Selasa, 14 Maret 2017

Jangan Tergoda untuk Tidak Disiplin Fiskal

Jangan Tergoda untuk Tidak Disiplin Fiskal
A Tony Prasetiantono  ;   Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM, Yogyakarta
                                                        KOMPAS, 13 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ada dua ”ritual” data dan kebijakan perekonomian Amerika Serikat yang ditunggu para pelaku ekonomi di seluruh dunia. Pertama, statistik penyerapan tenaga kerja bulanan. Kedua, kebijakan suku bunga bank sentral yang akan diumumkan pertengahan pekan ini.

Sejak Donald Trump dilantik menjadi Presiden AS, penyerapan tenaga kerja di AS justru membaik secara signifikan. Pada Januari 2017 telah terserap 238.000 orang dan Februari 235.000 orang. Ini impresif karena pada akhir pemerintahan Presiden Barack Obama, angkanya hanya 12.000 orang (Oktober), 164.000 orang (November), dan 155.000 orang (Desember 2016). Meski sosok Presiden Trump sangat kontroversial, faktanya statistik ekonomi AS membaik. Ini anomali yang mencengangkan.

Penjualan mobil yang pernah terpukul hebat menjadi hanya 9 juta unit (2009)—level terburuk sepanjang sejarah modern AS—kini sudah memecahkan rekor baru menjadi 17,6 juta unit setahun. Semua data tersebut diyakini oleh para ekonom sebagai kondisi yang optimal. Selanjutnya, hal ini memicu ekspektasi terhadap kenaikan suku bunga bank sentral AS, The Fed, yang rapatnya akan diselenggarakan pada 14-15 Maret ini. Perbaikan data ekonomi AS itu menjadi momentum bagi Janet Yellen untuk menaikkan suku bunga. Level idealnya adalah 2 persen, seperti yang dicapai sejak era Alan Greenspan pada 1990-an.

Meski semua orang yakin suku bunga The Fed akan naik ke 1 persen, sesungguhnya Yellen masih terus menghitung dampaknya. Apakah akan lebih positif atau sebaliknya. Penguatan dollar AS justru berisiko memperburuk defisit perdagangan. Padahal, Trump begitu ngotot untuk memberlakukan proteksionisme hanya untuk mengurangi defisit perdagangan.

Sementara itu, indeks harga saham, yang akhir pekan lalu 20.900, dikhawatirkan mulai mengidap ”gelembung finansial” (financial bubble). Artinya, harga saham tinggi patut diduga bersifat artifisial karena euforia serta tidak mencerminkan kondisi fundamen emiten dan perekonomian. Hal ini rawan terkoreksi tajam sehingga harus dicegah.

Sementara itu, kurs rupiah saat ini masih stabil di level Rp 13.300 per dollar AS. Hal ini antara lain didukung cadangan devisa 119 miliar dollar AS yang meningkat 3 miliar dollar AS ketimbang sebulan sebelumnya. Penyebabnya adalah penerimaan pajak dan devisa ekspor migas bagian pemerintah, penarikan utang luar negeri pemerintah, dan lelang surat berharga Bank Indonesia.

Relaksasi kriteria

Stabilitas rupiah mencerminkan tingkat kepercayaan yang cukup tinggi terhadap prospek perekonomian. Namun, perlu disadari bahwa masih ada risiko pelambatan ekonomi. Ekspansi kredit industri perbankan masih lambat dan kredit macet membebani. Tingkat kredit bermasalah (NPL) industri memang hanya 3 persen (dari batas aman 5 persen). Namun, angka ini ditopang oleh kebijakan relaksasi penghitungan NPL. Karena perekonomian sedang tertekan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan keringanan kepada bank-bank dalam menentukan kredit macet (kolektibilitas 5).

Keringanan diberikan pada kriteria kredit macet, yang semula tiga pilar (kriteria) dikendurkan menjadi satu pilar, dengan single obligor sementara ditiadakan. Artinya, bisa saja seorang debitor mengalami kredit macet di satu bank, tetapi masih lancar di bank lain. Sebelumnya, jika kredit seorang debitor macet di sebuah bank, kredit di bank lain akan dianggap macet pula.

Relaksasi ini menguntungkan debitor dan bank sehingga menekan NPL industri. Namun, apabila peraturan ini dicabut pada Agustus nanti, NPL berpotensi meningkat. Jika ini terjadi, ekspektasi agar kredit bank tumbuh di atas 10 persen sulit diwujudkan. Ini akan menjadi tugas berat pertama yang dihadapi pengurus baru OJK.

Selain berharap dari belanja infrastruktur yang cukup tinggi, Rp 346 triliun, kini kita berharap pada harga komoditas. Tingginya ekspansi kredit pada 2010-2013 terbantu oleh tingginya harga komoditas. Belakangan ini harga minyak turun lagi ke 50-53 dollar AS per barrel dari 53-55 dollar AS per barrel karena pasokan yang tinggi terjadi saat permintaan masih lesu.

Arab Saudi dan Rusia sebagai dua produsen terbesar di dunia (masing-masing menghasilkan 10 juta barrel per hari) sebenarnya sudah bersedia memangkas produksinya. Namun, AS tidak mengimbanginya dan justru menaikkannya. Akibatnya, suplai minyak dunia kian melampaui permintaan, sekitar 90 juta barrel per hari.

Minyak merupakan pemimpin pasar bagi harga komoditas lain, terutama batubara yang menjadi salah satu andalan Indonesia. Indonesia adalah pemilik cadangan batubara terbesar keempat di dunia, sesudah China, AS, dan Australia, serta di atas Rusia.

Prospek perekonomian dunia pun masih tidak menentu. Dari sisi internal, yang bisa kita lakukan adalah terus menjalankan fiskal secara disiplin. Jangan pernah tergoda untuk tidak disiplin, misalnya membiarkan defisit APBN terlalu tinggi (di atas 3 persen) atau bahkan mencetak uang seperti Venezuela (menderita inflasi 428 persen).

Sembari menunggu respons positif dari belasan deregulasi yang sudah ditebar sejak 2016, ”amunisi” kita, kini, terletak pada stimulus dari proyek-proyek infrastruktur, stabilitas harga komoditas, dan pergerakan terbatas kredit perbankan. Ruang gerak cukup terbatas, tetapi masih ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar