Salah
Kaprah Soal CSR
Hasanudin Abdurakhman ;
Cendekiawan; Penulis;
Kini menjadi seorang profesional
di perusahaan Jepang di Indonesia
|
DETIKNEWS, 27 Februari 2017
Penduduk kampung di dekat sebuah perusahaan atau kawasan
industri kerap mendatangi perusahaan, untuk minta uang. Dana CSR, kata
mereka. Perusahaan sebenarnya tak ingin memberi. Tapi kalau tak diberi,
mereka akan melakukan kegiatan yang menghambat aktivitas perusahaan, misalnya
menutup jalan. Atau, bahkan mereka bisa merusak aset perusahaan.
Tak hanya warga. Pemerintah desa dan kecamatan juga
melakukan hal yang sama. Mereka minta uang kepada perusahaan, dengan dalih
CSR. Uang itu kemudian dipakai untuk keperluan pribadi. Sederhananya, ini
sebenarnya pungutan liar, sebuah bentuk korupsi.
CSR adalah kependekan dari corporate social
responsibility, dalam bahasa Indonesia kita sebut tanggung jawab sosial
perusahaan. Apa tanggung jawabnya? Secara ringkas, perusahaan punya tanggung
jawab untuk membangun masyarakat, wilayah, dan negara, secara
berkesinambungan melalui aktivitas bisnisnya. Pada saat yang sama, perusahaan
juga punya tanggung jawab untuk mencegah dan menanggulangi dampak negatif
dari berbagai aktivitas bisnisnya.
Tapi, apa hubungannya dengan sejumlah warga atau aparat yang
minta uang tadi? Tidak ada. Pada kasus itu CSR telah diperkosa maknanya untuk
membungkus perilaku bejat, yaitu pemerasan dan korupsi. Alih-alih menunaikan
tanggung jawab sosial, ini adalah perilaku sosial yang sangat tidak
bertanggung jawab.
Dalam kasus di atas, perusahaan adalah korban
penyelewengan makna CSR. Tapi tidak jarang pula perusahaan menyelewengkan
makna CSR itu. Perusahaan membuang limbah sembarangan, mengotori lingkungan.
Untuk menutupinya, perusahaan menyumbang ke desa-desa yang mereka kotori.
Warga desa tidak peduli lingkungan mereka rusak. Aparat pemerintah setempat
juga tutup mata. Yang penting semua senang. Perusahaan menyebut kegiatan itu
sebagai tanggung jawab sosial korporasi. Yang terjadi sebenarnya adalah
kerusakan sosial oleh korporasi.
Mana yang lebih banyak dilakukan di Indonesia? Saya
khawatir lebih banyak kerusakan sosial ketimbang tanggung jawab sosial.
Berdasarkan Piramida Caroll, ada 4 unsur dalam CSR, yaitu
tanggung jawab ekonomi, tanggung jawab hukum, tanggung jawab etis, dan
tanggung jawab filantropis. Tanggung jawab ekonomi artinya perusahaan
bertanggungjawab untuk menghasilkan barang dan atau jasa yang dibutuhkan
masyarakat.
Perusahaan juga bertanggung jawab untuk memberikan
kesempatan kerja yang adil, menyediakan penghasilan yang layak, memberi
kesempatan untuk mengembangkan kualitas diri, serta menyediakan tempat dan
sarana kerja yang aman. Kepada para investor perusahaan bertanggung jawab
untuk menghasilkan laba. Ini adalah fondasi paling dasar pada piramida tadi.
Tanpa hal ini perusahaan tidak wujud sebagai entitas ekonomi.
Di tingkat yang lebih tinggi, ada tanggung jawab hukum.
Perusahaan wajib menyelenggarakan bisnis dengan mematuhi segenap hukum yang
berlaku. Mulai dari perizinan, sah atau tidaknya lembaga perusahaan, proses
pengadaan bahan baku melalui pembelian lokal dan impor, proses produksi,
pengelolaan tenaga kerja, lingkungan, perpajakan, dan lain-lain. Lebih
penting lagi, perusahaan tidak boleh melakukan tindak pidana korupsi, seperti
penyuapan, uang pelicin (facilitation payment), dan gratifikasi.
Perusahaan juga tidak diperkenankan melakukan monopoli,
melakukan persaingan tidak sehat, membunuh pesaing, atau bersekongkol dengan
pebisnis sejenis untuk mengendalikan harga. Dalam hal perusahaan mutlinasional,
ia terikat pada hukum di negara asal, negara tempat ia mempunyai cabang, juga
hukum internasional.
Tanggung jawab etik adalah tanggung jawab perusahaan untuk
menjaga etika dalam berbisnis. Hal-hal yang bersifat etis, tidak selalu
dirumuskan dalam bentuk produk hukum. Jadi, bila sesuatu melanggar etika,
meski tidak melanggar hukum, perusahaan bertanggung jawab untuk
menghindarinya. Misalnya, sebuah perusahaan memakai suatu jenis bahan kima,
yang berdasarkan hukum diizinkan untuk digunakan. Tapi perusahaan sebenarnya
tahu bahwa bahan itu tidak baik untuk kesehatan penggunanya. Maka, meskipun
sah secara hukum, secara etika perusahaan mesti menghindari penggunaan bahan
tersebut.
Tanggung jawab tertinggi pada piramida tadi adalah
tanggung jawab filantropis. Tanggung jawab ini menyangkut soal-soal 'mewah'
seperti bagaimana menjaga kualitas hidup karyawan serta konsumen. Donasi
untuk berbagai kegiatan sosial adalah bagian dari tanggung jawab ini.
Dari uraian di atas terlihat jelas bahwa yang sering kita saksikan,
atau yang dipahami orang sebagai aktivitas CSR kebanyakan adalah
penyelewengan. Kita sering meloncat ke pucuk piramida CSR, dengan mengabaikan
fondasi di bawahnya. Warga masyarakat, aparat pemerintah, dan perusahaan,
bersekongkol melakukan penyelewengan terhadap makna CSR. Pemahaman kita harus
dikoreksi. Ketiganya harus bersama menjaga, memastikan tanggung jawab sosial
perusahaan terlaksana dengan benar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar