Profesor
"Pohon Pisang"
Bagong Suyanto ;
Dosen
FISIP Universitas Airlangga (Unair)
|
KOMPAS, 01 Maret 2017
Keinginan untuk mendongkrak jumlah publikasi ilmiah karya
kaum cendekiawan di Tanah Air di berbagai jurnal internasional perlu didukung.
Sudah sewajarnya jika para dosen, apalagi yang sudah profesor dan bergelar
doktor, terus aktif berkarya dan menyebarluaskan ide-ide pemikirannya dalam
komunitas akademis yang lebih luas.
Seperti diketahui, untuk melecut agar para profesor tergugah
aktif menulis karya ilmiah di jurnal internasional, pemerintah telah
mengeluarkan Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017. Salah satu pasalnya
berisi ancaman penghentian tunjangan kehormatan guru besar jika dalam kurun
tiga tahun tak menghasilkan tiga artikel ilmiah di jurnal internasional atau
satu artikel di jurnal internasional bereputasi.
Saya setuju dengan maksud Kemenristek dan Dikti yang
berusaha mendorong profesor dan doktor untuk terus menghasilkan publikasi
ilmiah di jurnal internasional sebagai bentuk pertanggungjawaban karier
akademiknya. Tetapi, saya juga setuju dengan Deddy Mulyana dalam artikelnya,
"Hantu Scopus" (Kompas, 21/2), yang menyatakan bahwa menulis
artikel di jurnal internasional bukanlah satu-satunya parameter kinerja guru
besar. Sebab, menulis buku teks sesungguhnya juga tak kalah sulit dan tak
kalah membanggakan.
Bahwa seorang akademisi harus produktif dan menghasilkan
karya-karya ilmiah adalah keniscayaan. Saya ingat pesan Prof Soetandyo
Soebroto-guru besar, dekan, dan mentor saya ketika meniti karier sebagai
dosen di FISIP Universitas Airlangga-bahwa seorang profesor seyogianya tidak
menjadi profesor "pohon pisang". Artinya, dalam karier akademisnya,
seorang profesor hanya menghasilkan satu karya ilmiah, setelah itu terus
bertapa tanpa menghasilkan karya lain satu pun juga. Profesor "pohon
pisang" seperti ini memang sudah seharusnya diingatkan apa yang menjadi
marwah kehidupan intelektualnya. Masalahnya, apakah pendekatan yang sekadar
mengandalkan ancaman sanksi berupa penghentian tunjangan kehormatan profesor
merupakan instrumen yang tepat?
Pilihan pragmatis
Menggugah semangat para profesor untuk kembali pada
khitahnya, yakni mengajar, meneliti, dan menghasilkan karya ilmiah yang
bermutu, harus diakui bukan hal mudah. Di berbagai perguruan tinggi (PT), tak
sedikit profesor yang terjebak dalam aktivitas rutin pembimbingan dan
mengajar, atau bahkan lebih memilih menduduki jabatan struktural. Mereka
kemudian tak punya waktu dan kesempatan yang cukup untuk merenung dan menulis
artikel di jurnal internasional. Jangankan di jurnal internasional, bahkan
menulis di jurnal nasional atau menulis artikel pendek di media massa saja
tidak banyak profesor yang mau dan mampu melakukannya.
Menulis artikel ilmiah di jurnal internasional adalah sebuah
proses panjang, yang biasanya dimulai dari aktivitas melakukan penelitian
atau kajian yang seriuenulis di
jurnal internasional.
Di berbagai PT, bukan rahasia lagi, ada sebagian profesor
yang lebih memilih hanya mengajar atau membimbing mahasiswa program doktoral
atau pascasarjana dengan pertimbangan reward yang diperoleh lebih
menjanjikan. Seorang profesor yang menurut ketentuan hanya diperkenankan
membimbing maksimal 10 mahasiswa, dalam kenyataan, tak sedikit membimbing
lebih dari 20 mahasiswa.
Honor sebagai pembimbing disertasi yang nilainya sekitar
Rp 3,5 juta per mahasiswa atau mungkin lebih acap kali membuat sebagian
profesor lebih memilih melakukan hal itu, sekaligus sebagai pembenar kenapa
mereka tidak sempat menulis artikel di jurnal internasional. Selain itu, sudah
bukan rahasia lagi, di berbagai PT seorang promotor tak hanya memperoleh
kompensasi honor resmi sebagai pembimbing, mereka juga menerima kompensasi
lain dari mahasiswa bimbingannya dalam berbagai bentuk.
Sanksi akademik
Melecut semangat para profesor agar mau meneliti dan
menulis seyogianya tidak dikaitkan dengan hukuman secara ekonomi. Tunjangan
kehormatan bagi guru besar adalah hak yang sudah seharusnya diterima
profesor, implikasi dari perjalanan karier yang panjang sebagai pendidik.
Besaran tunjangan kehormatan yang hanya sekitar Rp 10 juta per bulan tak bisa
dibilang besar bagi seorang dosen yang sudah mengabdi lebih dari 20-30 tahun
dalam hidupnya. Sebagai guru besar yang sudah memenuhi kewajiban menjalankan
beban 12 SKS, tidak ada alasan tunjangan itu dicabut atau dihentikan hanya
karena tak menulis di jurnal internasional.
Dengan sanksi akademis, bukan dengan ancaman penghentian
tunjangan kehormatan profesor, kemungkinan untuk melecut semangat agar para
profesor tertarik meneliti dan menghasilkan artikel di jurnal internasional
hasilnya akan lebih efektif. Di berbagai grup media sosial dan perbincangan
di kalangan dosen, kita bisa melihat begitu banyak ketidaksetujuan dan sikap
resistensi atas rencana penghentian tunjangan kehormatan bagi guru besar jika
mereka tidak menghasilkan artikel ilmiah di jurnal internasional.
Sebelum dikeluarkan Permenristekdikti No 20/2017,
pemerintah sebetulnya telah mengeluarkan peraturan yang jika diterapkan
secara konsisten akan dapat jadi penstimulasi para guru besar untuk
meluangkan waktu menulis artikel ilmiah. Permendikbud No 49/2014 Pasal 26
Ayat 10 (b), misalnya, disebutkan bahwa untuk dosen program doktor dan
program doktor terapan diperbolehkan jadi pembimbing utama jika sudah pernah
memublikasikan minimal dua karya ilmiah pada jurnal internasional terindeks
yang diakui Ditjen Dikti. Kalau aturan ini saja konsisten ditegakkan, maka
banyak profesor sebetulnya tak layak jadi promotor, dan otomatis mereka akan
kehilangan sumber penghasilan yang selama ini dinikmati dan membuat mereka
terlena.
Jadi, tanpa harus mengancamkan sanksi pencabutan tunjangan
kehormatan, sebetulnya sudah ada instrumen hukum yang bisa ditegakkan untuk
melecut para profesor aktif menulis. Sanksi akademik berupa memudarkan
kredibilitas dan hak akademik profesor dalam aktivitas belajar-mengajar,
terutama dalam kegiatan pembimbingan disertasi, niscaya lebih elok daripada
sanksi ekonomi.
Sanksi akademik ini justru akan lebih signifikan dampaknya
karena guru besar yang tidak pernah menulis artikel ilmiah otomatis akan jadi
pergunjingan dan kehilangan sebagian reputasinya. Bukan tak mungkin dosen
muda justru lebih bereputasi dan dihargai mahasiswa karena produktif berkarya
daripada guru besar yang hanya menjadi profesor "pohon pisang". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar