Misi
Raja Salman di Indonesia
Smith Alhadar ;
Penasihat
Indonesian Society for Middle East Studies
|
TEMPO.CO, 01 Maret 2017
Kedatangan Raja Salman bin Abdul Aziz al-Saud dari
Kerajaan Arab Saudi bersama rombongan ke Indonesia cukup spektakuler. Ia
didampingi 1.500 delegasi, termasuk 10 menteri dan 25 pangeran, yang dibawa
tujuh pesawat Boeing berbadan lebar plus satu helikopter. Padahal, saat ke
Amerika Serikat-negara adidaya dan sekutu terpenting Saudi-pada 2015, dia hanya didampingi ratusan delegasi yang
diangkut empat pesawat. Kunjungan kenegaraan di Jakarta dan Bogor akan
dilakukan beliau selama tiga hari (1-3 Maret). Enam hari berikutnya, ia
bersama rombongan akan berlibur di Bali.
Misi terpenting Saudi di Indonesia adalah peningkatan
kerja sama di bidang ekonomi. Ini berbeda dengan hubungan tradisional
Saudi-Indonesia selama ini, yang hanya berkisar pada masalah haji, tenaga
kerja wanita, keagamaan, pendidikan, dan bantuan sosial. Perubahan kebijakan
Saudi ini tak lepas dari dua hal. Pertama, sejak 2015, Saudi mencanangkan
transformasi ekonomi, dari ekonomi berbasis minyak menjadi ekonomi yang lebih
terdiversifikasi-dikenal sebagai Visi Saudi 2030. Ini dilakukan setelah
anjloknya harga minyak dunia sejak 2014, yang memukul perekonomian Saudi.
Saudi mengalami defisit sebesar US$ 89 miliar tahun lalu. Toh, 80 persen
pendapatan negeri gurun itu berasal dari ekspor minyak dan 75 persen APBN-nya
disumbang oleh pendapatan dari sektor minyak.
Maka, untuk merealisasikan Visi Saudi 2030, diperlukan
investasi besar-besaran di bidang infrastruktur, perumahan, pendidikan,
energi, pariwisata, perbankan, dan haji, baik di dalam maupun luar negeri.
Indonesia, dengan penduduk besar dan ekonomi yang terus tumbuh, menjadi
sasaran investasi Saudi.
Memang, kalau melihat potensi ekonomi kedua negara,
keduanya anggota G-20, volume hubungan ekonomi mereka masih sangat jauh dari
memadai. Pada 2015, Indonesia hanya mengekspor US$ 2 miliar ke Saudi. Sangat
jauh dari total impor Saudi sebesar US$ 164 miliar pada tahun yang sama.
Bahkan, pada 2016, volume perdagangan Saudi-Indonesia merosot hingga 36
persen. Maka misi Raja Salman ke Indonesia ini adalah memaksimalkan kerja
sama ekonomi kedua negara ke level yang sesuai dengan kemampuan ekonomi
keduanya. Kabarnya, Saudi akan menanamkan dananya di Indonesia hingga US$ 25
miliar. Dengan ini, Raja Salman tidak hanya mendemonstrasikan
"kemegahan" negaranya, tapi juga menunjukkan kepercayaannya yang
besar pada ekonomi dan stabilitas politik Indonesia.
Kedua, naiknya Donald Trump, yang nasionalistis dan rasis,
sebagai Presiden Amerika Serikat menimbulkan kecemasan di dunia Islam,
termasuk Arab Saudi. Ketidakpastian bidang ekonomi juga muncul karena
pemerintah Trump lebih melihat ke dalam daripada ke luar. Lebih jauh,
teknologi perminyakan AS memungkinkan negara itu memproduksi lebih banyak
minyak di dalam negeri, yang akan menghilangkan ketergantungannya pada minyak
Saudi. Bahkan kemungkinan AS menjadi eksportir minyak menyaingi Saudi. Dalam
konteks inilah Saudi ingin mengalihkan ekspor minyaknya ke negara-negara
Asia, termasuk Indonesia, yang ekonominya sangat prospektif. Dari Indonesia,
Raja Salman dan rombongan akan ke Jepang dan Cina, yang bersama India
mengimpor 35 persen dari total ekspor minyak Saudi. Ke depan, Saudi berharap
negara-negara ini akan mengimpor lebih banyak minyaknya.
Isu politik juga menjadi agenda dalam pertemuan Raja
Salman dan Presiden Jokowi. Sejak kesepakatan nuklir yang dicapai Iran dengan
P5+1 (AS, Rusia, Cina, Inggris, Prancis, plus Jerman) pada Juli 2015, yang
membebaskan Iran dari sanksi ekonomi PBB, Saudi meningkatkan semua potensi
ekonomi dan politik untuk menghadapi Iran, yang dipandang Saudi menjalankan
politik sektarian. Itu terlihat dari dukungan Iran kepada komunitas-komunitas
Syiah di Irak, Suriah, Libanon, Yaman, Bahrain, dan Saudi sendiri. Saudi pun
berinisiatif membentuk Aliansi Militer Islam untuk Memerangi Terorisme, yang
kini telah beranggotakan 39 negara berpenduduk mayoritas muslim Sunni, tanpa
mengikutsertakan Iran dan negara berpenduduk mayoritas Syiah.
Kendati Saudi berdalih Aliansi Militer Islam bertujuan
memerangi ISIS di Irak, Suriah, Mesir, Afganistan, dan Libya, tak bisa
dipungkiri organisasi tersebut punya tujuan terselubung, yakni menghambat
politik regional Iran. Indonesia mendukung aliansi ini, tapi menolak
bergabung. Indonesia pun menolak ajakan Saudi untuk ikut serta dalam perang
melawan milisi Syiah, Houthi, dukungan Iran di Yaman yang dipimpin Saudi.
Dalam perang saudara Suriah, tempat Saudi dan Iran bertarung dengan sengit
untuk memperebutkan pengaruh, Indonesia pun bersikap netral.
Maka, bukan tidak mungkin lawatan Raja Salman ke Indonesia
merupakan bagian dari upaya Saudi mengisolasi Iran, yang belakangan makin
dekat dengan Indonesia. Kerja sama bidang keagamaan Indonesia-Saudi serta
pertemuan Raja Salman dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam juga
untuk membalas perkembangan Syiah, yang dikhawatirkan Saudi dijadikan
kendaraan politik oleh Iran untuk menanamkan pengaruhnya di Tanah Air. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar