Belajar
Merdeka Melalui Merdeka Belajar Abdul Haris ; Wakil Rektor Universitas Indonesia
Bidang Akademik dan Kemahasiswaan |
KOMPAS,
09 Maret
2021
Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang
diteken melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 3 Tahun
2020 menjadi angin segar bagi insan pendidikan tinggi di Indonesia. Salah
satu gebrakan Menteri Nadiem Makarim dalam paket kebijakan itu adalah hak
belajar tiga semester di luar program studi (prodi). Dengan aturan tersebut, mahasiswa dapat
memilih beraneka kegiatan, mulai dari pertukaran pelajar, magang, asistensi
mengajar, riset, proyek kemanusiaan, kegiatan wirausaha, proyek independen,
hingga membangun desa yang kemudian dikonversi dan diakui menjadi kredit
nilai. Mas Menteri (demikian ia akrab disapa)
dalam pemaparannya mengatakan bahwa sebelumnya, mahasiswa ibarat seorang
perenang yang hanya dilatih satu gaya renang saja di sebuah kolam yang teduh.
Naasnya, di kehidupan pascakampus, mahasiswa dihadapkan pada laut bebas
dengan ombak berkecamuk dan dituntut untuk menguasai berbagai macam gaya. Tak
ayal perenang itu terseok-seok, bahkan terseret arus karena tidak menguasai
medan. Analogi tersebut tidak berlebihan mengingat
masih tingginya mismatch antara universitas dan industri. Lembaga Demografi
Universitas Indonesia pada 2015 mencatat ada 53,33 persen ketidakcocokan antara pendidikan dan
pekerjaan berdasarkan tingkat pendidikan dan upah yang didapat (vertical
mismatch) serta ketidaksesuaian antara pekerjaan dan pendidikan berdasarkan
kesesuaian kemampuan pekerjaan dengan bidang pekerjaan (horizontal mismatch)
sebesar 60,52 persen. Melalui hak belajar tiga semester di luar
program studi itu, mahasiswa kini memiliki keleluasaan menentukan sendiri
aktivitas belajarnya dan memilih sendiri keterampilan yang hendak dikuasai
sebagai bekal menghadapi dunia kerja sesuai dengan proyeksi karier
masing-masing. Kemerdekaan
akademik Kemerdekaan adalah rasa lepas dari segala
bentuk ketergantungan dan paksaan. Sementara dalam kebijakan MBKM ini,
kemerdekaan adalah kunci keberhasilan implementasinya. Dengan kebebasan, mahasiswa ditantang
menjadi pembelajar yang aktif dan mandiri. Merdeka berpikir, leluasa
bersikap, bebas menentukan tujuan, dan berani mengajukan solusi permasalahan.
Dengan kelapangan itu pula, para birokrat kampus jadi berpeluang untuk
membuka kolaborasi bersama institusi pendidikan, dunia usaha, pemerintah, dan
masyarakat. Dosen tidak hanya menguasai laboratorium dan
ruang kelas, tetapi juga menguasai kemampuan negosiasi dan membangun jejaring
dengan berbagai mitra. Silaturahmi budaya inilah yang akan memperkaya
perspektif dan kreativitas kita sehingga demikian inovasi terus tumbuh. Tidak
ada kreativitas dan inovasi tanpa kemerdekaan berpikir dan kemerdekaan
bertindak. Napas kebijakan Kampus Merdeka juga selaras
dengan prinsip kebebasan akademik dan otonomi pendidikan tinggi. Magna Charta
Universitatum (1988) menegaskan bahwa universitas adalah lembaga otonom yang menjadi
jantung peradaban. Untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan
masyarakat dunia, pembelajaran dan penelitian di universitas harus merdeka
secara moral dan intelektual dari segala jenis paksaan. Kampus merdeka adalah kebijakan yang sangat
humanistik dan inklusif karena ia mengamini bahwa bakat setiap mahasiswa itu
penting. Sekaligus mengafirmasi bahwa setiap minat individu perlu
difasilitasi. Mahasiswa dapat mendesain sendiri mata kuliah dan aktivitas
belajarnya secara aktif dan mandiri. Tridharma Hak belajar tiga semester di luar prodi
juga dapat disinkronkan dengan pelaksanaan Tridharma perguruan tinggi, yakni
pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Dari segi pengajaran, kebijakan ini
memungkinkan mahasiswa mengambil mata kuliah lintas jurusan, fakultas, dan
bahkan universitas sehingga mahasiswa mempunyai pemahaman lintas disiplin. Di
samping itu, kebijakan ini turut mengakui asistensi mengajar yang mungkin
selama ini bersifat pro bono, kini ada insentif tambahan berupa nilai. Dalam aspek penelitian, ada banyak
aktivitas yang dapat dilakukan. Misalnya mahasiswa menggelar riset kolaborasi
bersama dosen, memanfaatkan hibah dari universitas, pemerintah dan industri.
Bisa juga penelitian lapangan di sejumlah wilayah di Indonesia, untuk menghasilkan
publikasi yang memecahkan tantangan sosial. Beraneka inovasi hasil riset dapat
dikomersialisasi dan dihilirisasi untuk mendapatkan nilai tambah. Dalam
kondisi pandemi sekarang ini, penelitian MBKM dapat diarahkan untuk membantu
Pemerintah dalam menanggulangi Covid-19 di Indonesia. Dari sisi pengabdian kepada masyarakat,
mahasiswa dapat melakukan proyek kemanusiaan, membangun desa, mengajar di
pelosok, dan masih banyak kemungkinan lainnya. Bayangkan jika perguruan tinggi mampu
mengirim perwakilan mahasiswanya untuk turun ke 514 kabupaten/kota di seluruh
Indonesia, pasti banyak sekali masalah lokal dan nasional yang bisa
diselesaikan oleh civitas academica. Melalui partnership bersama kementerian dan
pemerintah daerah, mahasiswa dapat membantu masyarakat setempat untuk
menggali potensi lokal, memberdayakan masyarakat, dan menyebar inspirasi ke
penjuru Nusantara. Kegiatan ekstrakulikuler dan organisasi
mahasiswa, selama ia terbukti memberikan dampak positif, juga bisa diganjar
dengan kredit. Ringkasnya, delapan bentuk kegiatan pembelajaran yang
direkognisi Kemendikbud dalam MBKM dapat diartikulasikan menjadi berbagai
program yang tidak terbatas, tergantung dari tiap-tiap kampus. Batasannya,
kalaupun ada, adalah daya pikir dan kreasi para penentu kebijakan di
perguruan tinggi masing-masing. Implementasi
MBKM Kesuksesan implementasi MBKM mensyaratkan
kolaborasi internal dan eksternal perguruan tinggi. Bidang akademik dan
kemahasiswaan bertanggung jawab menyiapkan kurikulum, sistem akademik, dan sosialisasi
kepada mahasiswa supaya aktif terlibat. Dukungan finansial dan sarana prasarana
juga sudah jelas dibutuhkan. Bagian riset dan inovasi bertugas memayungi
semua kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Tak lupa, universitas juga perlu secara
aktif memperbanyak mitra kerja sama agar semakin banyak opsi yang dimiliki
mahasiswa. Melihat signifikansinya, kebijakan Kampus Merdeka adalah proses
transformasi budaya yang mengukuhkan perguruan tinggi menjadi organisasi yang
harmonis. Sebagai wujud komitmen dan antusiasme
menyambut Kampus Merdeka, almamater kami, Universitas Indonesia, misalnya
tengah merancang Center for Independent Learning (CIL). Lembaga ini nantinya
akan menjadi motor penggerak utama pelaksanaan MBKM. Secara garis besar fungsinya adalah sebagai
penghimpun bentuk kegiatan pembelajaran, sebagai marketplace di mana
mahasiswa dapat memilih menu-menu kegiatan belajar di luar prodi, juga
sebagai pusat data pelaksanaan MBKM. Mengingat bahwa kata kunci kebijakan ini
adalah ”merdeka”, karena itu mahasiswa juga merdeka untuk memberikan usulan
kegiatan yang belum tersedia. CIL sekaligus menjadi pusat administrasi untuk
mahasiswa dari luar kampus lain yang ingin belajar dan meneliti di UI. Saya percaya Kampus Merdeka efektif untuk mengasah
kepekaan sosial dan daya kritis lewat berbagai rupa kegiatan yang dapat
dilakukan mahasiswa. Kampus Merdeka adalah satu sarana merayakan dan
mensyukuri anugerah nalar kritis yang dititipkan oleh Tuhan kepada insan
terdidik. Sebuah penegasan bahwa pimpinan
universitas, dosen, peneliti, tenaga kependidikan, dan tentunya mahasiswa
sebagai aktor utama dapat menjadi bebas dan memiliki kebebasan. Akhirnya,
seperti impian luhur yang dicita-citakan oleh pemrakarsa pendidikan
Indonesia, Ki Hajar Dewantara, mahasiswa mampu memanfaatkan kebebasan itu
untuk berpikir dan bertindak supaya ”menjadi manusia merdeka”. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar