Anomali
Seleksi Hakim Konstitusi
Fajar Laksono Suroso ;
Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, Malang; Peneliti Muda pada Pusat Penelitian dan
Pengkajian
Perkara Mahkamah Konstitusi
|
DETIKNEWS, 28 Februari 2017
Menyusul posisi lowong pasca Patrialis Akbar
diberhentikan, Presiden membentuk panitia seleksi (pansel) calon hakim
konstitusi. Pansel bertindak segera. Buktinya, pada Selasa, 21 Februari 2017,
sudah terpampang iklan 'lowongan' hakim konstitusi di media cetak.
Banyak kalangan menilai model seleksi terbuka melalui
ponsel itu paling ideal. Alasannya, model itulah yang dianggap paling
memenuhi prasyarat transparansi dan partisipatif serta obyektif dan akuntabel
sesuai amanat UU Mahkamah Konstitusi. Pengabaian atas syarat itu pasti
berbuntut masalah. Terbukti, dipilihnya Patrialis Akbar beberapa tahun silam
berbuah gugatan ke pengadilan karena diduga abai terhadap syarat itu.
Sekarang, benarkah yang memenuhi prasyarat itu hanya model
pansel terbuka sebagaimana yang kembali akan dipraktikkan Presiden?
Anomali Seleksi Terbuka
Menyeleksi calon hakim konstitusi merupakan proses untuk
menemukan dan memilih figur negarawan. Lebih tepatnya, negarawan yang
menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Terlepas dari arti istilah
"negarawan", inilah pembeda utama jabatan hakim konstitusi dengan
jabatan lain di republik ini. UUD 1945 tegas menyebutnya. Dalam untaian
proses itu, sudah sepatutnya proses seleksinya pun lebih ditinggikan
ketimbang pengisian jabatan lainnya.
Walau dipandang ideal, seleksi terbuka melalui pansel
menunjukkan sejumlah anomali. Jika filosofinya hendak menemukan figur
negarawan, aneh saat prosesnya diawali dengan membuka semacam iklan lowongan
pekerjaan. Dari iklan itu, bisa ditebak prosesnya. Para calon diminta
mendaftar, mengisi formulir, mengikuti sejumlah tes, dan wawancara terbuka.
Jika itu yang kembali ditempuh, tak mengherankan kalau yang mendaftar
sebagian besar adalah job seekers. Ini jelas mengurangi kewibawaan jabatan
hakim konstitusi. Besar pula kemungkinan, orang-orang baik yang memenuhi
syarat dan sangat diharapkan, justru enggan ikut ambil bagian. Sebab,
prosesinya menggelikan.
Masih ingat dengan calon hakim konstitusi yang menjadi
bahan olokan dalam sesi wawancara terbuka, karena tak hafal sila Pancasila.
Sudah gagal, dipermalukan pula. Itulah antara lain anomalinya. Model seleksi
itu levelnya tak sebanding dengan jabatan hakim konstitusi yang di dirinya
bertengger mahkota kemuliaan. Maka dari itu, perlu dipikirkan model seleksi
yang tidak cuma transparan dan partisipatif serta obyektif dan akuntabel, melainkan
juga berwibawa dan bermartabat.
Model 'Head Hunting'
Seperti apa seleksi hakim konstitusi yang berwibawa dan
bermartabat? Untuk itu, menarik dicermati praktik pencalonan Kapolri selama
ini. Walaupun tak mensyaratkan negarawan, prosesnya justru lebih mencerminkan
wibawa dan martabat, tanpa kehilangan elemen transparansi dan partisipatif.
Untuk menjaring calon, Kompolnas melacak dan menilai
kriteria, profil, dan rekam jejak calon. Kriteria calon jelas, pangkat
tertinggi serta sarat prestasi dan pengalaman. Hasil pelacakan itu diserahkan
kepada Presiden.
Sebelum nama calon diserahkan ke DPR, nama calon Kapolri
diumumkan ke publik. Presiden memberi pula background kenapa yang
bersangkutan layak dicalonkan. Selanjutnya, menjelang hadir ke DPR untuk uji
kelayakan dan kepatutan di DPR, ada konvensi menarik, DPR datang
bersilaturahmi ke rumah calon Kapolri yang tersenyum didampingi keluarganya.
Ini menunjukkan proses pencalonan yang berdimensi kekeluargaan, ramah, dan
humanis.
Terakhir, pada saat fit and proper test, tak ada
pertanyaan bernada 'mengetes'. Umumnya soal visi dan misi serta program dan
target ketika kelak ia menjadi Kapolri.
Ironis betul jika untuk jabatan Kapolri bisa elegan
sementara hakim konstitusi tidak. Keeleganan itu mestinya diadopsi dalam
seleksi calon hakim konstitusi. Tidak persis tentunya.
Tiba masa ada kekosongan hakim konstitusi, Presiden
membentuk pansel. Tugas pansel mencari figur calon terbaik dengan cara 'head
hunting', bukan dengan membuka pendaftaran. Pansel pula yang melacak rekam
jejak calon, menelaah setiap informasi yang mengilustrasikan lengkap profil
para calon. Termasuk dengan meminta testimoni atau rekomendasi orang
terpercaya atas calon itu. Ini merupakan bentuk fit and proper test juga.
Setelah menemukan figur terunggul dalam kriteria, pansel
melapor kepada Presiden. Jika setuju, Presiden sendiri yang datang
'meminang', meminta kesediaan calon hakim konstitusi untuk dicalonkan.
Bukankah dalam hal ini Presiden yang butuh, bukan sebaliknya? Siapa yang
'dipinang' Presiden, pasti telah dinilai sedemikian rupa.
Setelah ada kesediaan, disertai visi dan komitmen sebagai
konsekuensi atas kesediannya itu, menjadi kewajiban Presiden untuk
mempublikasikan nama calon hakim konstitusi itu. Tujuannya agar publik
berpartisipasi memberikan masukan. Pada saat yang sama, Presiden memaparkan
alasan yang membuat calon itu layak diajukan sebagai hakim konstitusi.
Sesudah tak ada masalah, Keppres pengangkatan ditetapkan.
Bertolak dari uraian di atas, selain syarat transparan dan
partisipatif serta obyektif dan akuntabel terpenuhi, adopsi model 'head
hunting' diharapkan mampu mengatasi anomali model seleksi terbuka. Ada
beberapa keunggulan.
Pertama, prosesnya sederhana dan singkat, namun lebih
berwibawa karena jauh dari kesan job seekers. Kedua, martabat semua pihak,
khususnya calon hakim konstitusi terjaga. Ketiga, leluasa menemukan figur
yang memenuhi kriteria, karena tak dibatasi jumlah orang yang mendaftar.
Keempat, memastikan jabatan hakim konstitusi diraih karena mandat
kepercayaan.
Itu akan berimbas positif saat kelak menjadi hakim
konstitusi. Lebih amanah dibanding orang yang bernafsu mengejar jabatan itu.
Melalui model 'head hunting' itu, seperti kata Martin Heidebach (2013),
proses seleksi hakim konstitusi akan menemukan figur yang bukan sekedar
judge, melainkan justice. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar