SBY
dan Jokowi
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO, 11 Maret 2017
Ketika saya berkunjung ke padepokannya, Romo Imam asyik
dengan handphone-nya. "Saya menunggu cuitan Pak SBY. Sampai kemarin
belum ada. Sekarang buka lagi," katanya.
"Apakah penting?" tanya saya. Romo menjawab,
"Biasanya kalau Pak SBY punya masalah sekecil apa pun, pasti menulis di
Twitter. Setelah bertemu Pak Jokowi, mestinya beliau menulis apa isi
pertemuan itu. Pengikutnya yang jutaan tentu ingin tahu kabar itu."
Sebenarnya saya tak tertarik ngobrol soal ini.
"Mungkin Pak SBY berubah, tak lagi obral cuitan yang kesannya hanya
curhat. Beliau sudah bisa menahan diri," kata saya.
Romo malah bersemangat. "Itu sangat wajar. Orang
berubah itu tak salah. Perubahan bisa terjadi karena seseorang melakukan
introspeksi, melakukan perenungan. Saya dengar Pak SBY pergi bersama keluarga
ke Gunung Lawu selesai putaran pertama pilkada DKI. Kekalahan putranya, Agus
Yudhoyono, dalam pilkada Jakarta disikapi SBY dengan menyepikan diri lalu
mendengarkan suara semesta, yang sejatinya adalah suara dari hati yang paling
murni. Itu kan langkah yang bagus. Mungkin baru disadari ada yang salah
dengan terlalu cepat mempromosikan anaknya. Kalau pun pilkada dimaksudkan
untuk menyekolahkan anaknya ke dunia politik, sekolah itu terlalu tinggi.
Dasarnya belum kuat."
"Apa pertemuan di istana itu berkaitan dengan pilkada
putaran kedua?" tanya saya, asal-asalan. Romo dengan tenang menjawab.
"Keduanya menyebut membicarakan masalah politik dan ekonomi bangsa. Apa
termasuk pilkada Jakarta, kita tak tahu. Tapi SBY kan jago strategi. Sehari
sebelum ketemu Jokowi, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat sudah menyatakan ke
mana dukungan Agus akan dibawa itu terserah Agus Yudhoyono sendiri, bukan urusan
partai. Ini mau mengabarkan bahwa SBY dan Demokrat tetap sebagai penyeimbang,
tidak dukung calon ini dan calon itu. Saya kira ini rikuh dibicarakan
keduanya."
"Apa membicarakan skandal e-KTP? Kok waktunya
bersamaan dengan sidang kasus e-KTP itu?" tanya saya lagi, masih
asal-asalan. Romo tertawa. "Semua bisa dikait-kaitkan. Mungkin ini
kebetulan saja. Asal tahu juga, Jokowi itu punya strategi jitu, suka
menyenangkan orang, seperti memberi hadiah sepeda, misalnya. Nah, tamu
istimewa ini tentu tak perlu sepeda. Dengan menerima SBY pada tanggal 9,
tentulah SBY sangat gembira sebagai tokoh yang senang angka sembilan."
Kini saya ikut tertawa, kok ada bau takhayulnya. Romo
cepat melanjutkan, "Sebenarnya tak penting apa yang dibicarakan antara
presiden aktif dan presiden pensiun ini. Kata-kata keduanya pasti tak banyak
arti. Pertemuan itu yang lebih punya makna. Begitu tangan keduanya
bersalaman, maka urusan sadap-menyadap sudah selesai. Begitu keduanya
menyeruput teh manis, maka urusan Antasari Azhar pun sudah tak perlu lagi
disebut. Kedua hati sudah berbicara dalam diam. SBY dalam posisi sudah madeg
pandhito dan Jokowi dalam posisi jumeneng amangkurat, tak perlu lagi
blakblakan bicara, seperti ketika keduanya cuit-cuitan di Twiter. Ah, ini
bahayanya media sosial, berbicara tanpa saling menatap mata. Kata-kata hanya
keluar lewat mulut, bukan lewat hati."
Saya kira Romo ngelantur, karena itu saya memotong:
"Romo sebenarnya mau mengatakan apa sih soal pertemuan Jokowi-SBY?"
Romo menjawab sambil menatap handphone-nya. "Para
pengamat sibuk menebak apa isi dialog kurang dari sejam itu. Padahal
pertemuan ini hanya untuk mengubur sindiran-sindiran yang dicuitkan keduanya
selama ini. Persoalan pokoknya belum selesai. Kan lumpia yang dihidangkan
belum ada yang makan." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar