Ijon
Politik Tambang
Melky Nahar ; Kepala Pengampanye Jaringan Advokasi
Tambang Nasional
|
KOMPAS, 06 Maret 2017
Di
balik keunggulan sektor tambang yang diagung-agungkan sebagai pendongkrak
pertumbuhan ekonomi, sektor ini secara langsung dan tak langsung erat
kaitannya dengan krisis dan masalah yang dihadapi masyarakat wilayah lingkar
tambang.
Peluang
dan harapan bagi rakyat untuk mendapatkan solusi terhadap krisis yang
diakibatkan oleh sektor tambang lewat pergantian pemimpin daerah seperti jauh
panggang dari api. Penulis mewakili Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) melihat
bahwa pilkada serentak Februari 2017 lalu tak akan menyelesaikan krisis dan
masalah di wilayah lingkar tambang.
Bagi
para politisi, pilkada hanya menjadi ajang perebutan kuasa dan jabatan. Pesta
demokrasi lima tahunan ini ternyata merupakan kesempatan bagi para pebisnis
berbasis lahan skala besar melakukan praktik ijon politik untuk mendapatkan
jaminan politik demi melanggengkan usaha mereka di daerah.
Praktik
bagi-bagi konsesi
Laporan
Direktorat Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi (Litbang
KPK) berjudul ”Studi Potensi Benturan Kepentingan Dalam Pendanaan Pilkada
2015” memaparkan, biaya yang dibutuhkan untuk menjadi wali kota/bupati
mencapai Rp 20 - 30 miliar, sedangkan untuk gubernur bisa Rp 20 - Rp 100
miliar.
Selanjutnya,
Laporan Harta dan Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) menunjukkan total
harta kekayaan calon kepala daerah pada 2015 rata-rata hanya Rp 6,7 miliar.
Kekayaan para calon kepala daerah ternyata tak sebanding dengan kebutuhan
biaya sangat besar untuk ikut kontestasi pilkada langsung. Karena itu, untuk
menutupi kebutuhan biaya itu para kandidat harus giat mencari sponsor.
Para
pebisnis melihat hal ini sebagai celah untuk mendapatkan jaminan kenyamanan
dan keberlangsungan investasi mereka. Satu pendekatan yang sudah jadi
pengetahuan umum adalah menunggangi dan mengendalikan kandidat melalui
pembiayaan pencalonan dan kampanye sebagai praktik ijon politik.
Maka,
investasi berbasis lahan skala besar adalah bentuk hubungan saling
menguntungkan antara pelaku bisnis dan politisi. Modal finansial untuk
kebutuhan politik pilkada ditebus dengan jaminan politik untuk pemberian
ataupun pengamanan konsesi perizinan. Herry Purnomo dalam makalah ”Kabut
Asap, Penggunaan Lahan dan Politik Lokal” (2015) menegaskan ada keterkaitan
erat antara pilkada di suatu wilayah dan peningkatan jumlah titik panas
kebakaran lahan. Hal ini menunjukkan pilkada erat kaitannya dengan
”bagi-bagi” konsesi perizinan yang menyebabkan perubahan peruntukan lahan
secara masif.
Begitu
juga dengan pertambangan. Jatam mencatat terdapat kecenderungan peningkatan
jumlah perizinan pertambangan di tahun menjelang, saat berlangsung, dan
selepas pilkada. Kabupaten Kutai Kartanegara, misalnya, pada 2009
mengeluarkan 93 izin usaha pertambangan (IUP). Pada 2010, tahun saat
kabupaten itu melaksanakan pilkada, ada 191 IUP baru dikeluarkan Kabupaten
Kutai Kartanegara, dua kali lebih banyak dibanding tahun sebelumnya.
Contoh
lain adalah Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Tercatat ada penerbitan 54
IUP baru pada 2010, satu tahun setelah pelaksanaan Pilkada 2009. Tahun
sebelumnya, hanya 7 IUP. Kecenderungan serupa terjadi di beberapa kabupaten
lain, seperti Tanah Bumbu (Kalimantan Selatan), Kutai Barat (Kalimantan
Timur), Tebo (Jambi), Musi Banyuasin (Sumatera Selatan), dan Bengkulu Tengah
(Bengkulu).
Temuan
ini setidaknya menunjukkan, ijon politik sangat kental dalam proses pilkada.
Bukan suatu kebetulan jika penerbitan IUP selalu berdekatan dengan momentum
pilkada.
Parahnya,
pilkada serentak dengan biaya demikian besar cenderung keluar dengan
pesanpesan kampanye yang tak menggambarkan kekhasan daerah, baik dari segi
potensi maupun permasalahannya. Jika diamati dari satu daerah ke daerah lain,
akan ditemukan pesan-pesan kampanye yang hampir sama, hanya berbeda wajah
kandidat pada poster dan baliho kampanye.
Krisis
akibat ijon tambang
Sementara
beragam krisis yang dirasakan masyarakat tak muncul dalam pesan kampanye.
Prosedur demokrasi yang berlangsung masih terputus dari harapan rakyat untuk
terbebas dari krisis, yang ada hanya menjembatani kepentingan politisi dan
pelaku bisnis lewat ijon politik.
Tak
heran jika para pemenang pilkada memiliki tanggung jawab lebih berat pada
pemodal sebagai penyokong dana ketimbang rakyat pemberi suara. Akibatnya,
selepas pilkada, muncul bagi-bagi konsesi lahan untuk kepentingan investasi
berbasis lahan seperti tambang dan sawit.
Beragam
krisis seperti menyempitnya ruang hidup dan ancaman krisis pangan, terjadi di
beberapa wilayah. Di Kabupaten Musi Banyuasin, misalnya, 94 persen wilayahnya
sudah menjadi kawasan pertambangan dan migas. Di Kota Samarinda, pertambangan
mengepung 70 persen dari luas kota.
Di
Bengkulu Tengah, 52 persen wilayahnya juga sudah dikapling tambang.
Akibatnya, kawasan pangan pun terancam. Di Bangka Belitung, 77 persen beras
didatangkan dari pulau lain akibat izin-izin tambang yang diterbitkan
pemerintah mengubah kawasan pertanian. Sementara di Kabupaten Pati, Jawa
Tengah, Pegunungan Kendeng sebagai sumber air utama pertanian masyarakat juga
diberikan kepada pertambangan batu gamping dan pabrik semen.
Krisis
lain yang terjadi adalah terancamnya tradisi dan kearifan lokal masyarakat.Di
Kabupaten Kampar, Riau, tradisi Lubuk Larangan yang erat kaitannya dengan
konservasi dan keberadaan ikan-ikan di Sungai Kampar terancam oleh tambang di
hulu sungai. Sementara di Lembata, Nusa Tenggara Timur, yang terkenal dengan
tradisi penangkapan ikan paus, 8 dari 9 kecamatan wilayahnya terancam ditambang.
Padahal 90 persen warga Lembata bergantung pada pertanian dan hasil laut.
Para
pemimpin daerah yang lahir di beberapa wilayah justru memperjuangkan keamanan
investasi dari pemilik modal, sponsor mereka. Padahal, di Kabupaten Tebo,
misalnya, pertambangan hanya menyumbang delapan persen pada pendapatan
daerah, sedangkan pertanian mampu memberi hingga lebih dari 50 persen.
Menurut
catatan Jatam, sebagian besar pesan kampanye dalam pilkada disusun dengan
mengacu pada identifikasi masalah yang generik dan tak mencerminkan realitas
krisis yang terjadi di wilayah yang bersangkutan. Identifikasi masalah yang
generik mencakup rendahnya sumber daya manusia, pengangguran, kemiskinan,
kurangnya infrastruktur, dan kesehatan.
Potret
berbagai krisis rakyat belum digunakan dalam penyusunan pesan-pesan kampanye,
termasuk visi dan misi calon kepala daerah yang akan menjadi ruh penyusunan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) ke depan jika mereka
terpilih. Pilkada serentak di wilayah lingkar tambang tidak lebih dari upaya
melanggengkan kekuasaan dan investasi berbasis lahan skala besar, tanpa
membahas urusan keselamatan rakyat dan ruang hidupnya. Demokrasi gagal
menjamin rakyat memiliki harapan mengakhiri derita dan masalah tak
berkesudahan akibat ijon politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar