Di
Balik Kerusakan Citarum
Suhardi Suryadi ; Konsultan di The Institute for Democracy Education
|
KOMPAS,
19 Januari
2018
Harian Kompas edisi 4
januari 2018 memaparkan kondisi kerusakan Sungai Citarum yang sudah mencapai
tingkat membahayakan terkait kualitas dan kuantitas air.
Air yang ada nyaris tak
lagi layak dipakai untuk kebutuhan rumah tangga akibat pembuangan sampah dan
limbah beracun yang melampaui batas.
Hal yang sama juga terkait penurunan kuantitas air saat kemarau dan
banjir di musim hujan akibat deforestasi dan degradasi lahan di wilayah
hulu. Bahkan, ironisnya, kerusakan
Citarum ternyata berlangsung jauh lebih cepat dan lebih besar dibandingkan
dengan upaya perbaikan yang dilakukan.
Apa yang dipaparkan Kompas
menggambarkan bahwa kondisi kritis Citarum pada dasarnya terkait tata kelola
air, kualitas kebersihan air dan ketahanan (ketersediaan) air. Upaya
mengatasi kondisi kritis ini sesungguhnya telah dilakukan pemerintah sejak
2006 melalui kebijakan dan berbagai program pengelolaan sumber daya air
Citarum secara terpadu. Namun,
kebijakan dan program yang ada ternyata gagal menyelesaikan tiga faktor
penyebab kerusakan Citarum.
Pertama, kemerosotan
fungsi daerah aliran Sungai Citarum tak terlepas dari arah kebijakan
pembangunan daerah yang kurang menghitung faktor ketergantungan ekonomi
warga pada dataran tinggi. Boleh dikatakan pembangunan infrastruktur
jalan, akses transportasi, energi, dan sarana produksi di dataran tinggi jauh dari memadai.
Alhasil, biaya transaksi
yang ditanggung warga yang tinggal di wilayah hulu sungai sangat mahal dan
tidak sebanding dengan hasil yang diterima, terlebih lagi dengan keterbatasan
sumber daya penghidupan yang dimiliki warga. Karena itu, pilihan paling mudah
adalah mengokupasi kawasan hutan dan
sempadan sungai untuk permukiman dan kegiatan pertanian. Akibatnya, luas
tutupan hutan dalam cakupan wilayah Sungai Citarum mengalami penurunan dari 5
persen pada 2009 jadi 3,25 perseb pada
2013 (Badan Informasi Geospasial, 2013).
Kedua, kegagalan
mengoordinasi dan menyinergikan sumber daya di antara pihak yang terkait
langsung dalam pengelolaan dan pemanfaatan Sungai Citarum yang berjumlah
sekitar 102 instansi, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat sipil (di
luar industri yang sudah beroperasi di sepanjang wilayah sungai). Pemerintah
yang bertanggung jawab menjaga kelangsungan fungsi Citarum ternyata belum
mampu mengoptimalkan peran swasta untuk lebih aktif menjaga dan memelihara
ekosistem Citarum.
Bahkan, ironisnya, banyak
sektor swasta yang justru melanggar dan berkontribusi terhadap kerusakan
Citarum dengan membuang limbah ke sungai. Dari 600 industri tekstil di daerah
Majalaya, ternyata hanya 10% yang punya instalasi pengolahan air limbah
secara standar. Alhasil, setiap hari diperkirakan 280 ton limbah industri
tekstil yang mengandung logam berat dibuang ke sungai.
Ketiga, kesadaran
masyarakat untuk menjaga fungsi Citarum bukannya tak ada sama sekali. Ada
sejumlah inisiatif masyarakat yang positif dalam kegiatan konservasi,
pengolahan sampah, pendidikan lingkungan, dan lainnya. Hanya saja
inisiatif-inisiatif yang ada umumnya berskala kecil dan keberlanjutannya
rendah. Ini akibat kegagalan pemerintah dan masyarakat sipil membangun serta
menggalang kerja sama dan kesepakatan
di antara komunitas dalam pengelolaan dan pemanfaatan Citarum yang lebih
luas.
Pemberdayaan dan
keterlibatan komunitas lokal umumnya diarahkan untuk bertanggung jawab atas
tata kelola sumber daya air di lokasi (desa) sendiri. Sementara kerja sama
antar-warga (komunitas) sebagai bagian dalam kerangka pengambilan keputusan
kolektif atas krisis Citarum, yang oleh Ostrom (1999) disebut dengan
pengaturan sendiri (self governing), nyaris kurang dilakukan.
Pengelolaan
bersama
Kerusakan Sungai Citarum
sesungguhnya juga terjadi di wilayah sungai yang lain, terutama di Pulau
Jawa, sekaligus merupakan cerminan
dari kurang optimalnya pemerintah dalam mengelola sungai sebagai aset penting
dalam menunjang pembangunan nasional. Sungai perlu dikelola secara kolektif
yang melibatkan semua pihak terkait, baik di hulu maupun di hilir. Hal ini
penting mengingat prinsip pengelolaan bersama—keterlibatan masyarakat lokal,
swasta, dan negara—sekarang ini telah menjadi komponen utama dari sebagian
besar program pembangunan. Bahkan, ia telah menjadi ciri penting dalam
kebijakan dan praktik pengelolaan sumber daya air di tingkat global dengan
skala yang luas.
Meskipun merupakan sumber
daya publik, sungai bukan akses terbuka yang setiap pihak dapat memanfaatkan
secara bebas tanpa aturan. Ada mekanisme pengecualian yang memungkinkan pihak luar untuk
menggunakan. Namun, sebagai milik bersama, pemanfaatan sungai harus
berorientasi pada kebaikan atau kepentingan bersama bagi semua orang
(pihak). Karena itu, dibutuhkan
kesepakatan sosial dari semua pihak dalam mengatur pelestarian, pemeliharaan,
dan pemanfaatan secara bersama.
Kemampuan mengelola sumber daya sungai
dengan baik akan bergantung pada model interaksi antara pemerintah, baik
pusat maupun daerah, dan masyarakat lokal serta swasta. Karena itu, yang
dibutuhkan bukan hanya modal sosial horizontal di tingkat anggota masyarakat,
melainkan juga modal sosial secara vertikal yang dapat menghubungkan
masyarakat lokal dan pemerintah pusat. Praktik seperti ini sebenarnya sudah
berlangsung lama di Indonesia meski dalam skala terbatas, seperti kasus subak
untuk pengelolaan irigasi di Bali.
Dalam kasus Sungai
Citarum, pendekatan pengelolaan bersama menjadi penting untuk dipertimbangkan
mengingat pendekatan yang ada selama ini hasilnya jauh dari yang diharapkan.
Yang ada justru menghabiskan banyak waktu, mahal, dan merusak modal sosial,
serta membuat kerusakan ekosistem sungai selama puluhan tahun sebagaimana
dipaparkan Kompas. Tragis! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar