Sundel
Bolong
Mohammad Nuh ; Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
|
JAWA
POS, 12
Maret 2017
Pernah dengar kisah tentang sundel bolong? Bagi mereka
yang lahir tahun 1950-an sampai 1970-an atau kelompok baby boomers dan
tinggal di perkampungan hampir pasti mengenal kisah sundel bolong.
Hantu ini menjadi sangat populer seiring film dengan judul
yang sama sukses di pasaran pada awal dasawarsa 1980-an.
Sundel berarti wanita jalang, bolong berarti berlubang.
Umumnya digambarkan sebagai wanita cantik berambut panjang dan bergaun
panjang warna putih yang punggungnya berlubang (Jawa: bolong).
Waktu berpapasan terlihat wajahnya begitu cantik dan
semerbak harum baunya. Begitu lewat, punggungnya yang berlubang menebar bau
busuk yang luar biasa menyengatnya. Karena punggung yang berlubang tadi
dipenuhi belatung. Itulah karakteristik dasar sundel bolong, yaitu berparas
cantik dan wangi, berjalan tanpa menginjakkan kakinya di bumi, dan berbau
busuk setelah berpapasan.
Sebagai kisah folklorik, mitos dan metafor tentu nyatanya
tidak pernah kita jumpai. Namun, itulah cara orang tua kita dulu bagaimana
mengenalkan sebuah ”nilai kemuliaan” melalui kendaraan cerita seperti dongeng
dan sejenisnya.
Jadi, kisah dan cerita diciptakan sedemikian rupa sehingga
anak menjadi sangat tertarik. Dalam kondisi ketertarikan tersebut orangtua
bisa memasukkan pesan moral dan sistem nilai kepada sang anak. Itulah
kearifan lokal.
Pesan moral atau nilai apa yang dikandung dalam sundel
bolong? Orang yang tidak memiliki pendirian yang diibaratkan dengan berjalan
tanpa atau tidak menginjak bumi (ngawang). Dia cenderung berbohong dan berkhianat
di saat kepentingannya terganggu. Komitmen dilakukan semata karena
kepentingan dirinya.
Berparas manis, awalnya penuh keindahan, namun berikutnya
penuh dengan kebusukan. Itulah ciri khas dari orang yang tidak memiliki
pendirian. Tidak ada sundel bolong yang berwajah menyeramkan, semuanya
berwajah manis sebagai modal untuk menjalankan misi kebohongan yang akan dia
lakukan.
Seseorang dalam menjalankan misi kebohongan selalu bermuka
manis atau memelas. Dua ekstremitas senjata untuk berbohong. Ini sama sekali
bukan berarti orang bermuka manis dan memelas selalu akan menjalankan misi
kebohongan. Bagi mereka yang memiliki pendirian yang kuat, manis dan memelas
adalah ekspresi riil, keadaan sebenarnya, karena mereka tidak mengenal kausa
kata bohong sehingga tidak memiliki kausa aksi berbohong. Itulah kandungan
dan pesan moral sundel bolong.
Kisah tentang kebohongan itu terlukis rapi dalam tradisi
profetik, sebagaimana kisah Nabi Yusuf. Keirian dan kedengkian
saudara-saudaranya menyebabkan mereka berusaha untuk menyingkirkan Nabi Yusuf
(waktu itu masih kecil) dari lingkungan keluarga.
Mereka membawanya jalan-jalan dan memasukkannya ke dalam
sumur dan dengan paksa bajunya dilepas terlebih dulu. Baju Yusuf mereka
lumuri darah, lalu ditunjukkan ke ayah mereka, Nabi Ya‘qub. Sambil menangis
dan memelas mereka bilang bahwa Yusuf meninggal diterkam serigala.
Pada zaman itu aksi kebohongan mereka sudah tergolong
sangat canggih. Namun, di balik kebohongan selalu ada kejanggalan. Apa itu?
Kalau memang Nabi Yusuf dimakan serigala, mengapa bajunya masih utuh meskipun
ada lumuran darahnya? Apa memang serigala kalau mau menerkam seseorang
meminta terlebih dulu supaya baju korbannya dilepas? Itulah kejanggalannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar