Keengganan
Hakim MK Buat LHKPN
Suyatno ;
Analis
Politik Pemerintahan pada FISIP Universitas Terbuka
|
MEDIA
INDONESIA, 09 Maret 2017
BELUM di-update-nya Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara
Negara (LHKPN) lima hakim konstitusi sungguh mengejutkan. Hakim konstitusi
adalah penyelenggara negara yang sekaligus berstatus negarawan. Mestinya
mereka menjadi teladan untuk patuh melaporkan harta kekayaan (Media
Indonesia, 4/3/2017). Ironisnya, di antara mereka justru hingga kini belum
melaporkan kekayaannya. Sebagaimana disampaikan Juru Bicara Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah baru-baru ini, ada lima hakim MK
yang belum melaporkan harta kekayaan secara periodik. Komitmen para pengawal
konstitusi itu untuk turut serta dalam pemberantasan korupsi dipertanyakan.
Betapa tidak, dalam konstitusi, hakim konstitusi adalah
satu-satunya penyelenggara negara dengan status negarawan. Selayaknya mereka
menjadi contoh bahkan anutan baik bagi penyelenggara negara lainnya,
lebih-lebih bagi rakyat Indonesia untuk menjunjung keterbukaan dan kejujuran.
Apalagi KPK punya landasan sosiologis dua hakim MK, yakni Akil Mochtar
(mantan Ketua MK) dan Patrialis Akbar, yang tersandung kasus korupsi.
Langkah awal
Laporan kekayaan hakim konstitusi merupakan salah satu
langkah permulaan penting yang harus dilakukan dalam mencegah, mengurangi,
dan akhirnya memerangi KKN di tubuh MK. Pelaporan dan pemeriksaan harta
kekayaan penyelenggara negara merupakan upaya pencegahan terjadinya praktik
korupsi termasuk di lembaga MK yang diatur dalam Undang-Undang No 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme. Juga Undang-undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ada pula ketentuan Peraturan KPK Tahun
2005 bahwa pelaporan periodik LHKPN selama dua tahun.
Negara yang bersih dalam menegakkan konstitusi juga harus
menuntut langkah transparan para hakimnya, termasuk laporan secara periodik
sesuai kententuan. Sudah menjadi kewajiban hakim konstitusi untuk melaporkan
daftar kekayaan mereka sebelum, selama, dan sesudah menjabat. Semangat yang
mendasari kewajiban laporan harta kekayaan para hakim MK ialah pemberantasan
dan pencegahan korupsi serta transparansi dalam berjalannya lembaga jangkar moral
bangsa itu. Jika aset hakim diketahui sebelum, selama, dan sesudah mengabdi
ke negara, bisa dinilai wajar dan tidaknya kenaikan harta benda yang
bersangkutan. Informasi publik tentang kekayaan hakim itu tersajikan dari
adanya kewajiban hakim mengumumkan laporan kakayaannya sebagai penyelenggra
negara merupakan kewajiban dari penyelenggara negara. Kewajiban ini
ditetapkan dalam Pasal 5 ayat 3 UU No 28/1999. Ayat 3 menyebutkan setiap
penyelenggra negara berkewajiban untuk melaporkan dan mengumumkan kekayaan
sebelum dan setelah menjabat melalui KPKPN. Menjadi hakim konstitusi harus
siap untuk disorot kekayaannya oleh masyarakat.
Urgensi
Para hakim konstitusi memiliki kedudukan yang amat tinggi.
Bahkan sebagai juru adil ia adalah wakil Tuhan di dunia. Sudah selayaknya
segala ucapan, perilaku, serta ketaatan pada konstitusi dan hukum menjadi
anutan penyelenggara negara lainnya maupun rakyat secara keseluruhan.
Apalagi, lebih dari sekadar taat hukum, laporan kekayaan hakim konstitusi
memiliki urgensi dan peran yang jauh lebih luas. LHKPN oleh hakim MK
merupakan penanaman sifat kejujuran, keterbukaan, dan tanggung jawab. Bila
hakim dengan kesadarannya melaporkan kekayaannya, publik akan menilai sejak
awal bahwa mereka adalah pejabat yang jujur. Bersedia menyampaikan dengan
kesatria kekayaannya secara terbuka.
Muncul harapan bahwa dalam menjalankan jabatannya para
hakim ini akan melakukannya dengan penuh tanggung jawab. Penyampaian laporan
kekayaan hakim ini dapat membangkitkan rasa takut terhadap korupsi. Bila
hakimnya saja sudah dengan penuh kesadaran melaporkan kekayaannya, masyarakat
luas akan berpikir untuk tidak coba-coba korupsi. Contoh dari atas (pejabat)
akan berdampak besar pada sikap masyarakat. Demikian pula akan memberikan
pendidikan kepada para generasi muda yang bercita-cita sebagai hakim atau
penyelenggara negara untuk berhati-hati dalam memperoleh dan mengelola
hartanya. Bila kelak ingin menjabat, harus melaporkannya.
Para hakim adalah milik publik. Maka mereka harus mengabdi
kepada publik. Dengan adanya LHKPN, masyarakat akan mudah mendeteksi potensi
konflik kepentingan antara tugas-tugas publik dan kepentingan pribadi. Hal
ini tecermin dalam memperoleh dan mengelola kekayaan. Hakim yang tanpa cela,
adil, dan negarawan tidak akan berorientasi mengejar kekayaan pribadi
semata-mata. Laporan itu juga menyediakan sarana kontrol masyarakat, melalui
rekam jejak harta kekayaan sebagai pembuktian terbalik atas apa yang dimiliki
saat ini. Dari kekayaan seorang pejabat bisa ditelusuri berbagai dimensi lain
yang terkait. Pada gilirannya LHKPN hakim kostitusi bisa digunakan untuk
menguji integritas para calon dan hakim MK. Dalam beberapa sisi, kekayaan
adalah godaan seseorang dalam membangun dan mempertahankan integritasnya.
Tidak enggan
Ke depan, publik berharap hakim konstitusi tidak enggan
menyampaikan LHKPN. Dalam kata 'keengganan' mengandung makna tahu, tetapi
tidak mau. Belum lapornya para hakim konstitusi bukan disebabkan mereka tidak
tahu bahwa aturan mengharuskan laporan kekayaan disampaikan. Di bidang hukum,
pengetahuan para hakim akan aturan hukum sudah paripurna. LHKPN adalah
kewajiban yang harus dipenuhi secara periodik. Apalagi bila dampak
keteladanannya sudah terbukti sangat luas. Kata 'enggan' juga memiliki
kecenderungan satu kegiatan sangat berpeluang tidak dikerjakan. Kalau toh
dilakukan, akan tertunda alias tidak tepat waktu. Kondisi ini akan berakibat
pada turunnya kualitas dan kedisiplinan. Kedua hal inilah yang mendatangkan
keteladanan yang kurang baik. Sebagai pejabat, sudah semestinya memberikan
contoh yang baik dengan meninggalkan sifat-sifat yang kurang terpuji.
Patut diupayakan agar keengganan pejabat untuk
menyampaikan LHKPN bisa diakhiri. Tidak saja karena ada ancaman sanksi dari
luar, tapi juga karena tumbuh dari dalam diri hakim konstitusi. Satu di
antaranya lebih mengedepankan kepedulian para hakim akan keteladanan.
Kepedulian akan menghapus keengganan. Selain itu, para hakim harus
menempatkan komitmen tinggi pada asas transparansi dan akuntabilitas yang
terukur. Terlebih lagi hakim konstitusi dituntut menempatkan LHKPN pada peran
dan fungsinya secara hakiki. Akhirnya diharapkan, penyampaian LHKPN mengakar
sebagai budaya kerja dan kewajiban moral para hakim konstitusi yang penuh
dengan sikap transparan dan jujur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar