Jangan
Tergoda untuk Tidak Disiplin Fiskal
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan
Publik UGM, Yogyakarta
|
KOMPAS, 13 Maret 2017
Ada dua ”ritual” data dan kebijakan perekonomian Amerika
Serikat yang ditunggu para pelaku ekonomi di seluruh dunia. Pertama,
statistik penyerapan tenaga kerja bulanan. Kedua, kebijakan suku bunga bank
sentral yang akan diumumkan pertengahan pekan ini.
Sejak Donald Trump dilantik menjadi Presiden AS,
penyerapan tenaga kerja di AS justru membaik secara signifikan. Pada Januari
2017 telah terserap 238.000 orang dan Februari 235.000 orang. Ini impresif
karena pada akhir pemerintahan Presiden Barack Obama, angkanya hanya 12.000
orang (Oktober), 164.000 orang (November), dan 155.000 orang (Desember 2016).
Meski sosok Presiden Trump sangat kontroversial, faktanya statistik ekonomi
AS membaik. Ini anomali yang mencengangkan.
Penjualan mobil yang pernah terpukul hebat menjadi hanya 9
juta unit (2009)—level terburuk sepanjang sejarah modern AS—kini sudah
memecahkan rekor baru menjadi 17,6 juta unit setahun. Semua data tersebut
diyakini oleh para ekonom sebagai kondisi yang optimal. Selanjutnya, hal ini
memicu ekspektasi terhadap kenaikan suku bunga bank sentral AS, The Fed, yang
rapatnya akan diselenggarakan pada 14-15 Maret ini. Perbaikan data ekonomi AS
itu menjadi momentum bagi Janet Yellen untuk menaikkan suku bunga. Level
idealnya adalah 2 persen, seperti yang dicapai sejak era Alan Greenspan pada
1990-an.
Meski semua orang yakin suku bunga The Fed akan naik ke 1
persen, sesungguhnya Yellen masih terus menghitung dampaknya. Apakah akan
lebih positif atau sebaliknya. Penguatan dollar AS justru berisiko
memperburuk defisit perdagangan. Padahal, Trump begitu ngotot untuk
memberlakukan proteksionisme hanya untuk mengurangi defisit perdagangan.
Sementara itu, indeks harga saham, yang akhir pekan lalu
20.900, dikhawatirkan mulai mengidap ”gelembung finansial” (financial
bubble). Artinya, harga saham tinggi patut diduga bersifat artifisial karena
euforia serta tidak mencerminkan kondisi fundamen emiten dan perekonomian.
Hal ini rawan terkoreksi tajam sehingga harus dicegah.
Sementara itu, kurs rupiah saat ini masih stabil di level
Rp 13.300 per dollar AS. Hal ini antara lain didukung cadangan devisa 119
miliar dollar AS yang meningkat 3 miliar dollar AS ketimbang sebulan
sebelumnya. Penyebabnya adalah penerimaan pajak dan devisa ekspor migas
bagian pemerintah, penarikan utang luar negeri pemerintah, dan lelang surat
berharga Bank Indonesia.
Relaksasi kriteria
Stabilitas rupiah mencerminkan tingkat kepercayaan yang
cukup tinggi terhadap prospek perekonomian. Namun, perlu disadari bahwa masih
ada risiko pelambatan ekonomi. Ekspansi kredit industri perbankan masih
lambat dan kredit macet membebani. Tingkat kredit bermasalah (NPL) industri
memang hanya 3 persen (dari batas aman 5 persen). Namun, angka ini ditopang
oleh kebijakan relaksasi penghitungan NPL. Karena perekonomian sedang
tertekan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan keringanan kepada bank-bank
dalam menentukan kredit macet (kolektibilitas 5).
Keringanan diberikan pada kriteria kredit macet, yang
semula tiga pilar (kriteria) dikendurkan menjadi satu pilar, dengan single
obligor sementara ditiadakan. Artinya, bisa saja seorang debitor mengalami
kredit macet di satu bank, tetapi masih lancar di bank lain. Sebelumnya, jika
kredit seorang debitor macet di sebuah bank, kredit di bank lain akan
dianggap macet pula.
Relaksasi ini menguntungkan debitor dan bank sehingga
menekan NPL industri. Namun, apabila peraturan ini dicabut pada Agustus
nanti, NPL berpotensi meningkat. Jika ini terjadi, ekspektasi agar kredit
bank tumbuh di atas 10 persen sulit diwujudkan. Ini akan menjadi tugas berat
pertama yang dihadapi pengurus baru OJK.
Selain berharap dari belanja infrastruktur yang cukup
tinggi, Rp 346 triliun, kini kita berharap pada harga komoditas. Tingginya
ekspansi kredit pada 2010-2013 terbantu oleh tingginya harga komoditas.
Belakangan ini harga minyak turun lagi ke 50-53 dollar AS per barrel dari 53-55
dollar AS per barrel karena pasokan yang tinggi terjadi saat permintaan masih
lesu.
Arab Saudi dan Rusia sebagai dua produsen terbesar di
dunia (masing-masing menghasilkan 10 juta barrel per hari) sebenarnya sudah
bersedia memangkas produksinya. Namun, AS tidak mengimbanginya dan justru
menaikkannya. Akibatnya, suplai minyak dunia kian melampaui permintaan,
sekitar 90 juta barrel per hari.
Minyak merupakan pemimpin pasar bagi harga komoditas lain,
terutama batubara yang menjadi salah satu andalan Indonesia. Indonesia adalah
pemilik cadangan batubara terbesar keempat di dunia, sesudah China, AS, dan
Australia, serta di atas Rusia.
Prospek perekonomian dunia pun masih tidak menentu. Dari
sisi internal, yang bisa kita lakukan adalah terus menjalankan fiskal secara
disiplin. Jangan pernah tergoda untuk tidak disiplin, misalnya membiarkan
defisit APBN terlalu tinggi (di atas 3 persen) atau bahkan mencetak uang
seperti Venezuela (menderita inflasi 428 persen).
Sembari menunggu respons positif dari belasan deregulasi
yang sudah ditebar sejak 2016, ”amunisi” kita, kini, terletak pada stimulus
dari proyek-proyek infrastruktur, stabilitas harga komoditas, dan pergerakan
terbatas kredit perbankan. Ruang gerak cukup terbatas, tetapi masih ada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar