Oprah
dan Pidato Besarnya
Tantowi Yahya ; Duta Besar RI untuk
Selandia Baru, Samoa dan Kerajaan Tonga; Praktisi dan Pemerhati Public
Speaking
|
DETIKNEWS,
18 Januari
2018
Beberapa hari belakangan
ini dunia 'diguncang' oleh pidato Oprah Winfrey yang disampaikannya di Golden
Globes, ajang penghargaan untuk praktisi film Hollywood. Demikian memukaunya,
pidato mantan ratu talkshow ini disebut-sebut sebagai pidato terbaik di ajang
pemberian penghargaan di AS. Pidato ini melahirkan banyak pujian dari
pengamat politik dan masyarakat Amerika, dan biasalah...mulai ada dorongan
agar Oprah maju di Pilpres Amerika 2020. Demikian besar dampak dari sebuah
pidato yang disiapkan dengan baik bagi penyampainya.
The right message at the
right time by the right people adalah ungkapan yang tepat atas kesuksesan
pidato tersebut. Oprah mengangkat topik yang lagi banyak diperbincangkan
yaitu ras dan wanita dalam perspektif kesetaraan dan kesempatan. Disampaikan
pada saat yang tepat, ketika rakyat Amerika sedang dipusingkan dengan
berbagai kebijakan kontroversial Presiden Trump. Meski dukungan agar Oprah
maju di pilpres perlu dikaji lebih jauh oleh Oprah dan timnya, namun pidato
berdurasi 9 menit tersebut telah berhasil menyihir publik Amerika. Nama Oprah
Winfrey mulai bersinar di panggung politik.
Pidato-pidato
yang Mengguncang
Dalam sejarah perjuangan
bangsa dan peradaban politik modern, kita mengenal beberapa pidato yang
mengguncang dan mengubah dunia. I Have A Dream, pidato yang disampaikan oleh
Martin Luther King pada 1963 menjadi awal persamaan hak bagi seluruh ras di
AS. Melalui pidato berjudul The Only Thing We Have to Fear is The Fear
Itself, Franklin D. Roosevelt bukan saja berhasil mengangkat moral rakyat
Amerika yang sedang dilanda depresi, tapi menjadikannya presiden selama 12
tahun. Di era perang dingin, pidato Mikhail Gorbachev, Freedom of Choice yang
disampaikannya di depan Sidang Umum PBB, 7 Desember 1988 menandai transisi
Uni Soviet menjadi negara bukan komunis sekaligus mengakhiri era perang
dingin.
Dalam konteks kita, dengan
pidato yang membakar, Bung Tomo berhasil membuat arek-arek Suroboyo berani
mati dalam melawan tentara pendudukan Inggris pada 1945. Tidak ada pula yang
bisa menyangkal, nasionalisme rakyat kita di tahun-tahun awal kemerdekaan
adalah hasil pompaan semangat Bung Karno melalui pidato-pidatonya yang
membakar. Meski tidak punya apa-apa sebagai bangsa yang baru merdeka, rakyat
bangga akan negara dan bangsanya dan rela mati untuk itu.
Apa
itu Pidato Hebat?
Dalam bahasa Inggris
pidato hebat biasa disebut big speech. Adjektif "big" paling tidak
mengandung tiga makna. Pertama, besar dalam substansi yang disampaikan;
kedua, dalam magnitude yang dibangun, dan ketiga, besar dalam perubahan yang
dihasilkan. Seluruh pidato yang saya ambil sebagai contoh di atas memenuhi
semua aspek sebagai pidato besar (big speech).
Oprah menyampaikan pesan
yang sekarang sedang menjadi perhatian publik Amerika yang dibalut dalam
kata-kata yang mudah, dan disampaikan secara meyakinkan. Hasilnya, rakyat
Amerika kagum akan kecerdasannya dan mendorongnya maju di pilpres. Hal yang
sama dialami oleh Barack Obama, senator yang kurang begitu dikenal saat itu.
Setelah pidato hebatnya di konvensi Partai Demokrat pada 2004, Obama mendadak
terkenal. Rakyat Amerika menemukan tokoh baru yang menjanjikan. Pidato yang
ditulis sendiri oleh Obama dan disampaikan dengan begitu meyakinkan itu
berujung pada dukungan rakyat Amerika yang lagi butuh perubahan.
Pidato hebat bermula dari
materi yang hendak disampaikan. Topiknya bisa apa saja. Topik yang dipilih
kemudian dikemas dalam kata-kata yang mudah dan disampaikan dengan baik. Di
sinilah jebakan bermula. Banyak pembicara yang memilih topik berat yang sesungguhnya
tidak dikuasainya sehingga dia terlihat gamang. Banyak pula yang memilih
topik ringan tapi disampaikan dengan kata-kata "canggih" yang sulit
dimengerti khalayak. Akibatnya pidato tidak nyambung.
Ada adagium the singer not
the song. Dalam public speaking, ini juga berlaku meski tidak mutlak. Cara
penyampaian sangat tergantung pada gaya penyampainya, artinya sangat
individu. Ada yang bergaya oratif dengan pengulangan-pengulangan kata seperti
Bung Karno dan Bung Tomo. Ada pula yang santai penuh canda seperti Aa Gym.
Tidak ada yang paling baik di antara keduanya. Gaya sangat individu. Yang
penting khalayak khusyuk mendengar pembicara sampai tuntas dan membeli ide
serta gagasan yang ditawarkan.
Kemampuan menyampaikan
pidato tidak selalu berkorelasi pada bakat, tapi lebih pada pelatihan. Saya
bisa menyimpulkan berdasarkan pengalaman sebagai public speaker selama ini
bahwa public speaking adalah sebuah kemampuan yang bisa dipelajari. Banyak
tokoh politik dan bisnis yang pada awalnya buruk dalam public speaking namun
selang beberapa lama kemudian menjadi pembicara yang baik.
Oprah dan Obama memang
mempunyai bakat sebagai pembicara tapi itu hanya menyumbang 40% dari
keberhasilan. Selebihnya adalah persiapan dan latihan. Sebagai pembawa acara
televisi, Oprah memang terlatih untuk berbicara di depan publik. Demikian
juga Obama, latar belakangnya sebagai pengacara, aktivis, dan anggota senat
membuatnya mau tidak mau bersinggungan dengan masyarakat dan seringkali harus
bicara di depan khalayak dalam rangka menjual ide dan pemikirannya.
Tapi sekali lagi, itu
tidak akan berarti banyak jika mereka tidak membuat persiapan dengan baik dan
melakukan latihan-latihan. Pidato Obama di konvensi Partai Demokrat disiapkan
selama 2 minggu, dan latihan sebelum naik podium selama 3 jam. Hasilnya,
pidato berdurasi 17 menit tersebut diinterupsi oleh 33 kali tepuk tangan
panjang.
Oprah
Winfrey Presiden AS Berikutnya?
Meski pilpres masih dua
tahun lagi, tapi masyarakat Amerika sudah mulai berspekulasi siapa yang
pantas menjadi presiden berikutnya. Di tengah situasi tersebut, tiba-tiba
muncul nama Oprah Winfrey. Sebanding dengan yang mendukung, yang tidak
mendukung juga sama banyaknya. Argumentasi yang muncul sangat klasik seperti,
tidak punya pengalaman politik, tidak pernah berurusan dengan birokrasi, dan
yang lebih tajam lagi, mengurus negara tidak bisa diselesaikan hanya dengan
pidato. Hal yang wajar mengingat yang hendak diusung adalah figur publik yang
jika terpilih akan menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan negara demokrasi
terbesar kedua.
Argumentasi yang tidak
mendukung menurut saya lebih banyak dilandasi oleh kekhawatiran, rakyat
Amerika akan memilih figur terkenal dari kalangan selebritas yang belum tentu
menguasai isu-isu teramat penting dalam memimpin sebuah negara, antara lain
politik luar negeri dan ekonomi.
Amerika pernah mempunyai
Presiden dengan latar belakang selebritas, Ronald Reagan. Mantan aktor ini
dua priode (1981-1989) duduk di Gedung Putih dan tercatat sebagai salah satu
presiden tersukses Amerika. Dia mengalahkan presiden petahana, Jimmy Carter
secara mutlak (landslide victory). Di bawah pemerintahannya ekonomi mereka
mengalami peningkatan tajam yang antara lain ditandai dengan inflasi menurun
dari 12,5% ke 4,4%, dan pertumbuhan tahunan GDP sebesar 3,4%.
Dia mereduksi tarif pajak,
belanja pemerintah, dan melakukan deregulasi ekonomi dalam rangka mendorong
pertumbuhan ekonomi. Langkah-langkah ekonomi ini kemudian dikenal sebagai
Reaganomics. Bersama Franklin D Roosevelt dan Bill Clinton, Ronald Reagan
adalah satu dari tiga presiden yang approval rating-nya tinggi (68%) ketika
berhenti bertugas.
Legacy yang ditinggalkan
Reagan ini bisa dikapitalisasi oleh Oprah Winfrey dalam meyakinkan rakyat
Amerika. Demikian pula keberhasilan Obama melalui pidato besarnya dapat
dijadikan inspirasi bagi Oprah jika dia benar-benar berangan menjadi Presiden
Amerika Serikat ke-45. Hanya saja rakyat Amerika barangkali akan tetap
membedakan Reagan dan Obama dengan dirinya.
Ronald Reagan adalah
politisi yang pernah menjabat Gubernur California dua periode (1967-1975).
Barack Obama adalah politisi dan senator. Keduanya telah banyak makan asam
dan garam dalam politik, birokrasi, dan hubungan dengan rakyat. Celah yang
bisa dimanfaatkan oleh Oprah adalah populasi perempuan di Amerika yang lebih
tinggi daripada laki-laki, African-American yang sekarang berjumlah 37 juta
(13,3%), dan barangkali inilah saatnya Amerika mempunyai presiden perempuan.
Tantangan yang akan dihadapi Oprah cukup banyak, tapi waktu juga masih cukup
banyak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar