Perhitungan
Angka Kredit Dosen
Jozef Hehanussa ;
Ketua
Program Studi Doktor Teologi Universitas Kristen Duta Wacana; Alumnus
Augustana Theologische Hochschule Neuendettelsau, Jerman
|
KOMPAS, 09 Maret 2017
Semua dosen mengetahui bahwa kenaikan jabatan fungsional
atau pangkat akademik sangat ditentukan oleh jumlah angka kredit. Besaran
angka kredit ini sangat ditentukan oleh nilai dari tim penilai angka kredit
yang ditunjuk Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristek
dan Dikti).
Hal itu telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
2013 Pasal 15-20. Petunjuk teknis terkait tim penilai diatur Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2014,
khususnya Pasal 5.
Sampai jenjang lektor tampaknya pengurusan pangkat
akademik belum terlalu rumit. Kerumitan baru terasa ketika mengurus kenaikan
pangkat ke jenjang lektor kepala atau profesor.
Standar dan kriteria
Keluhan para dosen adalah kriteria penilaian yang
berubah-ubah. Akibatnya, pengajuan penilaian sering tertunda karena munculnya
ketentuan baru yang harus dipenuhi. Salah satunya adalah karya tulis yang
dapat diakses secara daring. Kritik terhadap kriteria ini banyak berhubungan
dengan persoalan hak cipta yang belum tentu diberikan oleh penerbit. Masalah
lain adalah belum tentu semua penerbit, khususnya penerbit buku, membuka
akses daring publikasinya. Yang juga dikhawatirkan adalah pemberian akses
oleh penerbit bisa disalahgunakan mereka yang tidak bertanggung jawab.
Para dosen juga sering kesulitan dengan kriteria jurnal
internasional bereputasi dengan standar Scopus. Deddy Mulyana dan Terry Mart
telah melihat kriteria ini sebagai momok bagi para dosen (Kompas, 21/2,
"Hantu 'Scopus'" serta Kompas, 28/2, "Scopus, ISI-Thomson, dan
Predator"). Menjadikan Scopus sebagai standar berarti mengabaikan
jurnal-jurnal lain yang bereputasi.
Dalam ilmu teologi banyak jurnal teologi bereputasi di
bawah American Theological Library Association (ATLA), tetapi tidak masuk
dalam Scopus. Ada juga jurnal-jurnal teologi bereputasi di wilayah dunia
ketiga yang tidak terindeks Scopus.
Kritik lain berhubungan dengan minimnya jurnal
terakreditasi nasional untuk bidang-bidang ilmu tertentu. Sebagai contoh,
ilmu teologi Protestan dan Katolik saat ini hanya memiliki satu jurnal
terakreditasi nasional, yaitu Diskursus. Jurnal ini diterbitkan STF
Driyarkara Jakarta dan akan berakhir status terakreditasinya pada Juli 2017.
Jurnal Ledalero dari STFK Ledalero Flores tidak lagi
diperpanjang akreditasinya. Beberapa jurnal teologi lain mengalami hambatan
untuk diakreditasi karena berbagai kriteria akreditas yang (mendadak) baru.
Dampaknya adalah sulit bagi dosen-dosen teologi untuk memublikasikan karya
tulisnya pada jurnal terakreditasi nasional.
Obyektivitas penilaian
Obyektivitas dan akuntabilitas penilaian diatur dalam
Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Pangkat/Jabatan Akademik
Dosen yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal pada 2014. Meski demikian,
ketiadaan alat ukur tetap menyisakan pertanyaan mengenai obyektivitas
penilaian.
Sekalipun ada keniscayaan, subyektivitas penilai sangat
menentukan nilai. Pemikiran ini berdasarkan pengalaman mengikuti beberapa
pertemuan yang membahas penilaian angka kredit, di mana pembicaranya adalah
para profesor dan anggota tim penilai angka kredit di tingkat pusat.
Karya yang penilaiannya bersifat relatif bisa dinilai
berbeda. Misal, buku referensi yang bernilai 40 bisa dinilai 20 oleh anggota
tim penilai, tapi bisa juga 30 oleh anggota lain. Unsur lain yang memengaruhi
adalah bidang ilmu penilai belum tentu sama persis dengan dosen yang sedang
dinilai hasil karyanya.
Kriteria dapat diakses daring sebenarnya merupakan upaya
Kemristek dan Dikti mengatasi plagiarisme dan karya palsu yang sering muncul
dalam pengurusan jabatan akademik. Namun, kriteria ini kadang menimbulkan
pertanyaan dan kesannya penilai lebih percaya pada data daring ketimbang
bukti fisik.
Sebagai contoh, seorang anggota tim penilai dari pusat
menyimulasi pengecekan ISBN buku di laman http://isbn.perpusnas.go.id/. Saat
itu, melalui penelusuran ISBN, informasi suatu buku dari penerbit bereputasi
tidak ditemukan. Namun, melalui nama pengarang, informasi buku muncul di laman
Perpusnas. Menurut informasi, penilaian akan didasarkan pada penelusuran
ISBN, bukan nama. Karena itu, buku tersebut tidak akan dinilai dan
dikembalikan kepada dosen untuk diselesaikan masalahnya. Dia menolak
kemungkinan kesalahan memasukkan ISBN oleh penyedia data. Penyedia data
daring selalu dianggap benar.
Ada juga masalah lain berkaitan dengan subyektivitas
penilai dalam menentukan apakah sebuah tulisan berbentuk laporan saja, atau
kesimpulan atas fenomena, atau perbedaan-perbedaan pemikiran. Penilaian ini
bahkan bisa diberikan hanya dengan membaca abstrak. Ini memperlihatkan bahwa
tanpa alat ukur yang jelas penilaian besaran nilai dari sebuah karya dosen
sangat ditentukan oleh subyektivitas penilai, bukan berdasarkan kriteria
obyektif.
Dalam kenyataan seperti ini, dosen sering tidak bisa
berbuat banyak menanggapi penilaian yang diberikan atau usulan penilaian yang
dikembalikan. Pelajaran positif dari ketidakniscayaan ini adalah dosen
diminta terus mendidik, meneliti, dan menghasilkan tulisan-tulisan tanpa
beban kapan akan dinilai atau berapa besar nilainya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar