Signifikansi
Kunjungan Raja Salman
Abdul Muta’ali ;
Direktur
Pusat Kajian Timur Tengah Universitas Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 01 Maret 2017
SEJAK kedatangan Raja Faisal bin Abdul Aziz pada Juni
1970, 47 tahun yang lalu, sampai kemarin belum ada raja Saudi yang berkunjung
ke Indonesia. Hal itu berbeda dengan Indonesia yang semua presidennya sejak
Soekarno sampai Joko Widodo pernah berkunjung ke Arab Saudi. Arab Saudi
cenderung mengabaikan Indonesia. Yang menarik peran diplomasi Saudi di Indonesia
lebih didominasi atase agama.
Sampai hari ini, Kedutaan Arab Saudi di Jakarta tidak
menempatkan seorang atase perdagangan. Indonesia cenderung dipersepsikan
imajiner oleh negara tersebut. Bilateral kedua negara lebih kepada isu
primordialisme. Hal itu sah-sah saja. Bukankah kemerdekaan Indonesia
pertama-tama diakui bangsa-bangsa Timur Tengah, di antaranya Arab Saudi, di
saat Barat hanya bisa diam?
Tidak ada alasan kuat bagi Arab Saudi untuk tidak
menjadikan Indonesia sebagai mitra strategis. Lihat saja 29% kebutuhan minyak
dalam negeri Indonesia diimpor dari Arab Saudi dan jumlah itu diyakini akan
terus meningkat. Kedatangan Raja Salman diharapkan bukan hanya spektakuler
dalam jumlah rombongan yang dibawa, sekitar 1.500 orang, di antaranya 25 pangeran,
dan 10 menteri, juga spektakuler dalam nilai investasi. Mudah-mudahan US$25
miliar investasi yang direncanakan hingga 5 tahun ke depan dapat terealisasi.
Pertimbangan Saudi
Saat ini sangat sulit bagi Arab Saudi menjadikan Amerika
Serikat sebagai main reference. Bukan hanya Trump effects yang 'fasis' dengan
negara-negara Timur Tengah dan Islam lainnya, walaupun Arab Saudi bukan
bagian dari tujuh negara yang dilarang masuk AS. Namun, geliat ekonomi Asia
yang perlahan tapi pasti mengagetkan bukan hanya Amerika, melainkan juga
Eropa secara keseluruhan. Masalah kawasan juga yang menjadi pertimbangan
Saudi.
Konflik Suriah yang tidak jelas muaranya membuat posisi
Saudi agak sulit. Amerika dalam kasus Suriah sulit untuk diandalkan. Padahal,
ketika terjadi konflik-konflik di Timur Tengah, negara-negara Islam, dan
negara-negara dunia ketiga lainnya, biasanya Amerika vs Rusia yang menjadi
pemutus dan pengadilnya. Khusus untuk kasus Suriah berbeda. Amerika hari ini
sangat sibuk dengan masalahnya sendiri.
Sebanyak 34 aliansi militer di bawah komando Riyadh
tampaknya belum ampuh menggoyahkan pemerintahan Basyar Assad yang dibekingi
Iran dan promotornya, Rusia. Indonesia bermain cukup cantik dengan tidak
bergabung dalam aliansi militer tersebut dan tidak pula bermakmum kepada
Iran. Saya melihat, Arab Saudi mencoba 'meminang' Indonesia dengan 'mahar'
primordialisme yang progresif seperti kuota haji, kerja sama pendidikan, dan
sosial budaya serta kemitraan strategis seperti investasi ekonomi dan
keamanan.
Dalam hal ini pemerintahan Jokowi bisa memainkan dua peran
sekaligus. Peran pertama kepentingan politik pemerintahannya dan peran kedua
tentunya kepentingan nasional Indonesia. Untuk kepentingan politik, Presiden
Jokowi harus betul-betul memanfaatkan kunjungan Raja Salman sebaik mungkin.
Saat ini ada persepsi masif bahwa pemerintahan sekarang diduga kurang mesra
dengan umat Islam. Seolah-olah dipersepsikan ada perseteruan istana versus
umat Islam. Belum lagi ditambah isu tiongkokisasi. Kunjungan Raja Salman
dengan jumlah rombongan yang fantastis diangkut dengan tujuh pesawat Boeing
berbadan besar bisa 'dibungkus' untuk menepis isu tersebut.
Untuk kepentingan nasional Indonesia, banyak sekali yang
harus diperoleh dari kunjungan ini. Selain masalah kuota haji, juga harus
dibahas ketenagakerjaan, pendidikan, dan budaya. Terkait dengan masalah
pendidikan, tak sebanding jumlah mahasiswa Arab Saudi di Indonesia dengan
yang ada di Malaysia. Apalagi jumlah mahasiswa mereka di Indonesia tak
sebanding dengan jumlah pelajar Indonesia di Arab Saudi yang mencapai ribuan.
Padahal Indonesia punya kampus-kampus hebat seperti UI, ITB, dan UGM.
Dialektika global
Selain itu, pemerintah harus meyakinkan Arab Saudi untuk
membuka ruang investasi ekonomi yang besar di negeri ini. Nilai investasi
Arab Saudi di Indonesia berada pada urutan ke-57 di bawah Afrika Selatan.
Saya yakin, jika hal itu bisa dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi, bukan
tidak mustahil sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui, kepentingan
politik juga kepentingan nasional.
Sebetulnya Saudi pun sangat berkepentingan datang ke
Indonesia. Mungkin ada yang bertanya, "Kenapa Raja Salman, raja dari
sebuah kerajaan dengan hukum Islam yang sangat ketat, malah berlibur ke
Bali?" Menurut analisis saya, Raja Salman sangat cerdas dan piawai
membangun dialektika logika global. Saat ini ada kecenderungan
penelitian--belum tentu benar juga adanya--bahwa gerakan terorisme dan
radikalisme di dunia internasional, akar genealoginya berasal dari paham
literal dan puritan.
Pendapat itu sangat menyudutkan dan merugikan pemahaman
keagamaan yang hidup di Arab Saudi. Dengan berkunjungnya Raja Salman ke Bali,
destinasi wisata kelas wahid di dunia, hemat saya, Saudi ingin mengatakan
kepada dunia, "Kami bangsa yang sangat human. Buktinya kami berlibur ke
Bali." Investasi Saudi di Indonesia tidak berada pada angka yang
membanggakan. Sangat jauh di bawah Tiongkok dan Jepang. Meminang Indonesia
harus dimulai dari pintu investasi yang besar. Di era seperti ini, teori
hubungan internasional mengatakan national security sebuah bangsa dan
aliansinya dibangun berdasarkan ketahanan ekonomi.
Terakhir, primordialisme kunjungan Raja Salman ke
Indonesia serasa hambar. Tak ada kerja sama atau pertemuan khusus antara
pihak kerajaan dan pimpinan ormas Islam serta para ulama. Atau justru ia
bagian dari strategi humannya Arab Saudi seperti layaknya Bali dijadikan
destinasi liburan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar