Menguji
Rasionalitas Pemilih Jakarta
Arie Putra ;
Analis
Politik Policy Research Network; Pengamat Pertanian
|
TEMPO.CO, 27 Februari 2017
Pernyataan pengamat politik, Burhanuddin Muhtadi, di
beberapa media massa nasional sangat menarik dicermati. Ia mengatakan, "Jika benar warga
Jakarta rasional, seharusnya Ahok minimal mengantongi 70 persen suara sesuai
dengan proporsi warga yang puas terhadap kinerjanya."
Burhan menilai, untuk mengkonversi tingkat kepuasan
pemilih rasional menjadi elektabilitas, seharusnya tidak membutuhkan upaya
yang besar. Kepuasan danelektabilitas pada segmen pemilih rasional secara
otomatis akan selalu berbanding lurus. Dia mencurigai faktor agama begitu
berpengaruh menggerakkan 30 persen orang yang puas dengan kinerja Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok untuk memilih kandidat lain.
Namun jangan-jangan Burhan luput akan logika lain bahwa
boleh jadi warga yang sudah puas dengan kinerja Ahok (70 persen) justru ingin
lebih puas lagi atau memandang ada kandidat lain yang mampu memberikan
kepuasan lebih. Artinya, belum tentu 30 persen yang, menurut Burhan,
seharusnya masuk ke dalam kelompok rasional alias pendukung petahana adalah
pemilih irasional.
Sebenarnya, siapakah yang tidak rasional? Jika melihat
angka survei-survei sebelum pemilihan kepala daerah DKI, elektabilitas Ahok
memang selalu berada di kisaran 40 persen, meski kepuasannya di kisaran 65-70
persen. Tampaknya, angka solid hanya sebatas itu. Walaupun
"insiden" Al-Maidah 51 sempat membuat perolehan petahana terjerembap
dalam sejumlah jajak pendapat, pemulihan ke angka semula tidak butuh waktu
lama. Sebagai seorang petahana yang memiliki kepuasan tinggi, rapor tersebut
tidak terlalu memuaskan.
Melihat kenyataan tersebut, pengamat harus kembali
mempertanyakan konsep rasionalitas pemilih. Dinamika elektabilitas Ahok juga
menunjukkan bahwa faktor agama tidak terlalu berpengaruh. Pola sebelum masa
pemilihan kepala daerah tidak terlalu berbeda dengan hasil rekapitulasi suara
pencoblosan putaran pertama oleh Komisi Pemilihan Umum.
Di negara-negara mayoritas muslim, seperti Aljazair,
Turki, Tunisia, dan Mesir, kekuatan politik Islam memang mampu mendapat suara
yang besar dalam pemilihan umum. Namun bahasa politik yang digunakan kerap
tidak berhubungan dengan hal-hal yang islami. Isu-isu publik umumnya, seperti pendidikan, kesehatan, dan
infrastruktur, menjadi isi kampanye yang paling dominan digunakan. Pemilih
kelompok Islam masih memiliki rasionalitas lain di luar nilai-nilai agama
yang mereka pegang. Kualitas gagasan masih dianggap sebagai faktor penentu.
Berkaca pada kasus Jakarta, isu penistaan agama terbukti
tidak mampu menggulingkan petahana. Meski diterjang gelombang aksi secara
masif, Ahok tetap bertahan. Kepercayaan rakyat Jakarta terhadap kinerja yang
sudah ditawarkan petahana masih sangat besar. Ahok bisa menjual cerita
suksesnya karena dia inkumben.
Di sisi lain, pemilih non-petahana bukan berarti tidak
rasional. Selain Basuki-Djarot, tidak ada kandidat yang sudah bekerja untuk
Jakarta. Mau tidak mau, kandidat penantang hanya bisa bercerita mengenai
program-program dan rencananya.
Jika Burhanuddin Muhtadi mengatakan isu agama banyak
dimainkan oleh kandidat penantang, hal ini tampaknya kurang tepat.
Belakangan, pendukung petahana lebih banyak menyerang logika program yang
ditawarkan kandidat penantangnya. Program OKE OCE (One Kecamatan One Center
for Entrepreneur) dan uang muka (down
payment/DP) hunian 0 persen milik pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno diejek
habis-habisan oleh akun-akun media sosial pendukung petahana.
Terlepas dari mungkin atau tidaknya program itu
dilaksanakan, upaya untuk menyerang gagasan lawan terus dilakukan. Serangan
terhadap dua program tersebut secara tidak langsung menggerakkan pemilih
untuk menggali lebih banyak visi-misi dan program penantang Ahok. Program
Anies-Sandi semakin diketahui publik. Melalui akses media asing yang begitu
terbuka, publik yang belum menentukan pilihan dapat menemukan informasi bahwa
ternyata program semacam itu sudah berhasil dilakukan di negara-negara lain.
Ahok memang mampu merasionalkan kebijakan yang tidak
populer. Bagi Ahok, Jakarta harus menjadi kota yang tertib, seperti
Singapura. Warga Jakarta akan untung apabila semuanya berperilaku sesuai
dengan aturan. Akibatnya, kelas menengah-bawah yang tidak tertata sangat
terluka oleh kebijakan Ahok. Adapun Anies-Sandi lebih menekankan kebijakan
yang pro-masyarakat menengah ke bawah. Program-program mereka yang dirisak
pendukung Ahok sangat memperlihatkan arah kebijakan populis yang mereka
usung. Pembelahan segmen pemilih menjadi pro-ketertiban dan pro-populisme
terus dilakukan menjelang hari pemilihan.
Pada pemilihan putaran kedua, Anies akan semakin
mempertegas posisi tersebut. Mungkin, untuk menggaet pendukung kandidat yang
kalah, Anies-Sandi akan mengadopsi program-program Agus Yudhoyono.
Di sisi lain, cerita keberhasilan Ahok memimpin Jakarta
tampaknya sudah menemui titik jenuh. Apalagi kata-kata Ahok soal Jakarta
bebas banjir sama sekali tidak terbukti. Meski harus diakui, kerja Ahok pada
sektor-sektor tertentu layak diapresiasi. Sejauh ini, Ahok-Djarot merupakan
kandidat yang paling miskin imajinasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar