Trumpisme
Daniel Dhakidae ; Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Prisma,
Jakarta
|
KOMPAS, 06 Maret 2017
Kira-kira
sudah lebih sedikit dari 30 hari, sepertiga dari 100 hari pertama Presiden
Donald John Trump, yang menjadi presiden Amerika Serikat setelah melewati
salah satu pemilihan umum AS yang paling dramatik karena dipentaskannya
pertarungan antara ”the Beauty and the Beast”.
Ketika
memerintah pada hari-hari pertama, langsung saja muncul sesuatu yang tak
pernah dialami sang presiden baru, betapapun berhasilnya ia sebagai pebisnis
miliuner. Ternyata memakai kekuasaan kenegaraan dan otoritas korporat begitu
berbeda. Menggunakan executive order, dekrit, sesuatu yang konstitusional.
Namun, pada hari-hari pertama, dekrit kepresidenan tentang kebijakan imigrasi
terhadap ”tujuh negara sumber terorisme” dipersoalkan dan ditolak lembaga
kenegaraan negara bagian.
Ini
hanya salah satu dari beruntun kebijakan yang dipersoalkan, pengangkatan yang
ditolak, yang sudah diangkat mundur dan lain sebagainya. Dunia mencemooh;
koran Belanda de Volkskrant seperti menghujat ketika dikatakannya: ketiadaan
pengalaman, nafsu kebesaran, ketiadaan pasokan para ahli yang mampu dan
bersedia menduduki kursi menteri. Kesimpulan besarnya: kacau-balau di Gedung
Putih. Presiden negara adikuasa menjadi bahan tertawaan dunia.
”Mein
Manifest” dan ”Mein Kampf”
Namun,
Trump bukan dirinya sendiri, tetapi Amerika, yang memilihnya. Hanya dengan
itu bisa diberikan suatu penilaian seimbang tentang Trump dan idenya,
Trumpisme. Untuk melacak Trumpisme, suatu peristiwa di Jerman agaknya berguna
untuk diangkat di sini. Buku yang menjadi dokumen tentang pandangan
ekonomi-politik Trump, Crippled America, Amerika yang Lumpuh (dalam cetakan
berikutnya judul utama diganti Great Again, to Fix Our Crippled America),
akan diterjemahkan ke bahasa Jerman.
Penerjemah
dan penerbit terombang-ambing memutuskan apa judul pas dalam bahasa Jerman.
Pilihan awal adalah Mein Manifest. Akan tetapi, dari segi alusi terlalu dekat
dengan Mein Kampf Adolf Hitler. Judul itu mungkin ditolak, suatu yang tidak
penting lagi untuk analisis ini.
Pertanyaan
utama, mengapa ada kesan kedekatan itu? Mari kita periksa apa yang dikatakan
Hitler dalam Mein Kampf dan apa yang dikatakan Presiden Trump dalam Crippled
America sebagai garis petunjuk kebijakan kepresidenannya.
Pertama,
chauvinisme yang terikat kuat dalam suatu rasa ditekan dan ditindas. Jerman
menderita karena kolusi internasional yang memeras Jerman setelah Perang
Dunia I, dalam perjanjian Versailles. Jerman tak akan berkembang menuju
kemajuan tanpa memutuskan mata rantai Versailles. Bagi Trump, Amerika
menderita karena kolusi modal internasional atas nama globalisasi yang
memaksa modal Amerika keluar negeri, dan dengan itu membawa kesempatan kerja
ke dunia luar dan mengabaikan Amerika sendiri.
Kedua,
Lebensraum. Bagi Hitler, partai Nazi harus berani mengumpulkan rakyat dan
kekuatannya berbaris di jalan-jalan keluar dari penyempitan, wilayah hidup,
menuju tanah dan wilayah baru dan dengan demikian seterusnya membebaskannya
dari bahaya kebinasaan di bumi ini atau untuk membebaskannya dari bangsa
budak untuk melayani kepentingan bangsa lain (Mein Kampf). Trump
menafsirkannya ”terbalik”, bukan ekstensifikasi, tetapi intensifikasi ruang
hidup. Salah satu jalan ke sana, menutup Amerika dengan dinding beton, dan
peraturan baru keimigrasian. Amerika harus menjadi yang pertama dan utama dan
bukan keluar untuk mencari tanah lain.
”Aku
percaya pada menempatkan kepentingan rakyat Amerika pertama—selalu. Tidak ada
tempat kedua atau ketiga. Tingkat komitmen semacam itu sudah lama hilang dari
kebijakan luar negeri kita, dalam kebijakan perdagangan kita, dalam kebijakan
keimigrasian kita. Kadang-kadang kita terlalu berkeluh-kesah mengenai apa
yang dipikirkan bangsa lain tentang kita. ... dulu mereka begitu bangga
berada bersama Amerika. Kini? Mereka tertawakan kita. Ada satu ungkapan yang
sudah tidak Anda dengar lagi, menyedihkan, yaitu ’Made in America’. Kita akan
katakan itu lagi—dalam tingkat setinggi-tingginya.” (Great Again, How to Fix
Our Crippled America, 2016)
Ekstensifikasi
ruang hidup dikritik habis-habisan. Semua kerja sama politik, militer, dan
ekonomi internasional memperlemah Amerika, dan dengan itu menciutkan
Lebensraum di dalam Amerika itu sendiri, karena Lebensraum yang terlalu
terbuka akan menekan Amerika sendiri: lapangan kerja yang hilang, neraca
perdagangan yang merugikan Amerika. Kerja sama internasional yang lebih
menjadi beban Amerika tanpa adanya pertimbangan utama ”America first”.
Dengan
dua paham di atas, Mein Manifest dan Mein Kampf tidak sama, tetapi dengan
perbedaan konteks dan lain-lain menjadi ”dua saudara” yang bila buku itu
diberikan judul Mein Manifest rasanya tidak terlalu jauh meleset.
Populisme,
globalisasi, dan kecelakaannya
Ini
membawa kita ke suatu medan lain, yaitu gejala Trump tidak bisa sekadar
menjadi olok-olokan dan protes nasional dan internasional, tetapi harus
diperiksa apa yang memungkinkan munculnya fenomena yang menggemparkan seluruh
muka bumi ini. Perkembangan itu tidak bisa dilihat lepas dari perkembangan
kapitalisme itu sendiri. Kalau itu soalnya, maka menjadi semakin aneh bahwa
seorang kapitalis besar Amerika seperti Donald Trump, sadar atau tidak sadar,
memakai Marx untuk memperkuat argumennya, ketika dia berbicara tentang
globalisasi, pergerakan modal, dan lain-lain.
Dalam
arti itu, dia memang seorang populis. Namun, mengklaim populis pengemban
populisme, sama seperti cendekiawan, tidak biasa dipakai oleh pembicara dan
menunjukkan dirinya sebagai referen; dia bertindak dan orang lainlah yang
memberikannya label itu. Demikian juga dengan Trump, dia tidak menamakan
dirinya seorang populis, tetapi dalam berpikir dan bertindak, the American
people selalu menjadi referensi utama.
Namun,
dalam pikirannya, rakyat Amerika adalah rakyat yang menderita. Ketika dia
melihat Amerika, semuanya ditempatkan dalam posisi ”kalah”, ”rusak”, yang
dalam kata-katanya sendiri ”Aku saksikan apa yang terjadi dengan negeri kita;
meluncur ke neraka”; dan tidak ada orang lain yang berpikir tentang itu dan
hanya dia yang bisa menyelesaikannya. Itu menjadi seluruh tema bukunya
tentang kerusakan dan hanya dia yang mampu bekerja membereskan Amerika yang
lumpuh.
Dengan
demikian, semua keanehan Trump berasal dari sana: memusuhi pers karena
menyebarkan ”fake news”, beritanya bukan mengandung ”nonsense”, karena dalam
nonsense masih ada sesuatu yang berurusan dengan sense, makna. Di sana tidak
ada informasi, karena itu apa yang dikatakannya adalah mengingkari kebenaran
itu, negating the truth. Kalau mengingkari kebenaran maka pantas disebut
”musuh rakyat,” patut diberi catatan di sini bahwa tidak pernah ada yang
mengatakan itu selain kaum revolusioner kiri Marxis tentang pers borjuis.
Dengan
demikian, populisme Trump, seorang kapitalis besar, selalu memberi kesan
”patologis”, seorang yang selalu membanggakan keberhasilannya menghadapi di
depan matanya bangsanya sendiri yang ”rusak dan cacat” yang harus dibenahi
(tentang patologi kaum populis, bandingkan Vedi Hadiz, Islamic populism,
2016). Dia tidak mungkin mengutip Marx, tetapi apa yang 150 tahun lalu
dikatakan secara eksplisit atau implisit oleh Marx menjadi pikiran Trump
tentang kapitalisme yang mengandung kontradiksi internal di dalam sistem itu
sendiri: ketidakadilan bagi rakyat Amerika, tekanan berat terhadap upah/gaji
dalam persaingan global karena keterampilannya sendiri kalah dari tenaga
asing; konsentrasi kekayaan ke dalam tangan elite Amerika.
Dia
keras terhadap globalisasi, karena kalau globalisasi adalah suatu ide besar,
mengapa hanya 15 persen pertumbuhan ekstra yang jatuh ke haribaan kaum buruh;
sedangkan 85 persen mengembungkan kantong perusahaan-perusahaan besar? Itu
semualah, katanya, yang bisa menjelaskan mengapa tekanan/desakan untuk
menganut perdagangan bebas berasal dari ruang direksi dan tidak berasal dari
kaum buruh itu sendiri. Dengan demikian, dalam diri Trump terjadi pertabrakan
antara seorang kapitalis yang beretorika Marxis; seorang dari negeri adidaya
(superpower) yang mengeluh tentang penderitaan yang disebabkan negara lain.
Trump
dan ”post-truth politics”
Pertanyaan
paling menarik adalah ke mana dunia ini dibawanya, dan apa wajah dunia dalam
empat tahun ke depan. Dengan spekulasi bermacam-macam antara lain dia sudah
menembusi jantung-hati demokrasi itu sendiri dalam arti berikut ini. Pertama,
demokrasi berpijak atas, dan pengakuan akan, dan penghormatan terhadap fakta.
Akan tetapi, Trump mengabaikan fakta itu: kemenangan tiga juta suara hasil
pemilihan bagi Hillary Clinton sampai hari ini tidak diakuinya dengan argumen
bahwa tiga juta itu adalah para ”pemilih ilegal” yang memasuki Amerika secara
”ilegal” meski tak pernah terbukti.
Kedua,
fiksi itu semakin meyakinkannya untuk membangun tembok pemisah antara Amerika
Serikat dan Meksiko demi Lebensraum Amerika seperti sudah dikatakan di atas.
Ketiga, dengan Donald Trump, dunia mengucapkan selamat jalan Aufklärung, masa
pencerahan, dan selamat datang masa post-truth.
Namun,
sebagaimana sudah dikatakan di atas, Donald Trump adalah suatu gejala
historis, dia tidak berdiri sendiri. Dia adalah kelanjutan dari Presiden
George Bush junior. Hampir seluruh bencana Irak bertumpu atas suatu yang
dengan memakai istilah Hannah Arend, lying in politics, berbohong dalam
politik, ketika dikatakan bahwa di Irak semuanya bertumpu pada senjata
pemusnah massal (the weapons of mass destruction), yang dipropagandakan oleh
Presiden George Bush.
Bagaimana
membuktikan bahwa itu bukan bohong adalah dengan menyerang Irak. Ketika
seluruh negeri Irak sudah hancur-binasa, ”senjata pemusnah massal” itu tidak
pernah ditemukan dan satu-satunya yang ditemukan adalah suatu kebinasaan
massal oleh senjata Amerika itu sendiri.
Harvard
Gazette mengemukakan betapa berbohong menjadi begitu menguasai kampanye
Amerika yang lalu dan mengemukakan angka 126 dari 169 atau 75 persen ujaran
Trump adalah bohong dibandingkan dengan 59 dari 212 atau 28 persen ujaran
Hillary Clinton sama bohongnya. Dengan masuknya Trump ke Gedung Putih, dia
membawa bersamanya post-truth politics.
Sebagai
pembanding, mari kita arahkan pandangan kita ke dalam negeri. Suasana
kampanye pemilihan gubernur Jakarta tidak kurang menghasilkan kebohongan bila
ditinjau dari segi ini; lying in politics adalah salah satu jalan, dan dalam
arti tertentu menjadi satu-satunya jalan. Pantun yang beredar viral di media
sosial bisa menjelaskan sesuatu tentang itu:
Terang
bulan terang di kali
Buaya
lapar disangka nyanyi
Jangan
percaya mulut politisi
Mingkar-mingkur
masih brani janji.
Janji
bohong dalam kampanye pilkada berlangsung karena pemberi janji tahu bahwa dia
tidak mampu mencapainya karena ketiadaan sumber daya untuk itu. Dengan
begitu, di sini lebih menjadi soal etis.
Sedangkan
post-truth politics memberikan dasar ontologis yang di atasnya dibangun
seluruh politiknya. Tembok Trump yang memisahkan Amerika dan Meksiko menjadi
contoh terbaik untuk post-truth politics itu. Imigran ilegal, demikian Trump,
adalah sumber kebinasaan Amerika dan karena itu di atasnya harus dibangun
politik pemisahan Donald Trump. Di sini bukan soal sumber daya dan kemampuan
memperolehnya—pasti berlimpah-ruah. Kriterium paling utama post-truth
politics dipertontonkan di sini, yakni ”apa yang saya katakan adalah fakta!
Ia menjadi fakta karena saya katakan”.
Politisi
pilkada berbual dengan janji yang pasti tak sampai, masalah moral politik ada
di sana. Sedangkan post-truth politics menghapus sambil pada saat yang sama
memonopoli fakta dengan menciptakan ”fakta alternatif”, dan dengan itu
membuang kebenaran. Donald Trump dengan keahliannya memakai retorika politik
berhasil membawanya ke Gedung Putih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar