Akar
Persoalan dan Potensi Skenario Akhir Kisruh Partai Demokrat Firman Noor ; Kepala Pusat Penelitian Politik
LIPI |
KOMPAS,
06 Maret
2021
Dilihat dari kronologis dan motif yang menjadi
biang persoalan terjadinya kisruh Partai Demokrat, dapat dilihat adanya
elemen eksternal dan internal yang saling berkelindan. Pada awalnya tampak
seolah persoalan eksternal lebih mendominasi. Publik dikejutkan dengan keberadaan seorang
tokoh dalam lingkar pemerintah yang kemudian memanaskan situasi internal.
Maka, muncul anggapan bahwa Partai Demokrat tengah mendapat tekanan atau
intervensi dari rezim, yang kemudian faktor eksternal ini menjadi variabel
utamanya. Namun, seiring perjalanan waktu, semakin
terkuak kompleksitas yang ada dalam partai ini, yang juga memperlihatkan sisi
internal sebagai akar kekisruhan. Bahkan, ada sementara kalangan yang
meyakini bahwa faktor eksternal hanyalah dampak, yang memainkan peran
pinggiran saja. Terkait dengan situasi tersebut, hal yang
menarik adalah mana sebenarnya yang merupakan faktor-faktor utama penyebabnya
dan mana yang sebenarnya hanya sekadar dampak dari faktor-faktor tersebut. Akar-akar
persoalan Setidaknya ada beberapa akar persoalan di
balik kisruh partai ini. Pertama adalah kepemimpinan yang belum benar-benar
dapat menjadi alat pemersatu seluruh kader. Padahal, persoalan kepemimpinan
ini penting dalam menjaga keutuhan partai (Weinner 1957, Brass 1965). Dalam momen ini dapat terlihat bahwa seorang
SBY tidak juga mampu menjadi alat pemersatu yang benar-benar solid. SBY di
satu sisi adalah alasan utama dari berdirinya Partai Demokrat. Sebagaimana
dinyatakan oleh banyak kader, tidak dapat terbayangkan Partai Demokrat tanpa
eksistensi SBY. Beliau adalah juga tokoh yang membuat banyak sekali kader
berkumpul dan berkhidmat menjalankan roda partai. Namun, di sisi lain, dalam perjalanannya,
pada masa kepemimpinan SBY, Partai Demokrat memiliki faksi-faksi yang kerap
saling bertikai. Selain itu, terdapat kader-kader, termasuk sebagian para
pendiri dan senior, yang memendam kekecewaan terhadap dirinya. Kekecewaan ini
juga pada akhirnya berkelindan dengan munculnya kepemimpinan baru yang justru
dirasa semakin tidak memberikan peluang bagi kader-kader yang memendam
kekecewaan itu untuk eksis. Selain itu, kadang, demi kepentingan tokoh,
suara mayoritas, dan efektifitas partai, kerap melakukan manuver yang kurang
merangkul dan cenderung menafikan suara kritis sehingga berujung pada sebuah
kekecewaan. Akumulasi dari kekecewaan (dan juga rasa terabaikan) inilah yang
kemudian dalam kasus Partai Demokrat menjadi pemantik tuduhan dari adanya
politik dinasti, yang terus menjadi ”duri dalam daging” dari partai ini. Kedua, masih lemahnya ikatan ideologi dalam
partai. Ikatan ideologi yang kuat dapat mendorong upaya mempersatukan kader
atas dasar kepentingan yang lebih besar, yakni kepentingan partai dan
upaya-upaya untuk menahan diri demi menjaga keutuhan partai (Singh 1975,
Kumar 1990). Namun, ikatan ini relatif tidak terjaga
atau tidak cukup menghunjam dalam partai. Dalam konteks Partai Demokrat,
faktor ketokohan dan kepentingan praktis dalam berkontestasi dalam kehidupan
riil politik lebih dominan. Sebagai dampak dari situasi ini adalah
pengedepanan kepentingan tokoh atau faksi terjadi. Penjuru loyalitas pun
tidak sistemik-pelembagaan, tetapi transaksi patron-client yang pragmatis dan
sesaat. Selain itu, ketiadaan ikatan ideologis ini juga menyebabkan para
kader teramat bebas bermanuver. Termasuk akhirnya tidak segan mengundang
pihak-pihak di luar partai untuk menjadi solusi persoalan internal partai. Ketiga adalah faktor eksternal. Dalam
banyak kasus di Indonesia, faktor eksternal ini tidak dapat diabaikan
(Kamarudin 2008, Subekti 2014 dan Noor 2016). Salah satu jawaban mengapa
faktor eksternal tidak dapat diabaikan adalah karena perannya sebagai pemberi
angin bagi salah satu faksi yang bertikai. Pertemuan senior partai dengan salah
seorang elite pemerintahan terbukti kemudian memicu dan memanaskan kisruh
internal partai ini, serta memunculkan kongres luar biasa di Deli Serdang,
Sumatera Utara, yang memilih Moeldoko menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. KLB
di Deli Serdang tersebut mengundang reaksi keras dari Agus Harimurti
Yudhoyono (Ketua Umum PD) serta SBY (Ketua Majelis Tinggi PD). Faktor eksternal dalam sejarahnya dapat
menjadi kekuatan tersendiri untuk mempertahankan atau mengambil alih
kekuasaan sebuah partai. Fungsinya adalah sebagai sebuah katalisator yang
memperuncing faksionalisasi. Kalangan yang memiliki dukungan eksternal
akan mendapatkan sebuah semangat dan kepercayaan diri untuk terus
mempertahankan diri dengan cara apa pun dengan suatu keyakinan bahwa ke
depannya faktor eksternal akan membantu memperkuat eksistensi mereka atau
menjadi solusi bagi partai. Meski pada umumnya faktor eksternal pasif dan
menunggu situasi, ada pula yang aktif untuk membantu memenangkan kontestasi
internal demi mewujudkan kepentingannya. Keempat, sebagai variabel antara dari
kisruh ini, adalah kurang berjalannya komunikasi, terutama antarelite atau
senior. Hal ini menyebabkan banyak dugaan atau prasangka negatif yang tidak
terjembatani. Dalam kasus Partai Demokrat, manuver elite
memainkan peran utama. Mereka yang disoroti dan melakukan ”buka-bukaan” di
depan publik adalah para tokoh partai yang posisinya bukan sembarangan, ada
pendiri dan tokoh-tokoh yang telah berkiprah, baik dalam partai maupun ketika
menjadi pejabat publik. Jika kita lihat baik dari hal-hal yang
disampaikan ataupun cara masing-masing elite yang bertikai menyampaikan
pesannya, cukup mencerminkan kondisi terputusnya komunikasi di antara mereka
cukup lama dan baru diketemukan kembali oleh media, yang sayangnya sudah
dalam momen perpecahan. Seandainya komunikasi entarelite ini dapat
terpelihara dengan baik, tentu hal-hal tersebut dapat dicegah sejak dini atau
setidaknya dapat mencegah sebuah akselerasi dan eskalasi konflik. Pelajaran
dari partai lain Kisruh yang terjadi kemudian memicu
pemecatan tujuh kader. Pemecatan ini tampaknya bukan merupakan akhir dari kekisruhan
ini. Sebaliknya, ini berpotensi merupakan awalan dari episode baru yang bisa
jadi akan berjalan cukup lama. Belajar dari kasus-kasus perpecahan partai,
pemecatan merupakan semacam ”momen pelegitimasian” kalangan yang dipecat
untuk semakin eksis karena mendapatkan alasan penguat atas perjuangan mereka
dan menjadi rasion d’etre untuk terus melakukan perlawanan. Dari apa yang sudah pernah terjadi di
partai-partai lain, terdapat beberapa skenario yang mungkin saja terjadi.
Pertama, pascapemecatan, konflik akan semakin meluas dan tidak dapat lagi
terjembatani. Muncul kemudian kepengurusan ganda yang masing-masing merasa
paling sah dan representatif. Bilamana terus berlanjut, pihak pengadillah
yang akan memutuskan mana di antara kedua partai itu yang sah. Ini dapat
berujung pada munculnya partai baru atau keluarnya kader partai yang
bertikai. Ini pernah terjadi ketika terjadi konflik di tubuh PKB di dekade
awal reformasi dan PPP pasca-Pemiu 2014. Kedua, muncul saling dukung yang kemudian
berujung pada keluarnya salah satu pihak yang bertikai untuk membentuk partai
baru, sebagaimana yang terjadi belum lama ini di PAN. Ketiga, pertikaian makin meluas, tetapi
karena belakangan ada manuver yang positif dan atau karena kepentingan
praktis menghadapi pemilu terjadi rekonsiliasai. Ini yang terjadi pada Partai
Golkar. Keempat, konflik menjadi menyurut karena
ada salah satu pihak yang merasa tidak perlu melanjutkan pertikaian. Ini
disebabkan oleh beberapa hal, termasuk secara riil kurangnya dukungan
terhadap eksistensinya. Apapun skenarionya tentu partai menjadi
disibukkan dengan persoalan internal ketimbang berkiprah lebih luas kepada
negara atau masyarakat. Lebih dari itu, kekisruhan yang berlarut-larut dan
dampaknya tentu tidak sejalan dengan upaya membangun demokrasi. Untuk itu, ke
depannya, partai hendaknya harus dapat menghindari berbagai faktor penyebab
kekisruhan internal sebagai bagian dari solusi, baik bagi soliditas partai
maupun pada akhirnya demokrasi kita. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar