkungan belajar akan dibuat sedemikian
rupa sehingga hasilnya baik. Fenomena ini yang saat ini terjadi. Saat
kebijakan AN belum dimulai pun sudah muncul berbagai macam buku kiat-kiat
sukses mengerjakan AKM. Bahkan ada sekolah yang sudah merencanakan
mempelajari dan mempersiapkan siswa terkait soal-soal survei karakter.
Akhirnya, pendidikan kita akan kembali lagi ke titik nol! Belajar
bermakna Kualitas pendidikan nasional sangat
tergantung dari kualitas pembelajaran. Kualitas belajar sangat tergantung
dari bagaimana guru memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi peserta
didik. Di sini, pembelajaran kontekstual berbasis pemecahan masalah melalui
umpan balik langsung dari guru terhadap hasil belajar dapat mendorong
kemajuan belajar (Hattie, 2009). Pengalaman belajar bermakna akan tergantung
dari sejauh mana proses belajar yang difasilitasi guru menghargai keunikan
individu dan memberi ruang bagi berkembangnya berbagai macam kecerdasan dalam
diri peserta didik. UN dan rancangan AN sama-sama tak memiliki
kaitan langsung dengan prinsip kemajuan belajar ini. Padahal, prinsip
pembelajaran kontekstual terindividualisasi inilah yang melahirkan pengalaman
belajar otentik yang mendorong kemajuan belajar. Ketidakadilan mungkin bisa diselesaikan
melalui AN ketika hasil AN menjadi rujukan wajib pemda untuk membenahi
kualitas guru dan sarana prasarana pendidikan. Gelojoh standardisasi yang
meredusir siswa sebagai barang mungkin bisa dihilangkan melalui kebijakan AN
yang tidak menghakimi hasil belajar peserta didik. Namun, reduksi atas proses pendidikan akan
tetap terjadi ketika AN dimanfaatkan untuk menilai kualitas guru, sekolah,
dan kebijakan pendidikan kepala daerah. Reduksi atas proses pendidikan inilah
yang dikritik atas kebijakan UN. Kebijakan penggantinya ternyata kembali
terjerumus pada kubang persoalan yang sama. Asesmen akan semakin mengerdilkan makna
belajar, gagal mengembangkan keunikan dan kecerdasan individu, bahkan
menjadikan individu sebagai instrumen keberhasilan guru, sekolah, kepala
daerah. Kondisi ini justru bertentangan dengan
usaha pengembangan iklim pendidikan yang ramah secara moral, di mana individu
dihargai harkat dan martabatnya, keunikannya diakui, potensinya dikembangkan,
dan kehadirannya diterima apa adanya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar