Pembenaran
tentang
Negosiasi
Baru Kehadiran PT Freeport
FX Adji Samekto ;
Guru
Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
|
DETIKNEWS, 27 Februari 2017
CEO Freeport McMoran Inc Richard Adkerson berencana akan
menempuh jalur arbitrase dalam kasus PT Freeport Indonesia bila tidak ada
kata sepakat dengan Pemerintah Indonesia. Sebagaimana diketahui, arbitrase
ini akan ditempuh Freeport karena Pemerintah Indonesia telah menerbitkan
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 yang mengatur tentang kewajiban bagi
perusahaan pertambangan pemegang Kontrak Karya (KK) untuk mengubah status
kontraknya menjadi IUPK (Ijin Usaha Penambangan Khusus). Tanpa ini pemegang
IUPK dilarang mengekspor konsentrat.
Aspek Yuridis
Dalam perspektif hukum internasional, negara bisa
bertindak sebagai badan publik (iure emperii) yang pembenarannya didasarkan
bahwa tugas utama negara adalah untuk menciptakan kesejahteraan dan keamanan
(to create prospherity and security). Perwujudannya antara lain adalah penerbitan
peraturan perundang-undangan termasuk perizinan. Jadi penerbitan Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 di atas, dikategorikan sebagai tindakan negara
dalam bidang publik. Dilakukan untuk melindungi keselamatan bangsa.
Negara, di samping bertindak sebagai badan publik juga
bisa bertindak sebagai badan privat (iure gestiones). Dalam kedudukannya
sebagai badan privat, negara bisa melakukan kegiatan enterprising melalui
kerjasama. Kegiatan penambangan Freeport di Papua termasuk dalam kategori
ini.
Kerja sama dilandaskan pada Kontrak Karya, sebuah
perjanjian yang bersifat kontraktual yang menempatkan para pihak (dalam hal
ini Pemerintah RI dengan Freeport McMoran) dalam posisi sejajar. Implikasinya
apabila salah satu pihak merasa ada pelanggaran kesepakatan maka dia bisa
mengajukan kasus itu melalui arbitrase sesuai dengan kesepakatan yang dibuat
dalam perjanjian kontrak.
Aspek Sosiologis
Apabila aspek yuridis berbicara tentang keharusan
keharusan yang dirancang sebelumnya, maka aspek sosiologis dalam tulisan ini
dikonsepsikan bersumber dari fakta yang terjadi di lapangan dari pelaksanaan
hukum. Nah, di sini titik kruisalnya. Ternyata dalam pelaksanaannya bagi
negara tidak ada penerimaan yang memadai, sehingga dirasakan kehadiran
Freeport tidak memberi pengaruh signifikan bagi kesejahteraan bangsa.
Dalam hal ini walaupun sudah ada keharusan-keharusan
yuridis yang sudah dirancang dalam kesepakatan, tetapi fakta-fakta yang
terkategori sebagai hal yang tidak terprediksikan sebelumnya (misalnya soal
kerusakan lingkungan atau tidak terpenuhinya penerimaan negara yang memadai)
sebenarnya bisa menjadi bahan pertimbangan untuk dilakukan negosiasi baru.
Dengan demikian dalam negosiasi-negosiasi baru tentang
kehadiran Freeport di Indonesia, fakta-fakta baru yang belum terprediksikan
ketika Kontrak Karya dibuat sebelumnya, bisa menjadi pembenaran kenapa
negosiasi baru harus dilakukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar