Kamis, 09 Maret 2017

Perhitungan Angka Kredit Dosen

Perhitungan Angka Kredit Dosen
Jozef Hehanussa  ;    Ketua Program Studi Doktor Teologi Universitas Kristen Duta Wacana; Alumnus Augustana Theologische Hochschule Neuendettelsau, Jerman
                                                        KOMPAS, 09 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Semua dosen mengetahui bahwa kenaikan jabatan fungsional atau pangkat akademik sangat ditentukan oleh jumlah angka kredit. Besaran angka kredit ini sangat ditentukan oleh nilai dari tim penilai angka kredit yang ditunjuk Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristek dan Dikti).

Hal itu telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2013 Pasal 15-20. Petunjuk teknis terkait tim penilai diatur Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2014, khususnya Pasal 5.

Sampai jenjang lektor tampaknya pengurusan pangkat akademik belum terlalu rumit. Kerumitan baru terasa ketika mengurus kenaikan pangkat ke jenjang lektor kepala atau profesor.

Standar dan kriteria

Keluhan para dosen adalah kriteria penilaian yang berubah-ubah. Akibatnya, pengajuan penilaian sering tertunda karena munculnya ketentuan baru yang harus dipenuhi. Salah satunya adalah karya tulis yang dapat diakses secara daring. Kritik terhadap kriteria ini banyak berhubungan dengan persoalan hak cipta yang belum tentu diberikan oleh penerbit. Masalah lain adalah belum tentu semua penerbit, khususnya penerbit buku, membuka akses daring publikasinya. Yang juga dikhawatirkan adalah pemberian akses oleh penerbit bisa disalahgunakan mereka yang tidak bertanggung jawab.

Para dosen juga sering kesulitan dengan kriteria jurnal internasional bereputasi dengan standar Scopus. Deddy Mulyana dan Terry Mart telah melihat kriteria ini sebagai momok bagi para dosen (Kompas, 21/2, "Hantu 'Scopus'" serta Kompas, 28/2, "Scopus, ISI-Thomson, dan Predator"). Menjadikan Scopus sebagai standar berarti mengabaikan jurnal-jurnal lain yang bereputasi.

Dalam ilmu teologi banyak jurnal teologi bereputasi di bawah American Theological Library Association (ATLA), tetapi tidak masuk dalam Scopus. Ada juga jurnal-jurnal teologi bereputasi di wilayah dunia ketiga yang tidak terindeks Scopus.

Kritik lain berhubungan dengan minimnya jurnal terakreditasi nasional untuk bidang-bidang ilmu tertentu. Sebagai contoh, ilmu teologi Protestan dan Katolik saat ini hanya memiliki satu jurnal terakreditasi nasional, yaitu Diskursus. Jurnal ini diterbitkan STF Driyarkara Jakarta dan akan berakhir status terakreditasinya pada Juli 2017.

Jurnal Ledalero dari STFK Ledalero Flores tidak lagi diperpanjang akreditasinya. Beberapa jurnal teologi lain mengalami hambatan untuk diakreditasi karena berbagai kriteria akreditas yang (mendadak) baru. Dampaknya adalah sulit bagi dosen-dosen teologi untuk memublikasikan karya tulisnya pada jurnal terakreditasi nasional.

Obyektivitas penilaian

Obyektivitas dan akuntabilitas penilaian diatur dalam Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Pangkat/Jabatan Akademik Dosen yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal pada 2014. Meski demikian, ketiadaan alat ukur tetap menyisakan pertanyaan mengenai obyektivitas penilaian.

Sekalipun ada keniscayaan, subyektivitas penilai sangat menentukan nilai. Pemikiran ini berdasarkan pengalaman mengikuti beberapa pertemuan yang membahas penilaian angka kredit, di mana pembicaranya adalah para profesor dan anggota tim penilai angka kredit di tingkat pusat.

Karya yang penilaiannya bersifat relatif bisa dinilai berbeda. Misal, buku referensi yang bernilai 40 bisa dinilai 20 oleh anggota tim penilai, tapi bisa juga 30 oleh anggota lain. Unsur lain yang memengaruhi adalah bidang ilmu penilai belum tentu sama persis dengan dosen yang sedang dinilai hasil karyanya.

Kriteria dapat diakses daring sebenarnya merupakan upaya Kemristek dan Dikti mengatasi plagiarisme dan karya palsu yang sering muncul dalam pengurusan jabatan akademik. Namun, kriteria ini kadang menimbulkan pertanyaan dan kesannya penilai lebih percaya pada data daring ketimbang bukti fisik.

Sebagai contoh, seorang anggota tim penilai dari pusat menyimulasi pengecekan ISBN buku di laman http://isbn.perpusnas.go.id/. Saat itu, melalui penelusuran ISBN, informasi suatu buku dari penerbit bereputasi tidak ditemukan. Namun, melalui nama pengarang, informasi buku muncul di laman Perpusnas. Menurut informasi, penilaian akan didasarkan pada penelusuran ISBN, bukan nama. Karena itu, buku tersebut tidak akan dinilai dan dikembalikan kepada dosen untuk diselesaikan masalahnya. Dia menolak kemungkinan kesalahan memasukkan ISBN oleh penyedia data. Penyedia data daring selalu dianggap benar.

Ada juga masalah lain berkaitan dengan subyektivitas penilai dalam menentukan apakah sebuah tulisan berbentuk laporan saja, atau kesimpulan atas fenomena, atau perbedaan-perbedaan pemikiran. Penilaian ini bahkan bisa diberikan hanya dengan membaca abstrak. Ini memperlihatkan bahwa tanpa alat ukur yang jelas penilaian besaran nilai dari sebuah karya dosen sangat ditentukan oleh subyektivitas penilai, bukan berdasarkan kriteria obyektif.

Dalam kenyataan seperti ini, dosen sering tidak bisa berbuat banyak menanggapi penilaian yang diberikan atau usulan penilaian yang dikembalikan. Pelajaran positif dari ketidakniscayaan ini adalah dosen diminta terus mendidik, meneliti, dan menghasilkan tulisan-tulisan tanpa beban kapan akan dinilai atau berapa besar nilainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar