Kinerja
dan Kultur Akademik Guru Besar
Rahma Sugihartati ; Dosen dan Ketua Prodi Ilmu Informasi dan
Perpustakaan FISIP Universitas
Airlangga
|
KORAN
SINDO, 01
Maret 2017
Keinginan Kementerian Ristek dan Dikti untuk segera
mendongkrak jumlah publikasi ilmiah di jurnal internasional dari kaum
intelektual di Tanah Air tampaknya masih harus menempuh jalan yang berliku.
Kendati telah dikeluarkan Peraturan Menristek dan Dikti Nomor
70/2017 yang mengancam para guru besar akan dihentikan tunjangan
kehormatannya bila tidak mampu menghasilkan artikel ilmiah di jurnal
internasional, kemungkinan implementasinya di lapangan niscaya tidaklah
semudah yang diharapkan.
Reaksi yang mempertanyakan dan bahkan menolak isi pasal
yang akan menghentikan tunjangan kehormatan guru besar jika tidak mampu
menghasilkan artikel di jurnal internasional itu kini marak dari berbagai
kalangan.
Perkumpulan Ahli dan Dosen Republik Indonesia (ADRI)
misalnya dengan tegas menolak isi pasal itu dan menyatakan bahwa
memberhentikan tunjangan kehormatan guru besar adalah melanggar undang-undang
jika alasannya hanya karena mereka tidak menulis artikel di jurnal
internasional.
Di media sosial sejumlah guru besar dan insan kampus juga
ramai memperbincangkan kebijakan menristek dan dikti yang akan memberikan
sanksi kepada guru besar yang mandul secara akademis. Pokok keberatan
sejumlah kalangan, selain berkaitan dengan pemberlakuan kebijakan yang
waktunya surut ke belakang dari tanggal ditetapkan, juga berkaitan dengan
peluang yang mungkin dikembangkan para guru besar untuk menghasilkan karya
ilmiah yang dapat menembus jurnal internasional bereputasi.
Menulis artikel ilmiah di jurnal internasional bagi kaum
intelektual memang sudah sepatutnya dilakukan karena itu ekspresi dari
kompetensi seseorang yang merupakan bagian dari kelompok intelektual—
terlebih mereka yang sudah menyandang status sebagai profesor.
Tetapi, apakah untuk mendorong peningkatan kinerja guru besar
akan lebih aktif menulis artikel di jurnal internasional bakal efektif jika
hanya mengandalkan pada kebijakan yang sifatnya punitif, yang menebar
ancaman, apalagi dengan ancaman bakal memberhentikan tunjangan kehormatan
guru besar yang seharusnya merupakan apresiasi terhadap kinerja
akademiksecara keseluruhan.
Alih-alih efektif, dengan penerbitan peraturan menteri
yang bakal menghentikan tunjangan kehormatan guru besar jika tidak mampu
menulis di jurnal internasional, kemungkinan yang terjadi justru sikap para
guru besar yang makin resisten karena merasa diperlakukan sebagai terdakwa
yang divonis bersalah—tanpa memeriksa terlebih dahulu apa akar permasalahan
yang menjadi penyebab para guru besar jarang menulis di jurnal internasional.
Di luar negeri para guru besar umumnya memang sudah tidak
asing dengan kewajiban untuk menulis di jurnal internasional. Di berbagai
perguruan tinggi yang sudah maju, para guru besar selalu meluangkan waktu
untuk menulis dan melahirkan artikel-artikel melalui jurnal internasional
yang bermutu karena kelangsungan kontrak kerja dan reputasi mereka di mata
mahasiswa serta kolega sedikit-banyak ditentukan oleh produktivitas dalam
menghasilkan karya ilmiah.
Di luar negeri nyaris tidak ada seorang guru besar yang
tidak memiliki karya ilmiah—entah dalam bentuk buku, artikel, hak paten, atau
yang lain. Di kawasan Asia saja, menurut data Scimagojr.com, dalam kurun
waktu 1996-2015 Indonesia dilaporkan hanya menduduki peringkat ke-11 dengan
jumlah artikel ilmiah sebanyak 39.719 dokumen.
Bandingkan misalnya dengan Singapura yang mampu
menghasilkan 215.553 dokumen ilmiah dan Malaysia yang mampu menghasilkan
sebanyak 181.251 dokumen ilmiah. Kenapa para guru besar di luar negeri
cenderung lebih produktif menghasilkan karya ilmiah dan sebaliknya, guru
besar di Indonesia cenderung lemot dalam menulis buku atau artikel di jurnal
internasional?
Pertama, lebih dari sekadar karena didukung tingkat gaji
atau kesejahteraan yang memadai atau layak, di luar negeri para guru besar
kebanyakan memang memiliki waktu yang cukup untuk menulis dan memiliki
kesempatan yang besar untuk melakukan penelitian yang bermutu.
Dukungan dana penelitian yang memadai adalah salah satu
kunci kenapa guru besar di luar negeri aktif meneliti dan menulis artikel di
jurnal internasional. Di luar negeri sudah lazim jika seorang guru besar
didukung dengan dana yang memadai untuk melakukan penelitian di sejumlah
negara, yang hasil akhirnya bisa ditulis dalam bentuk buku atau artikel di
jurnal internasional yang bereputasi.
Sementara itu, di Indonesia, jangankan melakukan
penelitian yang serius, untuk memperoleh dukungan dana penelitian dalam
kisaran Rp100 juta pun, para guru besar harus bersaing dengan sesama dosen
yang lain sehingga sebagian besar guru besar akhirnya lebih memilih tidak
mengajukan proposal penelitian karena risiko ditolak.
Keterbatasan dana penelitian dari Dikti menyebabkan jumlah
proposal dosen yang diterima setiap tahun cenderung menurun. Kedua, iklim
akademik yang berkembang di perguruan tinggi yang berkualitas adalah faktor
kunci yang menyebabkan kenapa guru besar di luar negeri rata-rata lebih
produktif menulis. Ini berbeda dengan kondisi pendidikan perguruan tinggi di
Indonesia.
Di Tanah Air sebagian besar guru besar umumnya lebih
banyak disibukkan dengan kegiatan birokratis karena menjadi pejabat di
lingkungan kampus, menjadi konsultan pemerintah daerah atau pemerintah pusat,
dan seringkali pula karena menjalani tugas fungsional sebagai asesor yang
setiap saat harus keliling Indonesia untuk melakukan visitasi dan
mengakreditasi perguruan tinggi yang tersebar di berbagai daerah.
Di beberapa perguruan tinggi terkenal memang sebagian
pimpinan kampus berusaha memfasilitasi agar guru besar dan dosen pada umumnya
mau menulis buku atau karya ilmiah lain—dengan diberi insentif yang lumayan
menggoda. Para dosen dan guru besar yang tertarik menulis karya ilmiah diberi
waktu cuti tidak mengajar selama satu semester dengan harapan dapat dengan
tenang menulis karya ilmiah yang bisa dibanggakan.
Sayangnya, perguruan tinggi yang mengembangkan kebijakan
semacam ini jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Sebagian guru besar pada
akhirnya merasa lebih nyaman menduduki jabatan struktural karena bukan tidak
mungkin tunjangan jabatan yang diperoleh lebih besar daripada tunjangan
kehormatan guru besar.
Ketiga, menulis artikel, menerjemahkan ke dalam bahasa
Inggris, dan kemudian mengirim ke jurnal internasional tanpa ada kepastian
apakah artikel mereka bakal dimuat atau tidak seringkali menjadi faktor yang
membuat para guru besar di Tanah Air enggan mencoba menulis. Sebagian karena
egonya yang tidak nyaman jika karya ilmiah yang dihasilkan tidak diterima
redaktur jurnal internasional yang mereka kirim, sebagian yang lain memang
karena tidak memiliki data penelitian yang layak untuk ditulis.
Sepanjang akar permasalahan yang membuat para guru besar
enggan atau tidak mampu menghasilkan karya ilmiah yang bermutu belum
tertangani, sepanjang itu pula ancaman sanksi dari pemerintah yang bakal
menghentikan tunjangan kehormatan guru besar jika tidak menulis di jurnal
internasional akan sia-sia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar