Bila
Pendidik Berpolitik Praktis
Sidharta Susila ; Pendidik di Muntilan
|
KOMPAS, 06 Maret 2017
Berpolitik
adalah hak. Tetapi tidak semua hak, termasuk hak berpolitik praktis, harus
didapatkan. Lebih-lebih bagi pendidik bila karenanya berpotensi mengganggu
martabat dan keselamatan jiwa.
Pendidik
adalah lentera kehidupan. Ia pencerah kehidupan. Lentera itu menerangi siapa
dan apa saja. Ia memberikan diri dan mencerahkan yang lain tanpa memihak dan
bersyarat. Lentera tak mengenal sekat. Juga tidak membuat sekat. Tidak
memisahkan, apalagi memecah belah.
Pemberian
dirinya tulus dan ikhlas. Itulah sebabnya guru diyakini sebagai pahlawan
tanpa tanda jasa. Kebahagiaan dan kebermaknaan seorang pendidik bukan karena
mendapatkan, memiliki, menguasai, apalagi mengeksploitasi; tetapi
memberdayakan dan membebaskan anak didik atau siapa saja yang dilayaninya.
Kompetensi dan kemampuan manajerial pendidik diniscayakan melulu demi semakin
mampu memberdayakan dan membebaskan liyan agar menjadi insan yang unik
secitra penciptanya. Begitulah pendidik menjadi rekan Sang Pencipta dalam
terus-menerus menaburkan rahmat kehidupan.
Tak
mengherankan begitu banyak kita temukan pendidik yang menjadi panutan
kehidupan. Mereka menjadi rujukan untuk melumerkan kemelut kehidupan. Tutur,
nasihat, dan tindakannya yang santun mengurai kekusutan. Semua itu
dimungkinkan hanya karena pendidik menjalani hidupnya dalam laku membebaskan
diri dan liyan yang dilayani dari hasrat egois. Demi hal ini mereka memilih
jalan hening dan sunyi, jauh dari hasrat beroleh panggung.
Pendidik
semacam itu banyak kita temukan di pesantren, seminari, biara, tetapi juga di
sekolah dan perguruan tinggi. Yang selalu sama dari para pendidik sejati
adalah mereka dikenal dan terkenal bukan karena infotainment atau panggung
yang sengaja diciptakan/direkayasa.
Kontras
dan ironis
Tidakkah
segala hal yang kita kenal tentang pendidik sejati di atas berbalikan dengan
pelaku politik praktis? Banyak yang memandang bahwa kiblat politik adalah
kepentingan. Berkawan atau melawan tergantung kepentingan. Kebenaran yang
diyakini tergantung dari kepentingan beroleh kekuasaan. Maka sering kali
politisi tak konsisten dan manipulatif. Dan pendidik sering menjadi satu
adonan atau hiasan pemikat untuk mewujudkan kepentingan politik.
Perilaku
politisi praktis amat berbalikan dengan laku pendidik. Pendidik tak segan
mengakui keringkihan dan kerapuhan dirinya. Tetapi politisi tak pernah
membiarkan dirinya tampak ringkih, rapuh, dan selalu benar. Politisi ingin
menguasai sebanyak mungkin orang. Pendidik justru membebaskan dan
memberdayakan.
Tak
jarang aksi politik praktis memanipulasi aneka hal, bahkan mengeksploitasi
manusia (pemilih). Manusia adalah obyek, angka belaka bagi hasrat berkuasa.
Sementara pendidik menyikapi dan memperlakukan liyan sebagai pribadi yang
unik, bermartabat, dan tak tergantikan.
Maka
pastilah teramat rumit bagi pendidik, manusia yang bertekun menenun
kebermartabatan jiwa dalam hening, terjun dalam hiruk-pikuk panggung politik
yang acap kali penuh dusta dan nista. Tetapi para juragan politik sadar bahwa
pendidik adalah aset bagus untuk menuntaskan hasrat berkuasa.
Kita
sungguh waswas ketika pendidik akhirnya dilibatkan dalam gerak politik
praktis. Mereka tak lagi dihadirkan sebagai pribadi. Kehadirannya tak lebih
dari materi, hiasan elok yang karakter dan sifatnya amat dipuja masyarakat.
Hakikat dan martabat pendidik dalam gawe politik praktis dimerosotkan. Dengan
lihai dan licik citra elok yang melekat pada pendidik sengaja ditampilkan
petarung politis agar masyarakat hilang nalar hingga tak menemukan kebusukan
hasrat dan tujuan politis.
Maka
dalam banyak hal hadir dan dilibatkannya pendidik dalam gawe politik justru
efektif mengaburkan fakta dan membelokkan kebenaran. Apalagi bila yang
dihadirkan sosok pendidik yang santun atau agamais. Nalar masyarakat
cenderung lebih gampang dilumpuhkan.
Ketika
nalar melumpuh, masyarakat tak lagi menjadi pribadi yang unik. Mereka menjadi
gerombolan. Dengan gampang hakikat manusia beralih menjadi hakikat bebek yang
gampang mengekor seragam dalam gerombolan. Juga meski bila sejatinya sedang
dituntun berbarengan masuk jurang.
Sungguh
sulit titian seorang pendidik yang dimasukkan atau sengaja terjun dalam
panggung politik praktis. Alih-alih merawat jiwa dan menghadirkan pencerahan,
ia justru berpotensi mengaburkan serta membelokkan kebenaran. Kontras dan
ironis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar