Sesat
Pikir Lembaga Penyiaran Khusus
Muhamad Heychael ;
Direktur
Remotivi
|
TEMPO.CO, 28 Februari 2017
Dua rezim terakhir pemerintah yang berkuasa selalu merasa
menjadi korban ketidakadilan media. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan
Joko Widodo pernah melontarkan kritik kepada pemberitaan stasiun televisi
("Perbedaan Jokowi, SBY, dan Prabowo dalam Menyikapi Kritik Media",
Republika.co.id: 2014). Keduanya berasal dari dua partai yang tidak
"memiliki" televisi. Meski Surya Paloh, pemilik Metro TV, adalah
pendukung rezim berkuasa saat ini, sebagian besar pemilik televisi berada di
luar lingkar kekuasaan. Dalam peta kepemilikan media yang demikian, rezim
berkuasa memang rentan menjadi target kritik oposisi politik yang menguasai
media. Saya menduga inilah latar belakang revisi Undang-Undang Penyiaran,
yang salah satu butirnya memuat konsep "Lembaga Penyiaran Khusus".
Hasil rumusan revisi Dewan
Perwakilan Rakyat atas UU Penyiaran yang tertuang dalam draf 7
Desember 2016 mendefinisikan lembaga penyiaran khusus sebagai lembaga
penyiaran yang dimiliki kementerian, TNI/Polri, dan partai politik (Pasal 1
ayat 15 dan Pasal 103 ayat 2c). Tujuannya jelas, dengan memberikan ruang bagi
pemerintah dan partai politik untuk memiliki lembaga penyiaran sendiri,
pemerintah maupun partai politik bisa mengetengahkan program-programnya
kepada publik luas sekaligus menangkis kritik media terhadap kinerja
pemerintah ataupun partai. Ini jelas sesat pikir.
Jika masalahnya adalah siaran televisi yang tidak adil
dalam merepresentasikan berbagai kepentingan politik yang ada, semestinya
yang diatur dalam revisi UU Penyiaran adalah persoalan monopoli kepemilikan
dan penegakan prinsip keberimbangan dalam pemberitaan. Dua hal ini
sesungguhnya telah diatur dalam UU Penyiaran yang sekarang berlaku. Namun,
sayangnya, belum ditegakkan secara menyeluruh.
Memberikan kesempatan kepada pemerintah dan partai politik
memiliki lembaga penyiaran sendiri tidak akan menyelesaikan masalah
ketidakadilan representasi. Ini ibarat menyelesaikan perang dengan menambah
senjata yang beredar di medan perang. Akan lebih masuk akal apabila
pemerintah dan DPR membuat rumusan yang lebih dapat diterapkan mengenai
penyiaran program politik serta pembatasan kepemilikan media penyiaran.
Ada banyak cara yang bisa ditempuh. Kita bisa meminjam
model pengaturan kepemilikan yang sudah diterapkan di beberapa negara
demokrasi, seperti Inggris dan Amerika. Di Inggris, misalnya, dalam
Communication Act 2003, iklan program politik yang disponsori partai politik
di televisi dilarang sepenuhnya. Asumsinya, ranah publik tidak boleh
digunakan untuk kepentingan privat. Sebagai gantinya, setiap partai politik
diberi "waktu siar" dalam program berita dan talkshow di setiap
televisi dengan durasi yang sama (Political Advertising, 2014). Dengan cara
ini, berafiliasi atau tidak dengan pemilik media, setiap partai politik
memiliki kesempatan yang sama.
Amerika menggunakan pendekatan yang berbeda. Partai
politik boleh mensponsori program politik di televisi selama stasiun itu menyebutkan
di awal dan akhir acara bahwa program tersebut disponsori partai tertentu.
Selain itu, dalam Communication Act Code 47, stasiun televisi diwajibkan
menjalankan prinsip equal opportunity (kesempatan yang setara). Salah satu
bentuk aturannya adalah, bila calon kandidat politik diundang salah satu
stasiun televisi untuk wawancara, lawan kandidat tersebut punya hak untuk
meminta hal yang sama.
Inggris dan Amerika juga mengatur kepemilikan media
penyiaran. Dalam aturan yang dikeluarkan Ofcom (The Office of
Communications), regulator media di Inggris, disebutkan bahwa (1) orang yang
telah memiliki grup perusahaan media cetak dengan market share mencapai 20
persen dilarang memiliki stasiun televisi, baik nasional maupun lokal; (2)
televisi dan radio tidak boleh dimiliki orang atau badan hukum yang potensial
menyebabkan adanya konflik kepentingan, seperti agensi iklan.
Pembatasan juga berlaku di Amerika. Menurut aturan FCC
(Federal Communication Commission), kepemilikan media oleh orang atau badan
hukum di Amerika tidak boleh melebihi 45 persen market share. Untuk menjamin
terjaganya regulasi ini, FCC melakukan evaluasi setiap tiga tahun sekali
terhadap kepemilikan media.
Bagaimana dengan di Indonesia? Pasal 18 UU Penyiaran
menyatakan bahwa kepemilikan media dibatasi dan mengamanatkan kepada
pemerintah untuk membuat aturan turunannya. Persoalannya, hingga kini
pemerintah tidak pernah mengeluarkan aturan rinci tersebut. Akibatnya, sejak
2002, konsolidasi kepemilikan media terus terjadi. Jika DPR dan pemerintah
memang hendak membenahi persoalan ini, yang perlu dilakukan adalah membuat
kerangka jelas mengenai batasan kepemilikan dan isi siaran media, terutama
dalam kaitannya dengan program politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar