Refleksi
Konstitusional terhadap Operasional Freeport
Husendro ; Praktisi Hukum dan Kandidat Doktor Ilmu
Hukum Universitas Indonesia (UI); Pernah
menjabat Senior Investigator Komnas HAM RI Periode 2006-2014, Tenaga Ahli
Anggota DPR RI; Berpengalaman dalam
menangani kasus-kasus hukum dan HAM, serta peminat Filsafat Hukum
|
DETIKNEWS, 28 Februari 2017
Permasalahan keberadaan operasional PT Freeport Indonesia
sesungguhnya sudah dimulai sejak penandatangan Kontrak Karya I pada hari
Jumat, 7 April 1967 bertempat di Departemen Pertambangan, dimana saat itu
Pemerintah Indonesia diwakili oleh Menteri Pertambangan Ir. Slamet Bratanata
dan Freeport oleh Robert C Hills (Presiden Freeport Shulpur) dan Forbes K
Wilson (Presiden Freeport Indonesia), sebuah anak perusahan yang dibuat untuk
kepentingan ini. Dimana penandatangan ini juga disaksikan Duta Besar Amerika
Serikat untuk Indonesia pada saat itu, Marshall Green.
Penandatangan KK I dengan masa berlaku selama 30 tahun ini
dari aspek yuridis tata negara sangat menarik untuk dipertanyakan mengingat
beberapa bulan sebelumnya ada beberapa peristiwa konstitusional yang terjadi
pada level kepemimpinan nasional. Sebagaimana dipahami melenggangnya Freeport
berinvestasi di Indonesia didasarkan pada UU No. 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing yang ditandatangani Presiden Soekarno pada 10 Januari
1967 di tengah-tengah tekanan yang luar biasa terhadap kekuasaannya karena
peristiwa apa yang lazim disebut dengan G30S/PKI, padahal sebelumnya Presiden
Soekarno menolak keras dan sering melakukan propaganda 'anti' terhadap
investasi asing.
Akibat peristiwa G30S/PKI tersebut, pidato
pertanggungjawabannya yang berjudul "Nawaksara" ternyata tidak
memuaskan MPRS sebagai pemberi mandat. Ketidakpuasan MPRS diwujudkan dalam
Keputusan MPRS No. 5 Tahun 1966 yang meminta Presiden Soekarno melengkapi
pidato pertanggungjawabannya.
Walaupun kemudian Presiden Soekarno memenuhi permintaan
MPRS dalam suratnya tertangal 10 Januari 1967 yang diberi nama
"Pelengkap Nawaksara", ternyata tidak juga memenuhi harapan MPRS.
Akhirnya setelah membahas surat Presiden tersebut, Pimpinan MPRS berkesimpulan
bahwa Presiden Soekarno telah lalai dalam memenuhi kewajiban Konstitusional.
Sementara itu, DPR-GR dalam resolusi dan memorandumnya
tertanggal 9 Februari 1967 dalam menilai "Nawaksara" beserta
pelengkapnya berpendapat bahwa "Kepemimpinan Presiden Soekarno secara
konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan bangsa, negara,
dan Pancasila". Selanjutnya pada 12 Maret 1967, dalam Sidang Istimewa
MPRS diambil keputusan untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan
Presiden/Mandataris MPRS dan memilih/ mengangkat Letnan Jenderal TNI Soeharto
sebagai Pejabat Presiden/ Mandataris sebagaimana bunyi dari pasal-pasal yang
ada dalam Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 Tahun 1967 tentang Pencabutan
Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno.
Akibat hukum dari Pemberhentian ini adalah Kabinet Ampera
I yang diumumkan pada tanggal 25 Juli 1966, kepemimpinannya diambilalih dan
diteruskan oleh Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Jadi, pada Kabinet Ampera
I ini-lah KK I ditandatangani melalui Menteri Pertambangan Ir Slamet
Bratanata, yang tentu saja bertindak untuk dan atas nama persetujuan Pejabat
Presiden saat itu, Soeharto. Dari penandatanganan kontrak ini yang kemudian
menjadi dasar penyusunan Undang-Undang Pertambangan No. 11 Tahun 1967 yang
disahkan pada 2 Desember 1967 oleh Pejabat Presiden. Pertanyaanya adalah
apakah berhak seorang Pejabat Presiden mengeluarkan dan mengesahkan sebuat
produk hukum yang bernama UU?
Permasalahan hukum yang menarik lainnya adalah meskipun
dalam KK I secara formal berada di bawah naungan UU Penanaman Modal Asing
1967, maka sesuai Pasal 3 ayat (1) UU a quo, seharusnya Freeport berbadan
hukum Indonesia, tetapi nyatanya hal itu tidak sungguh-sungguh murni
dilakukan. Sebab, nama perusahaan Freeport Indonesia pada waktu itu adalah
Freeport Indonesia Company-Delaware Incorporated, anak perusahaan Freeport
Sulfur Company, yang kemudian melalui berbagai proses transformasi menjadi
anak perusahaan Freeport-McMoran Minerals Corporation, yang secara yuridis
sangat jelas merupakan persero Amerika (AR Soehoed). Secara resmi, Freeport
baru menjalankan kewajiban menjadi status badan hukum Indonesia sejak 26
Desember 1991 dengan perubahan nama menjadi PT Freeport Indonesia.
Jadi, jika hari ini kehebohan situasi negara yang
memperbincangkan penolakan Freeport terhadap pemberlakuan PP No 1 Tahun 2017,
yang intinya memuat 3 (tiga) hal, yakni izin ekspor konsentrat akan
dikeluarkan pemerintah dengan syarat perizinan Freeport berubah dari Kontrak
Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), divestasi saham hingga
51 %, dan diterapkan pajak prevailing atau sesuai ketentuan yang berlaku
dalam perundang-undangan; tentu tidak mengejutkan mengingat lebih dari
beberapa dasawarsa energi bangsa ini terus terkuras membicarakan bagaimana
seharusnya penguasaan kekayaan alam negara dilakukan.
Namun sebelum membicarakan pola penguasaan tersebut,
baiknya memori kita perlu disegarkan kembali pada Jumat, 25 Juli 2014, yakni
pada saat ditandatangani MoU renegosiasi atau amandemen kontrak karya PTFI,
antara Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Sykhyar dengan pihak PTFI yaitu Rozik
B Soetjipto, selaku Presiden Direktur. Di mana ada 6 (enam) kesepakatan yang
menjadi materi inti MoU tersebut, yakni:
1) pembangunan unit pengolahan dan pemurnian (smelter);
2) luas lahan tambang;
3) perubahan perpanjangan kontrak menjadi izin usaha
pertambangan khusus (IUPK);
4) kenaikan royalti untuk penerimaan negara;
5) divestasi; serta
6) penggunaan barang dan jasa pertambangan dalam negeri.
Jadi, jika saat ini PTFI ribut-ribut mengancam akan
membawa Indonesia ke jalur Arbitrase Internasional karena tidak menghormati
asas kesucian kontrak (sanctity of contract) sebagaimana yang disampaikan CEO
Freeport McMoRan Inc., Richard C Adkerson, tapi di sisi lain PTFI melalui
juru bicaranya Riza Pratama mengungkapkan telah menyampaikan kesediaan kepada
pemerintah untuk berganti menjadi IUPK. Akan tetapi, syaratnya, Freeport
meminta kepastian perpanjangan operasi hingga tahun 2041 atau tambahan 20
tahun lagi pasca berakhirnya kontrak tahun 2021 dan meminta perpajakan tetap
atau nail down, serta divestasi saham 30 % sebagaimana yang diatur dalam
Kontrak Karya.
Tentu menimbulkan tanda tanya yang besar bahwa
sesungguhnya 'ribut-ribut' mengarah kemana dan tentang apa?
Seharusnya pembicaraan bagaimana nasib PTFI kedepannya
hendaknya tidak boleh dilepaskan dari konteks bagaimana seharusnya kekayaan
alam di kuasai dan dipergunakan sebesar-sebesarnya untuk kemakmuran rakyat
sebagaimana bunyi Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia 1945,
khususnya kepentingan rakyat Papua.
Tafsiran Konstitusional Pasal 33 UUD NRI 1945, menghendaki
bahwa penguasaan negara terhadap kekayaan alam harus berdampak pada
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Dalam hal ini, "pengertian
dikuasai oleh negara" tidak dapat dipisahkan dengan makna untuk
"sebesar-besar kemakmuran rakyat" yang menjadi tujuan pasal 33 ayat
(3) UUD 1945.
Dengan adanya kalimat "dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat", maka sebesar-besar kemakmuran rakyat
itulah menjadi ukuran bagi negara menentukan tindakan pengurusan, pengaturan,
atau pengelolaan atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya. Apabila penguasaan negara tidak dikaitkan secara langsung dan satu
kesatuan dengan sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka dapat memberikan makna
konsitusional yang tidak tepat.
Artinya, negara sangat mungkin melakukan penguasaan
terhadap sumber daya alam secara penuh tetapi tidak memberikan manfaat
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di satu sisi negara dapat menunjukkan
kedaulatan pada sumber daya alam, namun di sisi lain rakyat tidak serta merta
mendapat sebesar-besar kemakmuran atas sumber daya alam.
Oleh karena itu, kriteria konstitusional untuk mengukur
makna konstusional dari penguasaan negara justru terdapat pada frasa
"untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Akan tetapi, dalam rangka
mencapai tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat, kelima peranan
negara/pemerintah dalam pengertian penguasaan negara, jika tidak dimaknai sebagai
satu kesatuan tindakan, harus dimaknai secara bertingkat berdasarkan
efektifitasnya untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling
penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya
alam, sehingga negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari
pengelolaan sumber daya alam. Penguasaan negara pada peringkat kedua adalah
negara membuat kebijakan dan pengurusan, dan fungsi negara dalam peringkat
ketiga adalah fungsi pengaturan dan pengawasan.
Sepanjang negara memiliki kemampuan baik modal, teknologi
dan manajemen dalam mengelola sumber daya alam, maka negara harus memilih
untuk melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. Dengan
pengelolaan secara langsung, dipastikan seluruh hasil dan keuntungan yang
diperoleh akan masuk menjadi keuntungan negara yang secara tidak langsung
akan membawa manfaat lebih besar bagi rakyat.
Pengelolaan langsung yang dimaksud di sini, baik dalam
bentuk pengelolaan langsung oleh negara (organ negara) melalui Badan Usaha
Milik Negara. Pada sisi lain, jika negara menyerahkan pengelolaan sumber daya
alam untuk dikelola oleh perusahaan swasta atau badan hukum lain di luar
negara, keuntungan bagi negara akan terbagi sehingga manfaat bagi rakyat juga
akan berkurang. (*Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 3/PUU-VIII/2010,
jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 36/PUU-X/2012).
Kembali kepada permasalahan Freeport, bukan mengenai angka
Rp 214 Triliun yang telah Freeport berikan kepada Indonesia sejak 1992,
melainkan tentang berapa ribu bahkan puluhan ribu Triliun rupiah yang telah
diperoleh Freeport sejak pertama kali beroperasi pada 1973? Berapa rupiah
nominal yang telah dibagikan kepada rakyat Papua dan Indonesia? dan apa
konstribusi lain yang diberikan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat
sebagaimana prinsip dasar konstitusi negara?
Jika hanya kerugian yang justru diperoleh negara dalam
pengelolaan/penguasan kekayaan alam Papua yang sekarang dikelola PTFI,
sebaiknya Pemerintah RI berpikir ulang untuk memperpanjang keberadaan
operasional PTFI pasca 2021, tetapi sebaliknya Pemerintah juga harus berpikir
bagaimana jika tawaran-tawaran yang diberikan PTFI justru menguntungkan
rakyat Indonesia, khususnya Papua. Itulah konsep bisnis yang sepertinya
sedang dimainkan Presiden Jokowi, "win-win solution", negara
untung, PTFI juga untung, jadi sama-sama untung, dan jangan lupa Rakyat Papua
juga harus untung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar