Menunggu
Keputusan The Fed
Haryo Kuncoro ; Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic
& Educational Business Institute) Jakarta; Dosen FE UNJ; Doktor Ilmu Ekonomi UGM
Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 14 Maret 2017
BANK Indonesia (BI) terus mencari formula kebijakan yang
tepat untuk mengantisipasi kondisi ekonomi makro ke depan. Pada akhir tahun
lalu, misalnya, BI mengumumkan pergeseran sikap (stance) kebijakan moneter
dari ‘bias longgar’ menjadi bersifat ‘akomodatif dengan kehati-hatian’.
Masuk 2017, BI mengirim sinyal tidak lagi mengandalkan
suku bunga acuan untuk mendorong pertumbuhan, tetapi menggunakan instrumen
likuiditas, makroprudensial, dan sistem pembayaran. Sementara, instrumen suku
bunga acuan bersama nilai tukar dan pengawasan lebih diarahkan untuk menjaga
stabilitas sistem keuangan.
Berikutnya, BI mulai memberlakukan mekanisme operasi pasar
terbuka (OPT) dengan harga variabel. OPT untuk tenor selain 1 minggu
diserahkan pada mekanisme pasar melalui lelang. Target yang dibidik ialah
suku bunga pasar dimungkinkan bervariasi sesuai ketersediaan likuiditas
perbankan. Benang merah yang bisa ditarik dari tiga hal tersebut adalah BI
hendak mengondisikan ekonomi makro dalam menghadapi gejolak internal dan
eksternal. Dari dalam negeri, prospek inflasi diprediksi bakal melejit yang
dipicu kenaikan harga barang yang diatur pemerintah dan beberapa komoditas
pangan.
Tantangan dari sisi eksternal adalah kecenderungan
proteksionisme Trump yang dibarengi dengan ekspansi fiskal, kenaikan Fed Rate
dua sampai tiga kali dalam tahun ini, pelemahan harga sejumlah komoditas
unggulan di pasar internasional, serta prospek pemulihan ekonomi global belum
terlalu meyakinkan.
Gejolak ekonomi internal dan eksternal bermuara pada isu pelarian
modal, depresiasi nilai tukar rupiah, dan ujung-ujungnya ialah pertumbuhan
ekonomi. Persoalannya, apakah kebijakan tipikal stability over growth racikan
BI akan efektif meredamnya? Kalaupun cukup kuat, seberapa besar pertumbuhan
akan terkorbankan?
Secara konseptual, stabilitas, dan pertumbuhan dapat
dikendalikan melalui kebijakan moneter. Apabila tekanan inflasi naik,
misalnya, BI meresponsnya dengan menaikkan Repo Rate agar suku bunga kredit
mahal. Akibatnya, penyaluran kredit tertahan sehingga meredam laju
perekonomian. Pada akhirnya, tekanan inflasi akan berkurang.
Kenaikan suku bunga acuan juga akan melejitkan suku bunga
simpanan. Hal ini memicu pemilik dana untuk mengurangi pengeluaran konsumsi
dan investasi. Konsumsi dan investasi ialah komponen dari permintaan agregat.
Artinya, pertumbuhan ekonomi dan gejolak harga dengan sendirinya terkoreksi.
Intinya, pengaruh kebijakan suku bunga acuan untuk menjaga
pertumbuhan tergantung pada peran perbankan. Pada poin ini, tujuan
pertumbuhan ekonomi yang dibidik dari kebijakan likuiditas sejatinya dapat
berjalan seiring dengan tujuan stabilisasi yang akan dicapai lewat kebijakan
suku bunga acuan.
Kebijakan Repo Rate juga memengaruhi stabilitas dan
pertumbuhan melalui jalur nilai tukar. Kenaikan Repo Rate akan memperbesar
suku bunga diferensial. Akibatnya, investor asing melepas modalnya,
likuiditas menyusut, permintaan dolar naik, cadangan devisa menipis, dan
rupiah terdepresiasi.
Depresiasi mendorong ekspor dan menekan impor. Kenaikan
net ekspor ini akan berdampak pada kegiatan ekonomi. Pada titik ini, tujuan
stabilisasi nilai tukar yang digapai lewat kebijakan suku bunga acuan masih
berjalan seiring dengan tujuan pertumbuhan, tetapi harus mengorbankan
cadangan devisa.
Normatifnya, jika penyusutan likuiditas valuta asing di
pasar keuangan dapat ditutup perolehan devisa yang didapat dari peningkatan
net ekspor, gejolak bisa tereduksi. Berangkat dari sini, BI perlu memelihara
keseimbangan antara dinamika di sektor finansial dan sektor riil.
Dalam praktiknya, efektivitas kebijakan moneter terhadap
stabilitas dan pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada responsivitas
pelaku ekonomi terhadap suku bunga. Pelaku pasar uang sangat sensitif
terhadap pergerakan suku bunga di antara berbagai alternatif instrumen
finansial. Di sektor riil, konsumen dihadapkan pada pilihan memegang cash
atau membeli barang/jasa. Demikian pula, di hadapan produsen terhampar
masalah harga beli input dan harga jual output-nya. Intinya, produsen dan
konsumen lebih responsif terhadap fluktuasi inflasi alih-alih suku bunga.
Kondisi ini berakibat BI kesulitan memfokuskan efek
kebijakan Repo Rate. Per definisi, Repo Rate adalah suku bunga transaksi
penjualan Surat Utang Negara dari BI kepada perbankan dengan syarat akan
dibeli lagi oleh BI pada jangka waktu tertentu. Artinya, imbas kebijakan Repo
Rate lebih bias ke pasar keuangan daripada pasar barang/jasa.
Di sisi lain, semua pelaku ekonomi sangat peka terhadap
nilai tukar. Di pasar uang, valuta asing ialah substitutif bagi rupiah. Di pasar
barang, produsen berurusan dengan impor input kapital. Konsumen juga sangat
berkepentingan dengan nilai tukar sehubungan dengan impor komoditas konsumsi.
Ironisnya, BI tidak secara eksplisit memasukkan nilai
tukar sasaran ke dalam formulasi penentuan Repo Rate. Akibatnya, pelaku
ekonomi menjadi sangat reaktif terhadap setiap perubahan nilai tukar. Dengan
demikian, pergerakan nilai tukar tidak mudah diprediksi dari fluktuasi
inflasi domestik pun dari inflasi terimpor (imported inflation).
Tesis tersebut tampaknya mendekati benar. Sepanjang 2016,
suku bunga acuan telah dipangkas sebesar 150 basis poin. Selama periode yang
sama, inflasi relatif rendah 3,02%. Rupiah terapresiasi tipis 2,7% secara
tahunan. Sementara, pertumbuhan stagnan di level 5%. Alhasil, keterkaitan
keempatnya agak kendur.
Kendurnya keterkaitan antara keempat variabel tersebut
masih akan diuji lagi. Menurut agenda, The Fed akan memutuskan Fed Rate pada
14-15 Maret. Jika strategi yang ditempuh The Fed ialah menunda kenaikan Fed
Rate, keputusan BI mempertahankan Repo Rate selama lima bulan terakhir
berefek netral.
Namun, seandainya The Fed memutuskan untuk segera
menaikkan Fed Rate, kekhawatiran masifnya pelarian modal ke luar negeri
menjadi keniscayaan. Konsekuensinya, likuiditas menyusut dan rupiah kembali
tertekan. Alhasil, penentuan Repo Rate sehari setelah keputusan Fed Rate
berakar pada salah satu pilihan antara pertumbuhan atau stabilisasi.
Harus diakui, BI tidak sedang memiliki banyak opsi
strategi kebijakan. Risiko yang paling berat ialah ketika stabilitas rupiah
tidak tercapai, sementara cadangan devisa terkuras untuk intervensi.
Celakanya lagi, likuiditas perbankan mengetat sehingga momentum pertumbuhan
ekonomi terlewatkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar