Mitos
Deradikalisasi
Said Aqil Siroj ;
Ketua
Umum PBNU
|
KOMPAS, 08 Maret 2017
Deradikalisasi saat ini terus digencarkan dalam rangka
meluruskan paham radikal yang bisa memantik aksi terorisme. Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme menjadi ”agen tunggal” untuk tugas terapi terhadap
mereka yang terjangkiti virus radikalisme.
Tentu ini sebuah ikhtiar mulia untuk menanggulangi
terorisme yang setiap saat bisa mengoyak kenyamanan NKRI. Program
deradikalisasi sendiri yang dijalankan selama ini tampaknya hingga kini belum
jua beranjak, masih berputar-putar di sekitar metode dan kegiatan yang
cenderung monoton.
Ibarat penyembuhan penyakit, sesungguhnya banyak cara
dilakukan. Para ahli di bidangnya disiapkan untuk menangani seorang yang sedang
terkena penyakit terlebih yang sudah tahapan akut. Tidak cukup hanya satu
cara atau ahli yang siaga karena penyakit bisa saja berkembang hingga
menyerang bagian tubuh lainnya.
Seperti halnya namanya ”penyakit teroris” sifatnya tidak
serta-merta mudah hilang, tapi bisa ”kambuh” sewaktu-waktu. Sekali terpapar
”virus radikal” ini, maka harus dilakukan tindakan terapi yang benar-benar
serius. Penanganannya harus melalui metode yang sistemis dan holistik.
Menyingkap mitos
Munculnya radikalisme dan terorisme itu bukan bersifat
tunggal, melainkan multifaktor. Kalau dipilah, ada faktor internal dan faktor
eksternal. Setiap faktor bisa berdiri sendiri dan bisa juga saling terkait.
Dalam nomenklatur fikih ada disebutkan al’illah muttaridah,sebab itu pasti
terjadi. Adanya sebab dan akibat mesti terpenuhi secara bersamaan sehingga
jika sebab ada maka akibat pun ada.
Beranjak dari sinilah, kita bisa menatapi bahwa sebab
musabab yang menjadikan orang terjerat dan terpikat terorisme kian jelas. Tak
ada yang berangkat dari ruang hampa. Dunia sosial kita sudah dipenuhi
berbagai daya jerat dan daya pikat yang kerap membuat kabur kebenaran.
Bagaimana kita memahami perilaku seseorang yang tadinya
mbeling, setelah taat menjalankan ritual agama, mendadak berubah sikap
menjadi radikal dan lalu menindaki teror? Kita bisa ambil contoh, pelaku
perampokan Bank CIMB di Medan beberapa tahun silam yang didasari motif
terorisme (fa’i) ternyata banyak yang awalnya berlatar belakang preman.
Setelah bertemu dengan seorang ”ustaz”, mendadak mereka
jadi orang yang taat beragama. Celakanya, mereka ini kemudian mendapatkan
”pelajaran” yang kebablasan melalui pengajaran doktrin radikal. Seperti juga
dalam kasus terorisme lewat menabrakkan truk di kerumunan massa di Perancis
beberapa waktu lalu, juga memperlihatkan pelaku yang ”mendadak sadar agama”
akibat daya pikat Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Dua sampling ini setidaknya merefleksikan dan
merepresentasikan bersemayamnya sebab-sebab meluapnya radikalisme dan
terorisme. Ada faktor penarik (pull factor) dan faktor pendorong (push
factor).Hal-hal inilah yang hingga kini menjadi kajian para pakar dan
pemerhati terorisme.
Kajian ini lebih difokuskan pada psikologi yang merupakan
disiplin keilmuan paling ”laris”, termasuk dalam mengkaji terorisme. Hingga
kemudian, salah satunya menetaskan metode ”rehabilitasi” dalam upaya
pemulihan terhadap napi dan mantanteroris. BNPT juga menerapkan metode
psikologis ini dalam setiap kegiatannya dan menjadikannya sebagai bagian dari
cetak biru deradikalisasi.
Psikologi berperan untuk menyusun parameter dalam rangka
mencermati fluktuasi tingkat keradikalan dari napi atau mantan napi
terorisme. Kemudian setelah ”lolos” dari monitoring psikologi ini, para napi
terorisme khususnya bisa diambil kebijakan untuk mempersiapkan resosialisasi
dan reintegrasi mereka di masyarakat.
Disiplin keilmuan lainnya adalah bidang keagamaan.
Deradikalisasi melalui keagamaan ini dilakukan misalnya dengan menebarkan
buku-buku kontra narasi yang berisikan dalil-dalil keagamaan untuk meluruskan
kesalahan teroris memahami ajaran agama. Begitu juga dengan mendatangkan para
mantan jihadis yang sudah tobat untuk berdialog dengan napi atau mantan
teroris.
Kajian tafsir Al Quran dan hadis menjadi dua disiplin
keilmuan agama yang utama untuk melabrak pemahaman sesat teroris. Para
teroris yang hampir semuanya berpaham puritan dan literalis dihadapi dengan
cara menggali kembali tafsir dan hadis secara komprehensif dan kontekstual
sehingga menghasilkan pemahaman yang sebenarnya dari maksud danpesan Al Quran
dan hadis.
Nah, model program deradikalisasi yang seperti ini
tampaknya telah menjadi ”mitos” yang dipercayai mujarab. Sebagai sebuah
mitos, tentu tingkat kepercayaan yang dihunjamkannya begitu mengental dan
semakin mengkristal seakan tidak ada lagi metode yang manjur untuk dilakukan.
Akibatnya, tidak ada terobosan baru dalam metodologi untuk deradikalisasi.
Deradikalisasi telah terjebak dalam scientism yang dalam
dunia keilmuan merupakan pandangan ”radikal” karena hanya mengakui cara
pandang yang diyakini sebagai kebenaran tunggal. Padahal, scientism sudah
mendapatkan kritisisme yang sangat tajam dari para ilmuwan belakangan dan
dianggap sebagai ”mitos” yang membuat cara pandang tidak lagi obyektif.
Kemanfaatannya pun kerap kontra terhadap kebutuhan yang substansial.
Perlu diingatkan kembali bahwa deradikalisasi merupakan
program inti (core business) dalam penanggulangan terorisme yang dimandatkan
kepada BNPT. Pelaksanaannya sudah pasti memerlukan tingkat efektivitas yang
mumpuni.
Kasus aksi teror Thamrin beberapa waktu lalu menjadi
pelajaran bagaimana sosok pelaku, yaitu Sunakim, yang ”gagal” mendapatkan
deradikalisasi semasa di penjara dan justru lebih terpikat pada
”radikalisasi” yang diajarkan para ideolog radikal seperti Aman Abdurrahman.
Peremajaan
Program deradikalisasi butuh terobosan baru sehingga tidak
”berjalan di tempat”. Deradikalisasi bukan proses yang monoton, melainkan
bersifat dinamis. Kuncinya, para pengampu kebijakan deradikalisasi perlu
sikap terbuka, siap menerima masukan serta pikiran yang genial dan kreatif
demi progresivitas yang lebih baik. Ada dua hal yang perlu dalam peremajaan
terhadap deradikalisasi.
Pertama, deradikalisasi perlu pendekatan yang lebih
variatif, tidak parsial dan tidak hanya kuantitatif, tetapi juga lebih
mengedepankan pendekatan kualitatif. Dalam hal ini usulan untuk memanfaatkan
disiplin ilmu sastra. Ideolog radikal tidak sedikit yang fasih dalam
bersastra. Misalnya Sayyid Quthub yang banyak menghasilkan novel dan karya
sastra lainnya. Khairul Ghazali, mantan napi teroris di negeri kita, saat
masih berada di penjara berhasil menelurkan karya novel.
Ini bisa menjadi pembelajaran terhadap napi teroris
khususnya untuk dilatih berolah sastra. Pendekatan sastra untuk
deradikalisasi bisa melembutkan hati napi teroris.
Kedua, perlu dibentuk tim pendampingan. Tim ini bertugas
secara khusus menjalin hubungan secara intensif dengan mantan teroris. Tim
ini lebih baik banyak diambil dari peneliti di luar BNPT. Tim ini dibekali
dengan ”rapor” yang bisa digunakan untuk menilai perubahan mereka hingga bisa
melihat tingkat moderasi.
Pemilihan tim ini perlu menekankan pada kemampuan
individual dalam komunikasi yang supel dan lincah. Mendekati para mantan
teroris perlu soul approach, penjiwaan yang baik, dan mengedepankan
kemanusiaan tidak sekadar soft approach, cara lunak. Ada fakta selama ini,
para mantan teroris ada yang tidak mau bertemu dengan utusan BNPT. Ternyata
hal ini bukan semata anggapan mereka bahwa BNPT itu thoghut, melainkan
disebabkan utusan BNPT yang tidak ”terampil” akibat kurangnya ”rasa
penjiwaan”.
Walhasil, peremajaan deradikalisasi sesungguhnya merupakan
wujud ”membumikan deradikalisasi” yang hasilnya akan bermanfaat bagi
Indonesia yang lebih damai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar