Membaca
Fenomena Gerakan Islam
Adi Prayitno ; Dosen Politik UIN Jakarta;
Peneliti The Political Literacy
Institute
|
KORAN
SINDO, 01
Maret 2017
Suka tak suka, gerakan Islam kini menjadi salah satu
fenomena politik yang paling banyak diperbincangkan. Mulai dari konsistensi
aksinya mengawal fatwa MUI soal kasus penistaan agama yang dilakukan Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok, kemampuan memobilisasi massa hingga melawan
kekuasaan politik yang kerap diskriminatif.
Akibat sepak terjangnya itu, gerakan Islam yang dipelopori
ormas seperti FPI dan organisasi sejenisnya menjelma sebagai gerakan
fenomenal yang berani tampil di panggung depan (front stage) melawan segala bentuk ketidakadilan. Dulu gerakan
ormas Islam ini tak banyak mendapat simpati, hanya sinisme yang silih
berganti datang menghampiri.
Namun jarum jam sejarah seakan berbalik arah menahbiskan
mereka layaknya seorang “pahlawan” yang berdiri tegak menantang kekuasaan.
Satu-satunya yang menjadi “cacat bawaan” gerakan Islam ini ialah soal potret
keberagamaan yang ditengarai eksklusif, beraliran keras, dan sering bertindak
anarkistis sebagai pilihan melakukan gerakan sosial politik keagamaan.
Sebab itu tak jarang jika FPI maupun tokoh-tokohnya
seperti Rizieq Sihab dan Bachtiar Nasir dituding sebagai sekumpulan orang
dengan organisasi anarkistis dengan melegitimasi agama sebagai kekerasan.
Gerakannya sering diidentikkan dengan budaya intoleran.
Bahkan disudutkan sebagai gerakan yang berpotensi
mengancam kebinekaan. Memang di negara yang demokratis seperti Indonesia,
ormas anarkistis sulit mendapatkan ruang simpati. Masyarakat lebih menerima
gerakan sosial keagamaan dengan pola persuasi dalam menyampaikan “dakwah”
politiknya.
Terlebih lagi secara historis umat Islam Indonesia
terbiasa menerima ajaran agama dengan cara damai. Tentu saja kontroversi soal
corak keberagamaan ormas yang memelopori gerakan Islam serta tokoh yang
menyertainya bisa panjang dan tak berkesudahan.
Namun satu hal yang pasti, dalam konteks perlawanan
terhadap kekuasaan yang tak adil, terutama soal kasus penistaan agama yang
melibatkan Ahok, gerakan politik kelompok Islam ini menemukan momentumnya. Ia
mampu menyentuh alam bawah sadar masyarakat yang kian resah, mengapitalisasi
agama sebagai sentimen dan bahasa perlawanan.
Dalam teorinya, gerakan sosial seperti yang dinakhodai FPI
dan ormas sejenisnya terjadi lantaran adanya struktur kesempatan politik
(political opportunity structure) yang dilihat sebagai celah melakukan
perubahan. Frasa Doug McAdam, John D McCarthy,
dan Mayer N Zald dalam Comparative
Perspective on Social Movements (1996) menuturkan, gerakan sosial muncul
dalam ruang politik yang lebih terbuka, praktik dan norma demokrasi yang
belum cukup optimal, serta lemahnya penegakan hukum.
Gerakan sosial juga muncul akibat pola hubungan
antarindividu yang terorganisasi karena satu ikatan solidaritas untuk
memobilisasi sumber daya seperti orang, dana, serta simbol (mobilizing structure) untuk
merealisasi kepentingan politik tertentu. Struktur kesempatan politik dan
mobilisasi sumber daya juga memerlukan pembingkaian (framing) isu yang memadai,
yakni semacam sentimen tertentu yang mampu menumbuhkan
rasa solidaritas untuk menggerakkan radikalisasi massa sehingga political
opportunity dapat dimanfaatkan dengan baik. Gerakan Islam muncul karena
adanya ruang gerak yang begitu bebas untuk menyampaikan pesan perlawanan
akibat supremasi hukum yang tebang pilih. Gerakan ini juga mampu membingkai
sentimen agama sebagai basis solidaritas perjuangan serta memobilisasi sumber
daya untuk melakukan resistensi politik.
Faktor Kemunculan
Jika dibaca secara umum, ada beberapa faktor kenapa
gerakan Islam menjadi gerakan politik fenomenal dewasa ini. Pertama,
kosongnya panggung perlawanan terhadap kekuasaan pemerintah. Sepuluh tahun
belakangan, konfrontasi terhadap kekuasaan nyaris punah.
Suara-suara kritis tak lagi terdengar, yang ada justru
semua pihak merasa berada di zona nyaman. Kelompok-kelompok aktivis Cipayung,
misalnya, kiprah politiknya senyap ditelan bumi. Begitu pun eksistensi
gerakan kritis dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) terancam punah di tengah
situasi yang serbagaduh.
Mereka absen di setiap isu sensitif kebangsaan seperti
penistaan agama, kenaikan harga, dan seterusnya. Apalagi setelah Jokowi
menjadi presiden, banyak kelompok aktivis prodemokrasi yang menikmati kue
kekuasaan. Praktis, nyanyian perlawanan kalangan aktivis tak lagi terdengar.
Pada titik inilah kemudian panggung perlawanan yang
dibentangkan gerakan Islam bersemai indah di lubuk sanubari masyarakat.
Kedua, lemahnya oposisi di parlemen berimplikasi pada check and balances yang
berjalan tak seimbang. Suara-suara lantang terhadap kekuasaan perlahan sirna
ditelan dominasi mayoritas penyokong pemerintah.
Sejatinya, persoalan kebangsaan seperti kasus makar, isu
intoleransi hingga kasus penistaan agama yang mengancam kebinekaan bisa
diselesaikan secara bijak jika kontrol di parlemen berjalan maksimal. Ketiga,
mayoritas yang diam (silent majority).
Diamnya kalangan mayoritas berimplikasi pada munculnya “kelompok intoleran”
yang merebut panggung perlawanan.
Akibatnya tokoh gerakan Islam seperti Habib Rizieq
dianggap sebagai sosok pahlawan. Nyaris tak ada hari tanpa tausiah politik
imam besar FPI ini yang tersebar secara berantai dan masif lewat media
sosial. Keempat, aktivis gerakan Islam mulai melek media sosial. Dulu mungkin
tak banyak yang percaya media sosial bisa berdampak besar dalam politik.
Hanya tim Jokowi dan Ahok pada Pilkada 2012 yang serius
menggarap kedigdayaan media sosial sebagai alat propaganda politik yang amat
ampuh. Puncaknya adalah Pilpres 2014 menjadi bukti sahih efek dahsyat media
sosial dalam politik mengantarkan Jokowi-JK sebagai pemenang pemilihan
presiden.
Setelah itu secara perlahan metode kampanye politik di
media sosial mulai dipelajari semua kelompok. Saat ini semua partai politik,
organisasi massa, organisasi kepemudaan, dan sebagainya memiliki badan yang
secara khusus ditugasi menggarap media sosial. Tak ketinggalan ormas Islam
seperti FPI juga serius menggarap media sosial.
Mereka berselancar menikmati indahnya “berdakwah” melalui
media sosial baru (new social media) ini. Mereka “menyekolahkan” kader-kader
terbaiknya untuk menjadi ilmuwan media sosial yang andal. Oleh karena itu,
tak mengherankan jika aksi bela Islam pada 4 November dan 2 Desember 2016
menjadi ajang pembuktian (moment of the truth) bagaimana media sosial dengan
mudah memobilisasi jutaan umat melakukan demonstrasi.
Empat faktor di atas inilah yang membuat gerakan Islam
menjadi salah satu fenomena politik mutakhir yang paling banyak
diperbincangkan. Betul bahwa tokoh-tokoh gerakan Islam tersebut
kontroversial, bahkan dalam banyak hal sangat ekstrem. Namun apa yang mereka
lakukan di tengah absennya kelompok kritis membuat sosoknya mulai diminati
banyak kalangan.
Sebab tak ada figur alternatif yang mampu menyuarakan
aspirasi umat yang termarginalkan. Tak ada organisasi kritis yang bisa
diandalkan menyampaikan segenap luka dan keluh kesah umat yang sedang
menjerit. Pada titik inilah umat menitipkan masa de-pan keadilan pada gerakan
Islam yang “puritan” ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar