Selasa, 14 Maret 2017

Sriwedari


Bre Redana  ;   Penulis Kolom UDAR RASA Kompas
                                                        KOMPAS, 12 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ada yang tak bakal saya lewatkan setiap kali bermalam di Solo seperti sering saya jalani akhir-akhir ini: nonton pertunjukan wayang orang di Taman Sriwedari. Wayang orang-sebagaimana wayang kulit-tetap memiliki pencintanya. Pada akhir pekan atau karena lakon tertentu, penonton kadang penuh.

Saya tak peduli kebagian duduk di mana atau lakonnya apa, yang penting masuk gedung, duduk menikmati tontonan sembari makan kacang. Serupa proses membaca buku: membaca karya Eco, The Island of the Day Before yang panjang dan penuh mitos, nikmati saja dengan sikap santai seperti mendengar mitologi. Sesuatu yang hilang dari dunia digital.

Wayang Orang Sriwedari kelihatan melakukan pembaruan-pembaruan, terutama dalam pengadeganan dan acuan dramatik. Terakhir saya nonton, mereka menampilkan episode ketika perang antarkeluarga Bharata berakhir. Seusai tumpasnya Kurawa, ditampilkan suasana Padang Kurusetra yang sunyi, temaram dalam keremangan cahaya panggung. Di sana-sini prajurit bergeletakan. Tombak dan anak panah menancap pada mereka. Panji-panji kerajaan tertunduk layu. Adegan seperti ini jarang ada pada pertunjukan wayang orang.

Destarata, raja buta ayah para Kurawa, dituntun istrinya Gendari terseok-seok mencari anak-anaknya. Gendari menjerit setiap kali mendapati jasad anaknya. Sangat mengharukan. Destarata pecah kesedihannya ketika mendapati jasad putra yang paling dicintainya, Duryudana. Kami terbawa kesedihan Destarata, orangtua yang kehilangan semangat hidup karena kehilangan orang yang dicintai.

Sriwedari yang terletak di Jalan Slamet Riyadi adalah pusat kota Solo. Pusat kota, sebagai alasan kota dibangun sejak zaman Mesopotamia, haruslah merupakan pusat sistem kepercayaan, nilai-nilai, yang kemudian ditransendensikan menjadi nilai-nilai kebudayaan. Makanya, seperti kita lihat peninggalannya sampai sekarang, pusat dari kota-kota yang memiliki kebudayaan besar, baik di Timur Tengah maupun Eropa, selalu berupa kuil tempat pemujaan.

Solo atau Surakarta dibangun untuk menggantikan Keraton Kartasura pada 1740 oleh Pakubuwana II dan dilanjutkan oleh raja-raja berikutnya. Perjanjian Salatiga (1757) menjadikan Surakarta dibagi dua, yakni Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran.

Kasunanan, pada zaman Pakubuwana X, membangun Taman Sriwedari, tahun 1899. Konon, Pakubuwana X membangun taman ini diilhami sebuah taman yang berada di Kerajaan Maespati dalam cerita wayang. Tak mau kalah, pada masa berikutnya, Mangkunegaran membangun Taman Balekambang, juga Tirtanadi.

Dalam beberapa hal, Solo sebenarnya diuntungkan oleh rivalitas dua kekuasaan tersebut, yang sama-sama menempatkan kebudayaan sebagai sesuatu yang sentral dalam pembangunan kota. Pada masanya, Mangkunegaran ditengarai membangun taman- taman dengan orientasi Barat.

Entah bagaimana ihwalnya, tata ruang dari jalan-jalan utama di Solo menunjukkan tata ruang dari sebuah kota yang modern. Membentang dari barat ke timur, poros utama Solo, Jalan Slamet Riyadi, seperti avenue di Manhattan, New York, yang dipotong oleh jalan-jalan yang sejajar. Kalau avenue di Manhattan dipotong street (disebut dengan angka, pusat kota dipotong 40th Street, 41st Street, 42nd Street yang terkenal dan seterusnya), di Solo Jalan Slamet Riyadi dipotong Jalan Gajah Mada, Jalan Teuku Umar, dan seterusnya. Ujung timur merupakan gerbang keraton. Tak jauh dari situ, terletak Pasar Gede, pasar tradisional yang sebenarnya hasil dari gagasan mengenai modernitas. Perancangnya, Thomas Karsten, memang salah satu pelopor gagasan modern dalam arsitektur pada akhir abad ke-19/awal abad ke-20.

Seperti saya katakan, waktu malam di Solo, saya nonton wayang tanpa peduli apa lakonnya. Lampu minyak pedagang angkringan di bawah beringin berkedap-kedip ditiup angin. Saya menikmati semuanya, di tengah arus zaman di mana suatu kelompok seperti Si Malin Kundang mulai hendak mengingkari bahkan memusuhi budaya sendiri. Jangan ikut-ikutan. Selain kualat, mereka bakal tersesat di jalan tak tentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar