Titik
Balik Demokrasi Kebablasan
Saurip Kadi ;
Mayor
Jenderal TNI (Purn) Mantan Aster Kasad
|
KOMPAS, 01 Maret 2017
Otokritik dan resep perbaikan tentang demokrasi yang
disampaikan Presiden Joko Widodo di Sentul, Bogor, 22 Februari 2017, perlu
kita apresiasi bersama. Dua kata kunci
tentang demokrasi yang disampaikan Presiden Jokowi adalah "Demokrasi
kita sudah kebablasan dan praktik politik demokrasi kita telah membuka
peluang terjadinya artikulasi politik yang ekstrem seperti liberalisme,
sektarianisme, fundamentalisme, terorisme, dan ajaran-ajaran yang
bertentangan dengan ideologi Pancasila".
Yang kedua adalah "Aparat hukum harus tegas, jangan
ragu-ragu dalam mengatasi demokrasi yang kebablasan".
Pertanyaan yang harus dijawab kita semua adalah apa dan
mengapa di balik otokritik tersebut serta bagaimana jalan keluarnya?
Belenggu sistem
Sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia mencatat
bahwa karena ketergesa-gesaan, founding fathers kita yang duduk dalam BPUPKI
dan juga PPKI belum sempat merumuskan batang tubuh UUD sebagai turunan atau
jabaran dari Pembukaan UUD 1945.
Nilai-nilai luhur yang ada dalam Pembukaan UUD 1945,
termasuk nilai-nilai Pancasila, belum sempat didiskusikan secara rinci,
matang, dan mendalam yang kemudian dijelmakan dalam bentuk rumusan
pasal-pasal batang tubuh UUD 1945.
Oleh karena itu, Bung Karno pada 18 Agustus 1945 dalam
pengesahan UUD 1945 di depan Sidang Paripurna PPKI menyebut UUD 1945 sebagai
UUD kilat, sekaligus berpesan bahwa kelak kalau keadaan sudah tenteram akan
memanggil kembali anggota MPR untuk merumuskan UUD yang lebih sempurna.
Memang betul kita telah melakukan empat kali amandemen UUD
1945. Tetapi, amandemen yang dilaksanakan langsung menukik ke pasal-pasal
batang tubuh, untuk mengurangi dan membatasi sejumlah kewenangan Presiden,
menambah kewenangan DPR, dan secara terbatas memasukkan nilai-nilai demokrasi
dan HAM, serta menghapus keberadaan DPA. Akibatnya logika kesisteman
diabaikan, nilai-nilai negara otoriter yang terkandung di dalamnya begitu
saja dicampur dengan nilai-nilai demokrasi.
Di sisi lain, tata laksananya juga mencampuradukkan antara
sistem parlementer dan sistem presidensial yang masing-masing mempunyai
filsafat dan logika politik sendiri-sendiri yang secara umum berseberangan
satu dengan lainnya.
Bagaimana mungkin presiden yang dipilih langsung oleh
rakyat dalam sebuah pemilu dalam praktiknya bisa disandera partai-partai
melalui DPR layaknya sistem parlementer. Padahal, partai semestinya hanyalah
penyelenggara atau EO (event organizer). Terus bagaimana logikanya dengan
model begini kita berharap akan lahir stabilitas politik, kecuali
pemerintahan yang dibentuk sekadar melanjutkan keamburadulan yang ada, dengan
kompromi untuk bagi-bagi lapak kekuasaan dan ekonomi di antara elite semata.
Sekadar untuk konsolidasi kekuasaan saja, Presiden Joko
Widodo sebagai pendatang baru yang bukan bagian dari "turbulensi"
elite Jakarta perlu waktu dua setengah tahun, yang dengan kepiawaiannya,
akhirnya bisa menaklukkan lingkaran kekuasaan yang membelenggunya.
Pasungan realitas
Berkat gaya kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
yang "selalu ada pilihan", tetapi tanpa pernah memilih, secara
alamiah muncul semua "borok" dan atau "penyakit" yang
diderita NKRI. Residu Orde Baru selama 32 tahun dan 5 tahun era Reformasi
berhasil didetoks dalam 10 tahun kepemimpinan SBY.
Yang pasti rakyat diuntungkan, semua akar persoalan
permafiaan ataupun siapa pelakunya semuanya terang benderang. Terbuka
ditonton rakyat. Sebuah kondisi yang mustahil terjadi di era sebelumnya.
Upaya keras pemerintahan JKW menghentikan warisan
birokrasi pemerintahan yang marak dengan praktik pungli, korupsi, kartel, dan
mafia yang begitu masif, terstruktur, dan sistemik hingga saat ini belum
melahirkan tanda-tanda perubahan yang berarti. Bahkan sebaliknya, di banyak
hal justru makin menjadi-jadi dan terang-terangan. Praktik Capital Violence
yang dilindungi oknum elite aparatur keamanan dan penegak hukum
"piaraan"-nya serta "state terrorism" juga masih terjadi
di sejumlah tempat.
Belakangan ini sedang terjadi kulminasi simbiosis
mutualistik antara kekuatan kapital yang berperilaku agresif dengan
menunggangi golongan tertentu yang berjubah agama. Kepiawaian mereka dalam
mengusik perasaan dan relung hati (bawah sadar) publik dengan memanfaatkan
isu agama membuat publik menjadi begitu kritis karena yang disentuh soal
keyakinan keilahian yang sifatnya sangat individual.
Di saat bersamaan, publik kemudian digiring untuk
melupakan atau setidaknya akomodatif terhadap fakta ketimpangan ekonomi yang
begitu tajam.
Sesungguhnya proses yang ditempuh para predator ekonomi
tersebut cukup lama. Kita harus berani jujur untuk mengatakan bahwa mereka
"membeli" aturan main sejak amandemen UUD dan pembuatan UU, PP, dan
aturan di bawahnya. Dengan demikian, semua penyimpangan, kekeliruan,
kesalahan, bahkan kejahatan yang dilakukan birokrasi pemerintahan-termasuk
jajaran TNI dan Polri serta penegak hukum lainnya tak terkecuali para
hakimnya-masing-masing mempunyai rujukan hukum yang legal secara yuridis
formal.
Kondisi tersebut di atas oleh Presiden Jokowi telah
disopankan dengan istilah "demokrasi kebablasan". Di sanalah dalam
otokritiknya, Presiden juga menyampaikan kata kunci yang ketiga sebagai
solusi, yaitu "Dengan membagi lahan-lahan yang tidak produktif kepada
rakyat, dalam bentuk konsesi-konsesi kecil kepada rakyat, koperasi, tanah
adat sehingga aset-aset negara ini terdistribusi dengan baik dan menjadi
property rights rakyat agar bisa mengakses ke layanan permodalan dan
pembangunan sumber daya manusia melalui pelatihan vokasional".
Tata ulang sistem negara
Karena tanpa mendobrak belenggu sistem kenegaraan dan
melepas pasungan realitas sebagaimana dijelaskan di atas, siapa pun
pemimpinnya niscaya hasilnya akan sama, yaitu sebuah proses pemiskinan secara
struktural rakyat banyak, kebergantungan pada asing yang begitu besar
terlebih dalam hal utang, budaya korupsi, dan praktik mafia, serta hancurnya
karakter bangsa niscaya akan terus berlanjut.
Untuk mengakhiri keamburadulan itu semua hanya mungkin
apabila ke depan aturan main mulai dari UUD dan UU tata laksananya, tak
terkecuali dalam pengaturan perekonomian nasional, diubah terlebih dahulu.
Perubahan yang sebenar-benarnya didasari, dilandasi, dan dijiwai oleh
nilai-nilai Pancasila.
Sebuah warisan yang sangat mulia kalau saja Presiden JKW
tanpa berpretensi hendak maju lagi dalam Pilpres 2019 mendatang, dalam sisa
waktu kepemimpinannya menyiapkan sebuah Rancangan UUD baru sebagaimana amanat
Bung Karno pada 18 Agustus 1945 tersebut di atas. Rancangan UUD baru ataupun
sekadar amandemen yang dimaksud hendaknya benar-benar sebagai turunan dari
Pancasila, bukan nilai-lain lain yang dicap Pancasila.
Untuk itu, haruslah disusun dan dibahas oleh para ahli di
bidangnya dan orang-orang independen. Dengan demikian, secara obyektif,
rasional bisa diuji secara keilmuan dan validitas kebenarannya telah terbukti
dalam afeksi di sejumlah negara. Sudah barang tentu kelak yang memutuskan
tetap saja lembaga negara yang berkompeten, yaitu MPR. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar