Kautilya
Trias Kuncahyono ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 12 Maret 2017
Syahdan suatu masa, di India, hiduplah seorang negarawan
dan juga filsuf bernama Kautilya. Ia juga disebut Chanakya. Kadang orang
menyebutnya Vishugupta. Menurut catatan sejarah, Kautilya hidup antara tahun
350-275 SM.
Kautilya lahir dari keluarga Brahmana dan mendapatkan
pendidikan di Taxila, sebuah kota kuno yang sekarang masuk wilayah Pakistan.
Ia dikenal sebagai orang yang memiliki pengetahuan tentang obat-obatan dan
astronomi. Kautilya juga diyakini sangat akrab dengan elemen-elemen Yunani
dan Persia yang diperkenalkan ke India oleh para penganut Zoroaster. Bahkan,
banyak yang meyakini bahwa Kautilya adalah seorang zoroasterian, penganut
Zoroaster, atau sekurang-kurangnya sangat dipengaruhi oleh agama itu.
Selain dikenal sebagai orang yang paham tentang
obat-obatan dan astronomi, Kautilya juga disebut-sebut sebagai profesor ilmu
politik dan ekonomi. Karena itulah, ia diangkat menjadi penasihat kepala dan
Perdana Menteri Kaisar India Chandragupta, penguasa pertama dari Dinasti
Maurya. Kautilya membantu Chandragupta menyingkirkan penguasa Dinasti Nanda
di Pataliputra, wilayah Magadha, pada tahun 322 SM.
Pikiran-pikiran politik Kautilya dihimpun menjadi buku yang
diberi judul Arthashastra, "Sains tentang Memperoleh Materi". Buku
ini disusun antara tahun 321 SM dan 300 SM, terdiri dari 15 volume, 150 bab,
serta 6.000 saloka. Dalam buku inilah antara lain dibahas soal korupsi, yang
dalam bahasa Sanskerta disebut bhrash. Kata bhrash berarti gagal, menyimpang
dari, atau terpisah dari, tercerabut dari, busuk, hilang, jahat, ganas, dan
merusak akhlak (Priti Phohekar: 2014).
Menurut Kautilya, sifat dasar manusia cenderung korupsi.
Korupsi itu merupakan psyche manusia. Korupsi adalah tindakan yang
bertentangan dengan kemurnian. Dalam arti ini, jiwa adalah sesuatu yang
murni, sementara tubuh, dan semua materi fisik, adalah hal-hal yang korup.
Yang diperlukan untuk mencapai kebijaksanaan dan pencerahan adalah menyangkal
fisik dan materi serta mencari kebenaran di dalam jiwa. Korupsi juga bisa
identik dengan kematian dan dekadensi moral. Oleh Aristoteles hal itu
disamakan dengan hedonisme, yakni hidup yang tujuan utamanya adalah mencari
nikmat badaniah semata.
Kautilya mengatakan, adalah tidak mungkin orang menelan
madu, tetapi lidah tidak merasakan manisnya. Kecuali lidah sudah mati rasa.
Bukankah lidah adalah indra pengecap. Mana mungkin, lidah tidak merasakan
manisnya madu yang mengalir lumer masuk ke kerongkongan.
Karena itulah, adalah tidak mungkin pegawai
pemerintah-termasuk pejabatnya; demikian juga pejabat lembaga-lembaga
pemerintah, lembaga negara, lembaga legislatif, dan juga yudikatif-tidak
mencicipi meski hanya satu gigitan "roti pemerintah", kekayaan negara.
Pegawai pemerintah, termasuk pejabatnya, seperti ikan di air. Tidak seorang
pun dapat mengatakan, kapan ikan itu minum air atau berapa banyak air yang
diminum ikan?
Itulah sulitnya mendeteksi korupsi. "Seperti ikan
yang berenang di bawah dekat dengan dasar, tidak mungkin dapat diketahui
apakah ikan itu minum atau tidak. Demikian pula, tidak mudah pula mengetahui
apakah pejabat atau pegawai itu korup atau tidak," kecuali ada yang
bernyanyi karena "mendapatkan bagian yang kurang".
Buah pikir Kautilya yang dibukukan itu menegaskan bahwa
korupsi sudah ada sejak dahulu kala. Korupsi adalah sebuah fenomena kuno.
Dan, sekarang ada di mana-mana; masuk ke mana-mana; menjangkiti siapa saja.
Ia seperti kanker dalam kehidupan publik, yang tidak merajalela dalam tempo
semalam, tetapi butuh waktu; butuh proses.
Seperti kanker yang merusak, menghancurkan kehidupan,
demikian pula korupsi. Kata korupsi berarti menghancurkan, meluluhlantakkan,
atau membusukkan masyarakat atau bangsa. Sebuah masyarakat yang korup
dicirikan oleh adanya ketidakmoralan atau kurangnya rasa takut atau kurangnya
penghormatan terhadap hukum. Korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik
untuk keuntungan pribadi. Kekuasaan publik adalah kekuasaan yang diberikan
oleh publik dan publik bisa berarti masyarakat, ataupun organisasi-organisasi
di dalamnya. Korupsi muncul dalam banyak bentuk, seperti penyuapan,
pemerasan, kecurangan, penggelapan, penyelewengan barang-barang publik,
nepotisme, kroniisme, dan mempergunakan pengaruh (Jeevan Singh Rajak: 2013).
Namun, ada banyak definisi tentang korupsi dan
didefinisikan dalam banyak cara. Memberikan peluang orang lain menjadi kaya,
atau membiarkan orang lain memperkaya diri sendiri dengan menerima suap,
menyelewengkan anggaran negara, menggelapkan uang negara pun, bisa
dikategorikan sebagai korupsi. Ibarat kata, seperti seekor gajah, meskipun
mungkin sulit untuk didefinisikan, pada umumnya tidak sulit untuk mengakui
bahwa binatang itu gajah setelah mengamatinya. Sayangnya, sangat sulit untuk
mengamati langsung tindak korupsi karena biasanya korupsi dilakukan tidak di
tempat terbuka yang terang benderang, ibarat kata di bawah panas terik
matahari, atau di bawah sorotan lampu, tetapi di tempat-tempat khusus dan
dengan cara-cara yang khusus pula.
Yang lebih merepotkan atau mungkin lebih tepatnya
menyedihkan, pada zaman kini, korupsi dianggap sebagai sebuah fashion; kalau
tidak melakukan dikatakan sebagai ketinggalan zaman. Karena itu, korupsi
merebak di mana-mana, tidak mengenal musim (jamur hanya merebak dengan subur pada
musim hujan), tidak mengenal jender, tidak mengenal suku, ras, agama, dan
golongan. Tidak hanya pejabat pusat, tetapi juga pejabat daerah. Tidak hanya
eksekutif, tetapi juga legislatif dan yudikatif. Bahkan, penegak hukum pun
tidak ketinggalan. Pendek kata, korupsi tidak sektarian.
Itulah sebabnya, korupsi adalah persoalan yang sangat
rumit di banyak negara, apalagi di Indonesia, karena antara lain menyangkut
ke soal kultur, soal pandangan hidup, soal mentalitas, tidak semata-mata
masalah ekonomi, dan keterpaksaan. Barangkali, tidak salah-salah amat kalau
dikatakan bahwa korupsi seperti diabetes, yang hanya dapat dikontrol, tetapi
tidak dapat dihilangkan secara total. Coba, bayangkan ketika pemerintah galak
memaklumkan perang melawan korupsi, justru makin banyak orang yang korupsi.
Mati satu tumbuh seribu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar