Rabu, 15 Maret 2017

Merindukan Politikus Pejuang

Merindukan Politikus Pejuang
Arif Susanto  ;   Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Indonesia;
Dosen Komunikasi Politik Paramadina
                                             MEDIA INDONESIA, 14 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PADA 14 Maret 1980, Mohammad Hatta wafat dan meninggalkan kekosongan tak terisi hingga kini. Di tengah krisis demokrasi, kita merindukan elan Hatta, yang dalam kegembiraannya terus-menerus mengupayakan perwujudan kebebasan dan kedaulatan rakyat. Kita membutuhkan politikus pejuang demi menghindari kebangkrutan politik agar negara tidak tunduk pada keserakahan.

“Wafatnya Bung Hatta dalam ketenangan mengubah massa menjadi hampa,” begitu Daniel Dhakidae (dalam Bagun, ed, 2003) menggambarkan kepergian sang proklamator untuk selamanya. Hatta, yang tidak besar lewat ingar-bingar dukungan massa, disebutnya meninggalkan kekosongan eksistensial di sanubari rakyat, tentu bersama negeri yang kian menjauh dari cita-cita kemerdekaan.

Kita mengenang Hatta dalam rangkaian perjuangan berkelanjutan untuk kebebasan dan kedaulat­an rakyat. Tempaan pengalaman menghadapi ketidakadilan yang bersenyawa dengan pemahaman akademis hasil pendidikan formal membentuk Hatta sebagai seorang intelektual sekaligus politikus pejuang. Bukan melalui penentangan membabi-buta, Hatta berjuang bersenjatakan ketajaman analisis.

Pembelaan Hatta pada 9 Maret 1928 di hadapan Pengadilan Den Haag, misalnya, ialah suatu tinjauan ekstensif tentang penjajahan sebagai perampasan kemerdekaan sebagai milik terbesar kemanusiaan. Bersama Perhimpunan Indonesia, alih-alih menghasut sebagaimana didakwakan, Hatta mengupayakan suatu pendidikan politik sebagai landasan perjuangan Indonesia merdeka.

Pendidikan politik merupakan bagian elementer pemikiran Hatta. Saat Soekarno dipenjara dan PNI dibubarkan, pada 1931 Hatta menggagas Pendidikan Nasional Indonesia yang berfokus pada kaderisasi. Hatta menghendaki pembangunan keinsafan politik sebagai penerang nalar dan pemantik tindakan sadar rakyat. Inilah jalan pemberdayaan agar rakyat mampu mengemban tanggung jawab demokratis.

Hatta sadar bahwa demokrasi tidak mungkin terwujud tanpa otonomi rakyat dan otonomi rakyat tidak mungkin terwujud tanpa kritisisme. Dalam pemahaman bahwa rakyat adalah jiwa bangsa, kehendak rakyat adalah acuan tindakan pemimpin. Karena itu, persoalan pokok pembangunan demokrasi ialah bagaimana memperkuat massa kritis yang cukup-diri untuk dapat mengembangkan partisipasi sosial.

Lebih lanjut, Hatta mempersyaratkan keadilan sebagai alas tegaknya kekuasaan. Dalam Demokrasi Kita (pertama kali terbit pada 1959), Hatta mengkritik keras mentalitas korup yang berpaham ‘golongan sendiri dikemukakan, masyarakat dilupakan’. Berlawanan dengan keadilan, mentalitas korup melemahkan kekuasaan negara, yang tergerus kapabilitas dan daya legitimasinya.

Diterangi prinsip ‘di atas segala lapangan Tanah Air aku hidup, aku gembira’, kita menemukan Hatta yang menikmati perjuangannya. Hatta gigih mengupayakan kegembiraan kolektif melalui kegotong­royongan yang menghidupi demokrasi. Suatu perjuangan yang tidak kunjung henti, saat penjajahan, semasa kemerdekaan, bahkan setelah beliau menarik diri dari hiruk pikuk kekuasaan.

Krisis demokrasi

Berselang 37 tahun, rasa hampa itu belum berganti bungah. Bukan karena kita tidak mengikhlaskan kepergian Hatta, melainkan karena tiada kunjung lahir generasi baru politikus pejuang serupa Hatta. Kita merindukan politikus pejuang, yang tidak kalap mengejar kemasyhuran dan gemerlap kekuasaan. Dalam sikap bijak dan adilnya, politikus pejuang terus-menerus mengupayakan kebaikan publik.

Ironis bahwa pada era pemilihan langsung kini banyak politikus populer, tetapi hanya sedikit politikus yang berkomitmen memperjuangkan kebaikan publik. Melampaui popularitas, legitimasi kekuasaan sesungguhnya membutuhkan solidaritas yang mempertautkan elite dan massa. Sayangnya, elite politik lebih sering memperkuat kekuasaan sendiri sembari memperlemah kemandirian massa.

Minus keinginan untuk memberdayakan, kekuasaan semacam itu telah berubah menjadi alat dominasi. Alih-alih kehendak rakyat menggerakkan tindakan pemimpin, hasrat dominasi pemimpin justru membajak dan membelokkan arah pengelolaan negara. Keutamaan diasingkan dari kekuasaan mereka, kepublikan pun terancam luruh oleh arus deras kesukacitaan personal para penguasa culas.

Setelah retorika kebaikan publik muncul sebagai pretensi janji-janji kampanye, kita menyaksikan parade penyalahgunaan kekuasaan. Pada Agustus 2016, KPK menyatakan 361 kepala daerah terlibat korupsi. Jumlah tersebut pasti telah bertambah dan menjadi berlipat jika kita masukkan korupsi di cabang-cabang kekuasaan lainnya. Keserakahan, seakan tidak terben­dung, menggerogoti demokrasi kita.

Demokrasi terancam karena banyak politikus menunggang prosedur elektoral justru demi pemenuhan angkara. Dengan kekuasaan di tangan, mereka menjarah negara dan menafikan keadaban publik. Hatta telah mencandra hal demikian sebagai ‘krisis demokrasi’, yaitu ketika demokrasi lupa syarat-syarat hidupnya, ketika para pemimpin politik menanggalkan tanggung jawab dan toleransi.

Berdekade lamanya kesempatan perubahan terbuang karena banyak politikus yang kita pilih ternyata lebih ahli untuk mengubur kepercayaan jika dibandingkan dengan melahirkan harapan. Kini, prosedur elektoral perlu dikembalikan esensinya sebagai suatu permusyawaratan; di dalamnya publik kritis mengembangkan konsensus berdasarkan alternatif cerdas kebijakan yang ditawarkan para kandidat.

Hatta menganjurkan ‘demokrasi harus dijalankan dengan perbuat­an yang berdasarkan kebenaran, keadilan, kejujuran, kebaikan, persaudaraan, dan perikemanusiaan’. Serentetan nilai yang menuntut keteguhan komitmen bersama pada kedaulatan rakyat. Sebaliknya, ada pertaruhan besar bahwa jika demokrasi gagal, negara ini terancam bangkrut tunduk pada keangkaraan bandit-bandit politik.

Keteladanan Hatta mestinya memberi inspirasi perbaikan agar krisis demokrasi segera pergi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar