Rabu, 01 Maret 2017

Anomali Seleksi Hakim Konstitusi

Anomali Seleksi Hakim Konstitusi
Fajar Laksono Suroso ;  Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, Malang;  Peneliti Muda pada Pusat Penelitian dan Pengkajian  
Perkara Mahkamah Konstitusi
                                                 DETIKNEWS, 28 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Menyusul posisi lowong pasca Patrialis Akbar diberhentikan, Presiden membentuk panitia seleksi (pansel) calon hakim konstitusi. Pansel bertindak segera. Buktinya, pada Selasa, 21 Februari 2017, sudah terpampang iklan 'lowongan' hakim konstitusi di media cetak.

Banyak kalangan menilai model seleksi terbuka melalui ponsel itu paling ideal. Alasannya, model itulah yang dianggap paling memenuhi prasyarat transparansi dan partisipatif serta obyektif dan akuntabel sesuai amanat UU Mahkamah Konstitusi. Pengabaian atas syarat itu pasti berbuntut masalah. Terbukti, dipilihnya Patrialis Akbar beberapa tahun silam berbuah gugatan ke pengadilan karena diduga abai terhadap syarat itu.

Sekarang, benarkah yang memenuhi prasyarat itu hanya model pansel terbuka sebagaimana yang kembali akan dipraktikkan Presiden?
Anomali Seleksi Terbuka

Menyeleksi calon hakim konstitusi merupakan proses untuk menemukan dan memilih figur negarawan. Lebih tepatnya, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Terlepas dari arti istilah "negarawan", inilah pembeda utama jabatan hakim konstitusi dengan jabatan lain di republik ini. UUD 1945 tegas menyebutnya. Dalam untaian proses itu, sudah sepatutnya proses seleksinya pun lebih ditinggikan ketimbang pengisian jabatan lainnya.

Walau dipandang ideal, seleksi terbuka melalui pansel menunjukkan sejumlah anomali. Jika filosofinya hendak menemukan figur negarawan, aneh saat prosesnya diawali dengan membuka semacam iklan lowongan pekerjaan. Dari iklan itu, bisa ditebak prosesnya. Para calon diminta mendaftar, mengisi formulir, mengikuti sejumlah tes, dan wawancara terbuka. Jika itu yang kembali ditempuh, tak mengherankan kalau yang mendaftar sebagian besar adalah job seekers. Ini jelas mengurangi kewibawaan jabatan hakim konstitusi. Besar pula kemungkinan, orang-orang baik yang memenuhi syarat dan sangat diharapkan, justru enggan ikut ambil bagian. Sebab, prosesinya menggelikan.

Masih ingat dengan calon hakim konstitusi yang menjadi bahan olokan dalam sesi wawancara terbuka, karena tak hafal sila Pancasila. Sudah gagal, dipermalukan pula. Itulah antara lain anomalinya. Model seleksi itu levelnya tak sebanding dengan jabatan hakim konstitusi yang di dirinya bertengger mahkota kemuliaan. Maka dari itu, perlu dipikirkan model seleksi yang tidak cuma transparan dan partisipatif serta obyektif dan akuntabel, melainkan juga berwibawa dan bermartabat.

Model 'Head Hunting'

Seperti apa seleksi hakim konstitusi yang berwibawa dan bermartabat? Untuk itu, menarik dicermati praktik pencalonan Kapolri selama ini. Walaupun tak mensyaratkan negarawan, prosesnya justru lebih mencerminkan wibawa dan martabat, tanpa kehilangan elemen transparansi dan partisipatif.

Untuk menjaring calon, Kompolnas melacak dan menilai kriteria, profil, dan rekam jejak calon. Kriteria calon jelas, pangkat tertinggi serta sarat prestasi dan pengalaman. Hasil pelacakan itu diserahkan kepada Presiden.

Sebelum nama calon diserahkan ke DPR, nama calon Kapolri diumumkan ke publik. Presiden memberi pula background kenapa yang bersangkutan layak dicalonkan. Selanjutnya, menjelang hadir ke DPR untuk uji kelayakan dan kepatutan di DPR, ada konvensi menarik, DPR datang bersilaturahmi ke rumah calon Kapolri yang tersenyum didampingi keluarganya. Ini menunjukkan proses pencalonan yang berdimensi kekeluargaan, ramah, dan humanis.

Terakhir, pada saat fit and proper test, tak ada pertanyaan bernada 'mengetes'. Umumnya soal visi dan misi serta program dan target ketika kelak ia menjadi Kapolri.

Ironis betul jika untuk jabatan Kapolri bisa elegan sementara hakim konstitusi tidak. Keeleganan itu mestinya diadopsi dalam seleksi calon hakim konstitusi. Tidak persis tentunya.

Tiba masa ada kekosongan hakim konstitusi, Presiden membentuk pansel. Tugas pansel mencari figur calon terbaik dengan cara 'head hunting', bukan dengan membuka pendaftaran. Pansel pula yang melacak rekam jejak calon, menelaah setiap informasi yang mengilustrasikan lengkap profil para calon. Termasuk dengan meminta testimoni atau rekomendasi orang terpercaya atas calon itu. Ini merupakan bentuk fit and proper test juga.

Setelah menemukan figur terunggul dalam kriteria, pansel melapor kepada Presiden. Jika setuju, Presiden sendiri yang datang 'meminang', meminta kesediaan calon hakim konstitusi untuk dicalonkan. Bukankah dalam hal ini Presiden yang butuh, bukan sebaliknya? Siapa yang 'dipinang' Presiden, pasti telah dinilai sedemikian rupa.

Setelah ada kesediaan, disertai visi dan komitmen sebagai konsekuensi atas kesediannya itu, menjadi kewajiban Presiden untuk mempublikasikan nama calon hakim konstitusi itu. Tujuannya agar publik berpartisipasi memberikan masukan. Pada saat yang sama, Presiden memaparkan alasan yang membuat calon itu layak diajukan sebagai hakim konstitusi. Sesudah tak ada masalah, Keppres pengangkatan ditetapkan.

Bertolak dari uraian di atas, selain syarat transparan dan partisipatif serta obyektif dan akuntabel terpenuhi, adopsi model 'head hunting' diharapkan mampu mengatasi anomali model seleksi terbuka. Ada beberapa keunggulan.

Pertama, prosesnya sederhana dan singkat, namun lebih berwibawa karena jauh dari kesan job seekers. Kedua, martabat semua pihak, khususnya calon hakim konstitusi terjaga. Ketiga, leluasa menemukan figur yang memenuhi kriteria, karena tak dibatasi jumlah orang yang mendaftar. Keempat, memastikan jabatan hakim konstitusi diraih karena mandat kepercayaan.

Itu akan berimbas positif saat kelak menjadi hakim konstitusi. Lebih amanah dibanding orang yang bernafsu mengejar jabatan itu. Melalui model 'head hunting' itu, seperti kata Martin Heidebach (2013), proses seleksi hakim konstitusi akan menemukan figur yang bukan sekedar judge, melainkan justice.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar