Merakyatkan
Hukum ASEAN
Huala Adolf ;
Guru
Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung
|
KOMPAS, 09 Maret 2017
Tulisan opini Dino Patti Djalal berjudul "Saatnya
'Merakyatkan' ASEAN" (Kompas, 7/2) mendorong saya memberikan catatan ini.
Intinya, beliau mengemukakan dua pendapat penting: kurangnya sosialisasi
mengenai ASEAN di Tanah Air dan seruan agar pelaku usaha memanfaatkan potensi
pasar ASEAN secara maksimal.
Tampaknya pendapat Dino Patti Djalal itu benar
sekali. Namun, ada hal lain yang juga
tidak kalah penting, yaitu meminjam istilah Dino, "merakyatkan"
aturan-aturan hukum ASEAN yang tidak banyak kita pahami. Kesepakatan ASEAN
berbentuk perjanjian, protokol, dan lain-lain adalah aturan-aturan hukum.
Data Sekretariat
ASEAN menunjukkan, dewasa ini terdapat sekitar 219 kesepakatan atau
perjanjian ASEAN di berbagai bidang kerja sama. Perjanjian-perjanjian
tersebut sudah ada yang berlaku, tetapi tak sedikit pula yang belum berlaku
karena masih ada negara yang belum meratifikasinya.
Seperti diungkapkan
oleh Dino, selama ini sangat minim sosialisasi mengenai ASEAN ataupun
aturan-aturan kesepakatan atau perjanjian ASEAN. Masalah utamanya,
kesepakatan-kesepakatan yang telah diratifikasi oleh pemerintah tidak jelas
statusnya di dalam sistem hukum kita.
Kesepakatan yang tampaknya perlu segera dilakukan
penerjemahannya adalah kesepakatan- kesepakatan mengenai Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA). Ada tiga kesepakatan utama pembentukan MEA. Pertama, perjanjian
di bidang barang (ASEAN Trade in Goods Agreement/ATIGA) tahun 2009. Kedua,
perjanjian di bidang jasa (ASEANFramework Agreement on Services/AFAS) tahun
1995 dan 2003. Ketiga, perjanjian di bidang penanaman modal (ASEAN
Comprehensive Investment Agreement/ACIA) tahun 2012.
Hingga sekarang,
perjanjian itu belum diterjemahkan secara resmi meski perjanjian-perjanjian
tersebut telah ditandatangani cukup lama. Usulan Dino Patti Djalal agar
Indonesia memanfaatkan pasar ASEAN secara maksimal sulit berjalan mulus jika
kita sendiri tidak paham mengenai ketentuan-ketentuan hukum yang mengaturnya.
Status hukum perjanjian ASEAN
Permasalahan klasik mengenai hukum internasional (termasuk
ASEAN dan perjanjian multilateral lainnya) adalah, pertama, status hukum
mengenai kesepakatan tersebut dalam hierarki peraturan perundang-undangan
yang belum jelas.
Status perjanjian internasional tidak tercantum di dalam
UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 7 UU ini mengakui jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, yaitu
UUD 1945, Ketetapan (Tap) MPR, undang-undang atau peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (perppu), peraturan pemerintah (PP), peraturan
presiden (perpres), serta peraturan daerah (perda) provinsi dan perda
kabupaten/kota.
Kedua, setelah kita meratifikasi perjanjian internasional,
termasuk perjanjian ASEAN, tidak ada pencantuman norma-norma dalam
kesepakatan menjadi norma dalam hukum nasional kita.
Ketiga, persoalan status hukum perjanjian internasional
dan langkanya pemasukan norma kesepakatan ASEAN ke dalam hukum nasional kita
terkait erat pula dengan bahasa dan terjemahan teks perjanjian internasional.
UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa bahasa negara adalah bahasa Indonesia.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 mengenai Perjanjian
Internasional telah mengamanatkan setiap perjanjian internasional
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pasal 12 Ayat (1) undang-undang ini
menyatakan, dalam mengesahkan suatu perjanjian internasional, lembaga
pemrakarsa yang terdiri dari lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik
departemen maupun nondepartemen, menyiapkan, antara lain, salinan dari naskah
perjanjian dan terjemahannya.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa,
dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan menegaskan perlunya terjemahan ke
dalam bahasa Indonesia setiap perjanjian internasional. Pasal 31 UU ini
menyatakan bahwa "Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota
kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi
Pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan
warga negara Indonesia."
Penjelasan Pasal 31 Ayat (1) menyatakan arti
"perjanjian", termasuk perjanjian internasional, yaitu setiap
perjanjian di bidang hukum publik yang diatur oleh hukum internasional serta
dibuat oleh pemerintah dan negara, organisasi internasional, atau subyek
hukum internasional lainnya.
Terjemahan mengenai kesepakatan atau perjanjian ASEAN
sangat kurang. Sepengetahuan penulis, Kementerian Luar Negeri RI telah
berhasil menerjemahkan Piagam ASEAN ke dalam bahasa Indonesia. Upaya
penerjemahan terhadap kesepakatan-kesepakatan ASEAN lainnya sebaiknya perlu
terus dilakukan.
Kurikulum PT
Langkah lain yang perlu juga dimanfaatkan adalah perguruan
tinggi. Fakultas hukum di Tanah Air cukup banyak jumlahnya. Sudah waktunya
fakultas hukum memberikan prioritas perhatian mengenai kurikulum hukum ASEAN
ke dalam kurikulumnya.
Pada akhir Januari lalu, Kementerian Luar Negeri RI
berinisiatif mengadakan diskusi mengenai kurikulum hukum ASEAN di perguruan
tinggi. Dalam diskusi terungkap ternyata sudah terdapat beberapa perguruan
tinggi yang sudah mencantumkan mata kuliah hukum ASEAN dalam kurikulumnya.
Perkembangan ini menggembirakan. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,
Universitas Airlangga, dan Universitas Sebelas Maret ternyata sudah proaktif
mencantumkan mata kuliah hukum ASEAN di dalam kurikulumnya.
Fakultas hukum
lainnya tampaknya tidak terlambat untuk menempuh langkah serupa. Ketersediaan
tenaga pengajar serta minat dan komitmen yang kuat terhadap hukum ASEAN akan
berpengaruh pada peningkatan pemahaman dan "merakyatkan" hukum
ASEAN di Tanah Air. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar