Pendidikan
dan Darurat Nalar Kritis
Agus Wibowo ; Direktur Pendidikan SEEB Institute;
Dosen FE Universitas Negeri
Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 06 Maret 2017
PEMILIHAN
kepala daerah (pilkada) DKI Jakarta putaran pertama telah usai. Meski menunggu
putaran kedua, sejenak warga Ibu Kota menikmati ketenangan dari aneka berita
bohong atau fitnah (hoax) dan ujaran kebencian.
Pilkada
dengan aneka hoax dan ujaran kebencian itu tanpa disadari membekas, terutama
pada sisi psikologis anak didik. Bagaimana tidak, anak didik yang mestinya
sejak dini diajari etika sopan santun, ramah terhadap perbedaan dan
keragaman, justru dilatih sebaliknya. Media sosial (medsos) dan media massa
yang tanpa sadar mereka akses telah mengajari anak didik terampil mencela,
menghina, dan memfitnah.
Etika
yang mulai terbangun dalam afeksi anak didik pudar terlibas habis tak
tersisa. Ironis sekali.
Pada
kondisi demikian, nalar kritis atau berpikir kritis sangat dibutuhkan, tidak
hanya pada anak didik, tetapi juga bagi para guru. Artinya, sebagai figur
pendidik bangsa, para guru harus netral dan bertumpu pada nalar kritis. Jangan
sampai para guru malah ambil bagian pada kerja share aneka hoax dan ujaran
kebencian itu. Tugas guru membimbing dan mengajari anak didik untuk berpikir
kritis, bukan malah menelan mentah-mentah apa yang mereka dengar, rasa, dan
lihat.
Darurat
nalar kritis
Terlepas
dari hiruk-pikuk pilkada, darurat nalar kritis jauh hari sudah menjadi
perbincangan serius pendidik di belahan dunia mana pun. Bahkan, sejak 1942,
nalar kritis menjadi tujuan utama dalam pendidikan.
Howard
Gardner, lewat Five Minds for the Future (2007), menyebut darurat nalar
kritis bagi anak bangsa di era digital. Akibat gempuran informasi digital,
nalar kritis menjadi tersumbat rapat.
Bagi
anak didik, ketidakmampuan menalar kritis sangat berbahaya (Premana, 2010). Jangankan
terhadap persoalan yang kompleks, anak didik akan sukar mengolah informasi
meski pada level sangat sederhana sekalipun. Kegagalan menalar kritis juga
membuat anak didik mudah terdistorsi lantaran pijakan logikanya tidak kukuh. Itu
disebabkan pengetahuan yang dimiliki anak didik belum cukup untuk menilai dan
menyaring informasi. Akibatnya muncul salah pengertian, perhitungan, dan
salah mengambil keputusan.
Problem
kebekuan nalar kritis, di masa akan datang, banyak memicu masalah. Pendidikan
yang gagal melatih anak didik bernalar kritis akan menghasilkan pribadi yang
sukar berdialog antarkelompok berbeda--karena yang ada hanya satu ide. Dengan
begitu, ruang gerak nalarnya menjadi sempit dan kerdil.
Nalar
kritis merupakan suatu aktivitas evaluatif untuk menghasilkan suatu simpulan
(Cabrera, 1992). Sementara itu, Gerhard (1971) menyebut nalar kritis sebagai
suatu proses kompleks yang melibatkan penerimaan dan penguasaan data,
analisis data, dan evaluasi data dengan mempertimbangkan aspek kualitatif dan
kuantitatif serta melakukan seleksi atau membuat keputusan berdasarkan hasil
evaluasi. Berpikir kritis diperlukan dalam rangka memecahkan suatu
permasalahan sehingga diperoleh keputusan yang cepat dan tepat.
Hasil
temuan Aditya (2013:1) dan Facione (2013:3) menunjukkan nalar kritis tidak
hanya mendukung hasil belajar anak didik, tetapi juga perkembangan karier dan
kehidupan mereka di masa depan. Hal yang sama juga disampaikan Splitter
(1991). Menurut Splitter, nalar kritis akan membuat anak didik mampu
mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengonstruksi argumen serta mampu
memecahkan masalah dengan tepat. Nalar kritis juga akan membuat anak didik
mampu menolong dirinya atau orang lain dalam memecahkan permasalahan yang
dihadapi. Upaya untuk melatih nalar kritis pada anak didik, lanjut Spitter,
sampai saat ini sering luput dari perhatian guru. Itu terlihat pada kegiatan
pembelajaran yang lebih banyak memberi informasi, diikuti diskusi dan latihan
dengan frekuensi yang sangat terbatas.
Hasil
temuan Anderson et al, (1997); Bloomer (1998); Kember (1997), dan Soden R
(2000), menunjukkan bahwa proses belajar mengajar pada praktiknya kurang
mendorong pada pencapaian kemampuan anak untuk bernalar kritis. Tidak hanya
di bangku sekolah, tetapi juga perguruan tinggi (PT).
Dua
faktor penyebab nalar kritis tidak berkembang selama pendidikan ialah
kurikulum yang umumnya dirancang dengan target materi yang luas sehingga
dosen lebih terfokus pada penyelesaian materi dan kurangnya pemahaman dosen
tentang metode pengajaran yang dapat meningkatkan kemampuan nalar kritis.
Kurikulum
2013 (kurtilas) mutakhir sebenarnya sudah menginstruksikan para guru agar
mengajari anak didik bernalar kritis. Melalui pendekatan saintifik atau
pendekatan berbasis proses keilmuan, anak didik diharapkan melakukan kegiatan
mengamati, menanya, mengumpulkan informasi/mencoba, menalar/mengasosiasi, dan
mengomunikasikan.
Dalam
kurtilas juga direkomendasikan pembelajaran langsung yang menghasilkan
pengetahuan dan keterampilan langsung (instructional effect) dan pembelajaran
tidak langsung, yaitu pembelajaran yang terjadi selama proses pembelajaran
langsung yang dikondisikan menghasilkan dampak pengiring (nurturant effect). Para
guru boleh memilih aneka model pembelajaran, seperti discovery learning,
project-based learning, problem-based learning, dan inquiry learning. Kesemua
model pembelajaran itu muaranya mengajari dan mengembangkan nalar kritis anak
didik.
Hasil
temuan Facione (2013:5) menunjukkan nalar kritis memiliki beberapa aspek, di
antaranya: 1) anak didik mampu menginterpretasi, seperti mengategorikan dan
menjelaskan maksud, 2) kemampuan analisis, seperti kemampuan menilai ide dan
mengidentifikasi argumen, 3) kemampuan evaluasi, seperti membentuk kesimpulan
dan mencari pembuktian, 4) kemampuan inference, seperti kemampuan menilai
pendapat, (5) kemampuan explanation, seperti membenarkan kesimpulan dengan
menunjukkan argumen, dan 6) kemampuan self-regulation, seperti mengoreksi
diri.
Selanjutnya
UNESCO (2006:35) merekomendasikan nalar kritis sebagai kunci pembelajaran
aktif. Dalam pembelajaran aktif, anak didik selalu dilibatkan dalam segala
kegiatan dan pemikiran mengenai apa yang sedang mereka lakukan. Singkatnya,
pembelajaran aktif tidak sekadar mengarahkan dan menyampaikan informasi saja,
tetapi juga mengembangkan kemampuan analisis dan nalar kritis anak didik.
Pembelajaran
aktif menurut UNESCO setidaknya memiliki ciri-ciri: 1) semua anak didik
terlibat secara aktif, 2) anak didik berpikir aktif, 3) mendorong rasa ingin
tahu untuk bertanya, 4) anak didik mengekspresikan gagasannya, dan 5) anak
didik dapat bersikap kritis.
Revitalisasi
Absennya
nalar kritis bukan tidak mungkin membuat bangsa ini seperti wayang. Ia hanya
akan mengikuti kemauan dalang tanpa mampu berpikir dan memiliki kesadaran
serta kemerdekaan diri. Padahal, kata Paulo Freire (1972), mereka yang tidak
memiliki kesadaran jati diri sama halnya barisan orang-orang tertindas. Jauh
hari, Freire telah mengusung pentingnya nalar kritis.
Dialog
yang merupakan sarana membebaskan diri dari penindasan mustahil terealisasi
tanpa nalar kritis. Dialog itu mengandaikan kerendahan hati, yaitu kemauan
untuk belajar dari orang lain meskipun menurut perasaan kebudayaan lebih
rendah, memperlakukan orang lain sederajat, dan keyakinan bahwa orang lain
dapat mengajar kita.
Ketika
yang menggurita ialah intoleransi dan kebencian pada kelompok lain, nalar
kritis menjadi sangat urgen untuk diarusutamakan dalam pendidikan. Sudah
tidak masanya lagi segala sesuatu dipahami secara dogmatis, apalagi taklid
buta. Nalar kritis yang tersemai melalui pendidikan paling tidak akan
mengajari dan melatih anak didik mengurai, memecahkan, dan menemukan solusi
atas persoalan mereka. Jika belajar sejarah bahwa para bapak bangsa sudah
mengarusutamakan nalar kritis dalam pendidikan, mengapa kita saat ini tidak
melakukan hal yang sama? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar