Merindukan
Politikus Pejuang
Arif Susanto ; Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
(PSIK) Indonesia;
Dosen Komunikasi Politik
Paramadina
|
MEDIA
INDONESIA, 14 Maret 2017
PADA 14 Maret 1980, Mohammad Hatta wafat dan meninggalkan kekosongan
tak terisi hingga kini. Di tengah krisis demokrasi, kita merindukan elan
Hatta, yang dalam kegembiraannya terus-menerus mengupayakan perwujudan
kebebasan dan kedaulatan rakyat. Kita membutuhkan politikus pejuang demi
menghindari kebangkrutan politik agar negara tidak tunduk pada keserakahan.
“Wafatnya Bung Hatta dalam ketenangan mengubah massa
menjadi hampa,” begitu Daniel Dhakidae (dalam Bagun, ed, 2003) menggambarkan
kepergian sang proklamator untuk selamanya. Hatta, yang tidak besar lewat ingar-bingar
dukungan massa, disebutnya meninggalkan kekosongan eksistensial di sanubari
rakyat, tentu bersama negeri yang kian menjauh dari cita-cita kemerdekaan.
Kita mengenang Hatta dalam rangkaian perjuangan
berkelanjutan untuk kebebasan dan kedaulatan rakyat. Tempaan pengalaman
menghadapi ketidakadilan yang bersenyawa dengan pemahaman akademis hasil
pendidikan formal membentuk Hatta sebagai seorang intelektual sekaligus
politikus pejuang. Bukan melalui penentangan membabi-buta, Hatta berjuang
bersenjatakan ketajaman analisis.
Pembelaan Hatta pada 9 Maret 1928 di hadapan Pengadilan
Den Haag, misalnya, ialah suatu tinjauan ekstensif tentang penjajahan sebagai
perampasan kemerdekaan sebagai milik terbesar kemanusiaan. Bersama
Perhimpunan Indonesia, alih-alih menghasut sebagaimana didakwakan, Hatta
mengupayakan suatu pendidikan politik sebagai landasan perjuangan Indonesia
merdeka.
Pendidikan politik merupakan bagian elementer pemikiran
Hatta. Saat Soekarno dipenjara dan PNI dibubarkan, pada 1931 Hatta menggagas
Pendidikan Nasional Indonesia yang berfokus pada kaderisasi. Hatta
menghendaki pembangunan keinsafan politik sebagai penerang nalar dan pemantik
tindakan sadar rakyat. Inilah jalan pemberdayaan agar rakyat mampu mengemban
tanggung jawab demokratis.
Hatta sadar bahwa demokrasi tidak mungkin terwujud tanpa
otonomi rakyat dan otonomi rakyat tidak mungkin terwujud tanpa kritisisme.
Dalam pemahaman bahwa rakyat adalah jiwa bangsa, kehendak rakyat adalah acuan
tindakan pemimpin. Karena itu, persoalan pokok pembangunan demokrasi ialah
bagaimana memperkuat massa kritis yang cukup-diri untuk dapat mengembangkan
partisipasi sosial.
Lebih lanjut, Hatta mempersyaratkan keadilan sebagai alas
tegaknya kekuasaan. Dalam Demokrasi Kita (pertama kali terbit pada 1959),
Hatta mengkritik keras mentalitas korup yang berpaham ‘golongan sendiri
dikemukakan, masyarakat dilupakan’. Berlawanan dengan keadilan, mentalitas
korup melemahkan kekuasaan negara, yang tergerus kapabilitas dan daya
legitimasinya.
Diterangi prinsip ‘di atas segala lapangan Tanah Air aku
hidup, aku gembira’, kita menemukan Hatta yang menikmati perjuangannya. Hatta
gigih mengupayakan kegembiraan kolektif melalui kegotongroyongan yang
menghidupi demokrasi. Suatu perjuangan yang tidak kunjung henti, saat penjajahan,
semasa kemerdekaan, bahkan setelah beliau menarik diri dari hiruk pikuk
kekuasaan.
Krisis demokrasi
Berselang 37 tahun, rasa hampa itu belum berganti bungah.
Bukan karena kita tidak mengikhlaskan kepergian Hatta, melainkan karena tiada
kunjung lahir generasi baru politikus pejuang serupa Hatta. Kita merindukan
politikus pejuang, yang tidak kalap mengejar kemasyhuran dan gemerlap
kekuasaan. Dalam sikap bijak dan adilnya, politikus pejuang terus-menerus
mengupayakan kebaikan publik.
Ironis bahwa pada era pemilihan langsung kini banyak
politikus populer, tetapi hanya sedikit politikus yang berkomitmen
memperjuangkan kebaikan publik. Melampaui popularitas, legitimasi kekuasaan
sesungguhnya membutuhkan solidaritas yang mempertautkan elite dan massa.
Sayangnya, elite politik lebih sering memperkuat kekuasaan sendiri sembari
memperlemah kemandirian massa.
Minus keinginan untuk memberdayakan, kekuasaan semacam itu
telah berubah menjadi alat dominasi. Alih-alih kehendak rakyat menggerakkan
tindakan pemimpin, hasrat dominasi pemimpin justru membajak dan membelokkan
arah pengelolaan negara. Keutamaan diasingkan dari kekuasaan mereka,
kepublikan pun terancam luruh oleh arus deras kesukacitaan personal para
penguasa culas.
Setelah retorika kebaikan publik muncul sebagai pretensi
janji-janji kampanye, kita menyaksikan parade penyalahgunaan kekuasaan. Pada
Agustus 2016, KPK menyatakan 361 kepala daerah terlibat korupsi. Jumlah
tersebut pasti telah bertambah dan menjadi berlipat jika kita masukkan
korupsi di cabang-cabang kekuasaan lainnya. Keserakahan, seakan tidak
terbendung, menggerogoti demokrasi kita.
Demokrasi terancam karena banyak politikus menunggang
prosedur elektoral justru demi pemenuhan angkara. Dengan kekuasaan di tangan,
mereka menjarah negara dan menafikan keadaban publik. Hatta telah mencandra
hal demikian sebagai ‘krisis demokrasi’, yaitu ketika demokrasi lupa
syarat-syarat hidupnya, ketika para pemimpin politik menanggalkan tanggung
jawab dan toleransi.
Berdekade lamanya kesempatan perubahan terbuang karena
banyak politikus yang kita pilih ternyata lebih ahli untuk mengubur
kepercayaan jika dibandingkan dengan melahirkan harapan. Kini, prosedur
elektoral perlu dikembalikan esensinya sebagai suatu permusyawaratan; di
dalamnya publik kritis mengembangkan konsensus berdasarkan alternatif cerdas
kebijakan yang ditawarkan para kandidat.
Hatta menganjurkan ‘demokrasi harus dijalankan dengan
perbuatan yang berdasarkan kebenaran, keadilan, kejujuran, kebaikan,
persaudaraan, dan perikemanusiaan’. Serentetan nilai yang menuntut keteguhan
komitmen bersama pada kedaulatan rakyat. Sebaliknya, ada pertaruhan besar
bahwa jika demokrasi gagal, negara ini terancam bangkrut tunduk pada
keangkaraan bandit-bandit politik.
Keteladanan Hatta mestinya memberi inspirasi perbaikan
agar krisis demokrasi segera pergi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar