Reformulasi
Iuran OJK
Haryo Kuncoro ;
Direktur
Riset SEEBI (the Socio-Economic & Educational Business Institute)
Jakarta; Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
|
KOMPAS, 10 Maret 2017
Di tengah proses seleksi anggota Dewan Komisioner Otoritas
Jasa Keuangan periode 2017-2022 yang masih berlangsung, persoalan iuran
lembaga keuangan kepada OJK kembali menyeruak. Debat bermuara pada dua isu,
yakni eksistensi dan besaran iuran yang dibebankan kepada industri keuangan.
Argumen yang satu mendukung penghapusan iuran. Sebagai
pengawas institusi finansial, OJK mutlak dituntut independen. Artinya, kalau
terjadi apa-apa, OJK tetap mampu bersikap obyektif, alih-alih merasa pekewuh
(sungkan) terhadap industri keuangan yang berstatus sebagai penyandang dana.
Konsekuensinya, kubu ini merekomendasikan OJK seharusnya dibiayai dari APBN.
Rujukannya, tugas pokok dan fungsi OJK sebelumnya diemban oleh Bank Indonesia
(BI). Faktanya, kegiatan BI masih tetap dibiayai dengan APBN, sementara OJK
dibiayai campuran antara APBN dan iuran.
Pemerintah sendiri sepertinya lebih condong mengarahkan
OJK agar nantinya lepas dari beban APBN. Secara yuridis, eksistensi iuran
didasarkan pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, Peraturan Pemerintah No
11/2014, dan Peraturan OJK No 3/POJK.02/2014 yang memberikan kewenangan
kepada OJK untuk menarik iuran biaya tahunan kepada para pelaku jasa
keuangan.
Sebagai gambaran, penerimaan iuran yang dipungut dari
persentase nilai aset lembaga keuangan belum mampu menutup biaya operasional
OJK. Pada tahun ini, total kebutuhan dana untuk program kerja OJK mencapai Rp
4 triliun. Kekurangannya sekitar Rp 2 triliun masih diambilkan dari APBN.
Bagi OJK, kriteria iuran berbasis aset tampaknya lebih
nyaman. Per definisi, aset adalah akumulasi hasil kegiatan usaha pada masa
lalu. Setoran berbasis aset niscaya relatif stabil sehingga memudahkan OJK
merancang program kerja dan pembiayaannya. Pada akhirnya nanti, OJK sudah
lebih siap secara finansial jika harus lepas dari beban APBN.
Dari sisi pelaku industri jasa keuangan, iuran yang
dipungut OJK dipandang memberatkan. Besar iuran ditetapkan sebesar 0,045
persen dari aset. Bagi semua lembaga keuangan, besaran aset tidak selalu
produktif menghasilkan pendapatan atau laba. Konsekuensinya, iuran menekan
profitabilitas lembaga keuangan.
Kriteria iuran berdasar aset juga dipandang tidak
"adil". Pungutan diberlakukan tanpa melihat struktur perusahaan.
Konkretnya, iuran tetap dipungut atas aset perusahaan induk maupun atas aset
anak perusahaan. Padahal, secara nature bisnis, pelaku jasa keuangan ini
kebanyakan bertipe konglomerasi.
Hal yang sama juga ditemui saat membandingkan iuran
antar-perbankan. Bank "manual" dengan ribuan kantor cabang,
misalnya, niscaya akan mengiur dalam nominal yang lebih tinggi ketimbang bank
"digital" atau lembaga keuangan yang mengandalkan Laku Pandai
(Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif).
Tesis di atas tampaknya terbukti. Iuran perbankan mencapai
65 persen dari total pungutan yang diperoleh OJK. Praktis, beban dan iuran
dikalkulasi perbankan sebagai komponen biaya overhead. Biaya ini akan
digeserkan kepada pihak lain dalam bentuk suku bunga lebih tinggi.
Kalangan perbankan di dalam negeri berupaya mempertahankan
margin bunga bersih (net interest margin/NIM) pada kisaran 5-6 persen agar
tercapai keuntungan yang optimal. Dengan skema ini, biaya overhead idealnya
harus ditutup dari pendapatan berbasis biaya (fee based income). NIM
merupakan margin keuntungan yang diambil setelah dipotong biaya. Sementara
fee based income saat ini belum mampu menutup biaya overhead. Implikasinya,
pendapatan fee based menjadi bantalan (cushion) untuk tetap bertahan di
tengah persaingan bisnis finansial yang semakin ketat.
Ironisnya, jika fee based ini dominan, bank akan menjauh
dari fungsi intermediasi yang diembannya. Alhasil, seretnya mekanisme
transmisi kebijakan moneter dalam bentuk pemangkasan suku bunga kredit
perbankan-salah satunya-adalah karena komponen biaya overhead semacam ini.
Dengan konfigurasi problematika semacam ini, jalan tengah
agaknya diperlukan untuk mengompromikan polemik soal besaran iuran antara
OJK, lembaga keuangan, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya. Solusi
awalnya adalah mereformulasi kriteria besaran iuran.
Besaran nilai iuran diklaim lebih ideal apabila didasarkan
pada pendapatan atau laba. Dalam pemahaman teoretis, pendapatan atau laba
mengikuti konsep aliran (flow) alih-alih persediaan (stock) sebagaimana aset.
Alhasil, pendapatan atau laba ini sejatinya lebih merepresentasikan kinerja
lembaga keuangan pada tahun berjalan.
Merujuk pada perbedaan konsep flow dan stock, kombinasi
antara pendapatan atau laba dan aset tampaknya menjadi win-win solution untuk
menentukan besaran iuran. OJK bisa menggunakan persentase atas pendapatan
atau laba dengan memasukkan aset sebagai variabel pembobotnya.
Bobot aset masih bisa dipecah antara aset tetap dan aset
lancar. Pemisahan ini sangat relevan terkait dengan perbedaan preferensi
portofolio dan profitabilitas masing-masing aset. Dengan reformulasi ini, OJK
senantiasa mendorong lembaga keuangan untuk meningkatkan pendapatan atau
labanya sehingga besaran iuran lebih berkelanjutan.
Aspek keberlanjutan ini penting untuk meningkatkan daya
saing industri perbankan dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN sektor
perbankan pada 2020. Tanpa peningkatan daya saing yang berbasis pada
efisiensi, pasar finansial domestik niscaya akan disesaki oleh pemain asing.
Aspek yang paling utama adalah iuran dimasukkan ke kas
negara sebagai PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). OJK menarik dana
operasional melalui APBN. Dengan jalur pendanaan semacam ini, OJK dalam
melaksanakan fungsi regulasi, supervisi, dan proteksi terbebas dari beban
moral terhadap lembaga keuangan.
Alhasil, anggota Dewan Komisioner OJK yang terpilih
nantinya diharapkan segera menuntaskan mekanisme iuran off budgetair yang
selama ini masih dipersoalkan akuntabilitasnya. Bagaimanapun independensi dan
kredibilitas kebijakan mikroprudensial yang menjadi tugas utama OJK tetap
jadi pertaruhan besarnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar