Kebesaran
”Bung Besar”
Asep Salahudin ; Tenaga Ahli Unit Kerja Presiden Pembinaan
Ideologi Pancasila; Wakil Rektor IAILM Suryalaya Tasikmalaya
|
KOMPAS,
08 Januari
2018
”Tidak
seorang pun dalam peradaban modern ini bisa menimbulkan demikian banyak
perasaan pro dan kontra seperti Soekarno. Aku dikutuk seperi bandit dan
dipuja bagai dewa….” Teks
di atas ditulis Cindy Adams dalam Bung
Karno Penyambung Lidah Rakyat (1984).
Penyambung lidah rakyat,
pemimpin besar revolusi, waliyul amri, panglima tertinggi, dan lain
sebagainya adalah beberapa gelar yang dinisbatkan untuk menggambarkan
kebesaran Bung Besar. Bahkan, seorang penulis, Bernhard Dahm, menelusuri
rujukan kultural Ratu Adil untuk melukiskan Soekarno di panggung
politik keindonesiaan.
Walaupun bukan
satu-satunya penyebab revolusi Indonesia, tidak bisa ditampik bahwa Bung
Karno memiliki peran besar menggerakkan mesin revolusi. Bersama Hatta,
dengan mengatasnamakan seluruh rakyat Indonesia , memproklamasikan
kemerdekaan. Setelah itu, secara politik Indonesia terlepas dari jerat
kolonialisasi asing yang telah
menjajah ratusan tahun.
Daulat
pikiran
Salah satu kelebihan Bung
Karno bukan sebatas kefasihan artikulasi politik, tetapi kesungguhannya
melaksanakan pikiran-pikirannya yang
disemai sejak belia. Gagasan yang
mulai ditulis 1911 dengan nama samaran
Bima di penerbitan nasionalis ”Oetoesan Hindia” hendak
ditubuhkannya dalam negara
yang dimerdekakannya.
Bung Karno hadir bukan
hanya sebagai politikus, melainkan juga pemikir. Politik yang diyakininya
diacukan pada pergulatan pemikirannya. Atau sebaliknya, pemikirannya adalah
hasil refleksi dari amal politiknya. Tak sekadar mengandalkan pukau orasi
retorisnya yang mampu menghipnotis massa, tetapi juga kekuatan bacaan yang
memberi ruang bagi pembaca untuk merenungkan. Politik dan kerjanya seperti
darah dan daging yang menggarami sel-sel keindonesiaan.
Soekarno muda (lahir 6 Juni 1902) telah memperlihatkan
minat yang tinggi terhadap politik. Bukan hanya sejak perpindahannya ke
Bandung, ketika sekolah di Surabaya (masuk HBS Hogere
Burger School) pun sudah terlibat dalam organisasi Tri Koro Darmo yang pada
1918 beralih nama menjadi Jong Java.
Di Bandung , warna ideologis dan langgam pemikiran Bung Karno
semakin matang. Kalau di Surabaya pekat dengan homogen keislaman (Syarikat
Islam), di Semarang dominan alur
marxisme, maka di Bandung nyaris semua ideologi berkembang. Dipengaruhi pula oleh perjumpaan intensifnya dengan tokoh-tokoh nasionalis,
seperti Douwes Dekker, Ki Hajar
Dewantara, dan Tjipto Mangunkusumo.
Tanpa berlama-lama mengambil keputusan terjun total di dunia
politik, alih-alih menerima tawaran menjadi asisten dosen di THS (Technische
Hooge School), Bung Karno justru mendirikan kelompok Algemeene Studie Club (1926). Lewat klub diskusi ini,
Bung Karno mengembangkan horizon pikiran sekaligus kaderisasi dan
mempromosikan gagasan kebangsaannya secara gencar lewat pendekatan
nonkooperasi dan pentingnya Indonesia merdeka secara utuh.
Manifesto politiknya dituangkan dalam pamflet,
”Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” yang disebarluaskan dalam majalah
Indonesia Moeda. Pamflet ini
menggambarkan kecerdikan sekaligus juga keluasan bacaan Bung Karno dalam meramu hasil bacaan dan
kejelian melihat persoalan bangsanya. Bung Karno tidak ingin melihat
keislaman, nasionalisme, dan marxisme ditarik dalam garis dikotomik dan
sengketa tidak berujung yang malah
melemahkan perjuangan melawan kolonialis kapitalis.
Sinkretisme adalah
jalan yang ditempuh Bung Karno untuk
mendamaikan ketiga aliran yang acap bentrok di lapangan. Di tangan Bung
Karno ketiganya diakomodasi dan dijadikan alat untuk menumbuhkan kesadaran
baru menentang kolonial.
Kepada kaum Muslim, Bung
Karno mengingatkan, ”Kaum Muslim tidak boleh lupa bahwa kapitalisme, musuh
marxisme itu, ialah musuh Islam pula. Sepanjang paham marxisme, meerwarde
pada hakikatnya adalah riba dalam paham Islam…. Karena Islam tertindas, maka
pemeluk Islam mesti nasionalis. Karena modal di Indonesia adalah modal asing,
maka kaum Marxis yang berjuang melawan kapitalis haruslah pejuang
nasionalis.”
Bagi Soekarno ”persatuan”
menjadi kunci percepatan menuju kemerdekaan. ”…Persatuanlah yang akan membawa
kita ke arah terkabulnya impian kita: Indonesia Merdeka!”
Tampak jelas Soekarno
menjadikan isu nasionalisme sebagai
titik tengah (kalimatun sawa) menyatukan semua kubu. Trajek titik persilangan
yang mempertemukan semua kelompok. Nasionalisme adalah zat efektif yang
meleburkan tidak saja gerakan politik
dan keagamaan, tetapi juga nalar kebangsaan dan imajinasi kemerdekaan. ”Buat
saya cinta Tanah Air adalah cinta kepada umat manusia,” demikian kata Bung
Karno mengutip Mahatma Gandhi.
Jalur
partai
Bung Karno merasa tidak cukup
mendirikan kelompok studi. Pada 4 Juli 1927, ia mendirikan Partai Nasional
Indonesia. Partai sebagai alat melipatgandakan gagasan agar semakin masif,
sistemik dan cepat sampai ke
masyarakat. Programnya ”Mengusahakan Kemerdekaan Indonesia” dengan slogan
penuh gelora, ”Merdeka Sekarang Juga”.
Untuk mengantisipasi benturan dengan
wadah-wadah perjuangan yang sudah ada, SI dan lain sebagainya, Bung karno
mengajukan gagasan pembentukan PPPKI
(Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) yang
menyatukan unsur PNI, SI, Budi Utomo, Serikat Sumatera, Pasundan, Kaum
Betawi, dan kelompok berbasis kedaerahan lainnya.
Kiprah politik dan
pemikiran yang radikal itu juga mengantarkan Bung Besar dan tokoh-tokoh PNI
dijebloskan ke Penjara Banceuy dengan pasal terang: merencanakan
pemberontakan kepada Belanda. Soekarno
(1930) justru menjadikan
pengadilan—tampak dalam pleodoinya ”Indonesia
Menggugat”— sebagai mimbar
menyebarluaskan mimpi-mimpinya
sekaligus memperkenalkan idiom baru yang lebih membumi ”marhaen(isme)”
menggeser kata buruh.
Radikalisme dan sikap nonkooperatifnya
membuat Soekarno masuk-keluar bui.
Pada 17 Februari 1934, ia dibuang ke Ende, Plores; Februari 1938, ia
dipindahkan ke Bengkulu. Statusnya sebagai manusia buangan semakin
menahbiskan dirinya sebagai sosok yang layak di garis terdepan dari seluruh
manusia pergerakan.
Menemukan
adabnya
Tentu saja
menarasikan penggalan riwayat Bung
Besar bukan sekadar untuk dikenang,
bahwa dalam jiwa bangsa ini ada
banyak pahlawan yang seharusnya kita tak henti berterima kasih, tetapi ada
nilai penting yang melampaui itu, yakni etos dan spirit kejuangan Bung Besar.
Bahwa politik tak sekadar
mengejar kekuasaan, tetapi bagaimana kekuasaan itu membawa faedah kepada
khalayak. Takhta yang mendatangkan rasa riang, gembira, dan sejahtera kepada
semua. Ini juga barangkali makna dari
nubuat ideologisnya bahwa revolusi belum selesai. Bahwa revolusi mental yang
diusung Presiden Joko Widodo bukan hanya penting, melainkan jalan rohaniah
yang dapat mempercepat bangsa ini
menemukan adabnya. Dengan segenap kesabaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar