Kamis, 16 Maret 2017

Jalan Kedaulatan Pangan

Jalan Kedaulatan Pangan
Sofyan Sjaf  ;   Dosen Pascasarjana Sosiologi Pedesaan dan FEMA IPB
                                                        KOMPAS, 15 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kedaulatan pangan tidak sekadar berbicara produksi, pembukaan lahan, pembagian alat dan mesin pertanian, pemberian pupuk, pengadaan fasilitasi kredit, serta kemampuan berswasembada, lalu mengekspor karena stok pangan sudah tercukupi.Kedaulatan pangan lebih berbicara tentang keberdayaan petani yang memiliki hak mendefinisikan sistem pangan untuk mereka sendiri, sesama, dan negaranya.

Kedaulatan pangan menempatkan petani dalam memproduksi, mendistribusikan, dan mengonsumsi pangan di tengah pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan, bukan korporasi atau institusi pasar (La Via Campisena, 2009).

Demikianlah kedaulatan pangan yang sejati. Dirumuskan La Via Campisena (Gerakan Petani Internasional) dari pengalaman panjang mengorganisasikan petani kecil yang tersubordinasi di berbagai belahan dunia. Untuk itu, kesejahteraan dan kedaulatan petani menjadi tujuan utama kedaulatan pangan. Bukan belas kasihan yang seolah heroik kepada petani.

Jasmerah

Dalam konteks itu, maka kedaulatan pangan menjawab kekhawatiran Mabhul Haq (1983) tentang tujuh dosa perencanaan pembangunan yang sering terjadi di negara-negara berkembang, yaitu permainan angka, pengendalian yang berlebihan, investasi yang menggiurkan, pendekatan yang dianggap benar, perencanaan dan pelaksanaan yang terpisah, sumber daya manusia yang terabaikan, serta pertumbuhan tanpa keadilan.

Dekade 1970-an, pada awal Orde Baru berkuasa, modernisasi pembangunan pertanian dengan cara industrialisasi dilakukan dengan jargon revolusi hijau. Desa dan pertanian dirasionalisasikan. Budaya masyarakat yang dianggap menghambat kemajuan disingkirkan.Pengetahuan dan teknologi negara-negara maju diperkenalkan, seolah sesuai dengan habitus masyarakat Indonesia.

Efeknya, investasi luar negeri menjadi keharusan untuk menjalankan modernisasi yang padat modal. Di pedesaan yang masyarakatnya mayoritaspetani, pembangunan infrastruktur menjadi prioritas, apa yang telah dirumuskan pemerintah harus dilaksanakan petani di pedesaan. Petani bukanlah subyek, melainkan obyek pembangunan.

Gejala di atas direspons Sajogyo (1973) dalam tulisannya yang berjudul ”Modernization Without Development”. Sajogyo mengingatkan bahwa kebijakan revolusi hijau yang tidak lain adalah modernisasi pertanian memberikan dampak kesenjangan (ketidakmerataan), tetapi sebaliknya memberikan keuntungan kepada lapisan atas desa dan mempercepat proses proletarianisasi petani gurem (lapisan bawah desa).

Pada dekade 1980-an, tujuan revolusi hijau tercapai. Indonesia mencatat sejarah sebagai negara yang mampu berswasembada beras. Kisah yang dianggap sebagian kalangan berhasil, tetapi bagi sebagian lainnya memberikan catatan yang memilukan.Kerusakan ekologis (penggunaan pupuk dan pestisida terus-menerus dan berlebihan), penurunan keanekaragaman hayati dan unsur hara tanah, adalah kisah yang memilukan tersebut. Catatan tersebutlah penyebab sejarah swasembada beras tidak berulang untuk kedua kali.

Pada dekade 1990-an, modernisasi pertanian masih dijadikan sebagai pendekatan. Saat reformasi 1998, agribisnis mulai dilirik sebagai pendekatan pembangunan pertanian yang sebenarnya memiliki akar filosofis sama dengan sebelumnya.

Pada dekade selanjutnya (tahun 2000-an dan seterusnya), agribisnis plus kerakyatan (agribisnis kerakyatan) kembali menjadi pilihan pemerintah pada era Jokowi-Kalla.Namun, tampaknya agribisnis kerakyatan dalam pelaksanaannya lebih menitikberatkan pada dua hal, yakni subsidi barang dan investasi yang masing-masing masih berorientasi produksi.

Lalu, apakah yang menarik dari catatan sejarah di atas? Pertama, baik rezim Orde Baru maupun Orde Reformasi yang mirip pendekatannya ternyata tidak mampu menciptakan pemerataan di tingkat petani. Hal ini ditandai dengan perolehan indeks rasio gini, baik pada era Orde Baru maupun Orde Reformasi, yang masih berkisar 0,3-0,41. Artinya, masih terjadi ketimpangan sedang.

Kedua, mandeknya kebaruan pendekatan pembangunan pertanian di pedesaan, yang menempatkan petani sebagai subyek pembangunan pertanian.Dengan demikian, pengambil kebijakan kita saat ini seakan lupa dengan sejarah. Padahal, Bung Karno selalu mengingatkan, ”jangan sekali-kali melupakan sejarah” (jasmerah)!

Meluruskan jalan

Dua tahun adalah waktu yang cukup untuk merefleksikan kebijakan pertanian pemerintahan Jokowi-Kalla. Mari kembali ke visi-misi yang dijanjikan pemerintah ini kepada kaum tani. Dokumen visi-misi yang dipublikasikan ke publik tersebut tampaknya berkeinginan menjawab kekhawatiran Mabul Haq dan keseriusan mewujudkan kedaulatan pangan yang sejati di atas. Namun, jika jalan yang ditempuh sama dengan sebelumnya, dipastikan visi-misi tersebut sekadar dokumen yang tersimpan sebagai arsip.

Dokumen tersebut sudah tegas menyatakan bahwa mewujudkan kedaulatan pangan sebagai upaya berdikari dalam bidang ekonomi hanya bisa ditempuh dengan jalan membangun jiwa dan badan kaum tani dan organisasi tani sebagai subyek pembangunan. Jadi, bukan melalui subsidi barang dan ajakan terhadap investasi luar negeri yang kemudian membuat kaum tani tidak berdaya! Jalan kedaulatan pangan adalah jalan yang memberikan kepastian partisipasi kepada kaum tani dan organisasi tani untuk menentukan hak dan kewajiban dalam memproduksi, mendistribusikan, dan mengonsumsi pangan.

Oleh karena itu, negara hadir memfasilitasi kaum tani dan organisasi tani untuk menyusun kebutuhan (teknis ataupun non-teknis), merencanakan aksi bersama, dan melaksanakan mandat dari kesepakatan bersama tersebut.

Secara praksis, hal-hal tersebut dapat dilakukan dengan cara, pertama, konsolidasi kaum tani melalui organisasi tani yang memiliki basis akar rumput, bukan kelompok tani atau gabungan kelompok tani yang dibentuk karena proyek. Kedua, memastikan ketersediaan alat-alat produksi yang dibutuhkan kaum tani, seperti teknologi, lahan, modal, dan inovasi.

Ketiga, memperkuat kapasitas serta kelembagaan (hulu-hilir) kaum tani dan organisasi tani.

Keempat, membangun konsorsium sebagai media rembuk kaum tani-pemerintah-para pihak untuk mengawal agenda kebutuhan kaum tani dan organisasi petani mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring-evaluasi.

Kelima, merevisi regulasi yang menghambat tumbuh dan berkembangnya aktivitas kaum tani dan organisasi tani di Indonesia.

Akhirnya, kedaulatan pangan adalah rangkaian gerbong untuk mewujudkan kedaulatan bangsa di tengah-tengah persaingan global yang bisa saja melindas bangsa ini di kemudian hari, jika kita tidak mulai memperbaikinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar