Di
Balik Kunjungan Raja Salman
Smith Alhadar ; Penasihat ISMES;
Direktur Eksekutif Institute for
Democracy Education
|
KOMPAS, 02 Maret 2017
Di tengah instabilitas kawasan Timur Tengah dan upaya
Kerajaan Arab Saudi melakukan transformasi ekonomi, Raja Salman bin Abdulaziz
al-Saud,berkunjung ke Indonesia. Kendati
ini kunjungan balasan atas kunjungan Presiden Joko Widodo ke Arab Saudi pada
2015, bisa dikatakan ini adalah kunjungan historis Raja Arab Saudi ke
Indonesia setelah kedatangan Raja Faisal, kakak tiri Salman, pada 1970.
Tingkat kepentingan dapat dilihat dari besarnya rombongan dan lamanya mereka
di Tanah Air.
Raja Salman tiba di Jakarta pada Rabu (1/3) bersama 1.500
orang, 15 menteri, dan 25 pangeran, dan akan berada di Jakarta selama tiga
hari untuk kunjungan resmi dan tujuh hari di Bali untuk berlibur.
Ada tiga hal yang ingin dicapai Kerajaan Arab Saudi di
bawah Raja Salman dalam kerja sama lebih erat dengan pemerintahan Jokowi-JK,
yaitu politik, ekonomi, dan kebudayaan.
Politik
Timur Tengah adalah kawasan paling panas di dunia. Arab
Saudi menghadapi perang saudara di Suriah, instabilitas di Irak, perang Yaman
di mana Arab Saudi terlibat, ketegangan hubungan Palestina-Israel, ketegangan
hubungan Kerajaan Bahrain dengan penduduk yang mayoritas Syiah, dan keresahan
warga minoritas Syiah di Arab Saudi sendiri. Semua persoalan ini terkait
dengan Iran, musuh bebuyutan Saudi.
Di Suriah, Saudi dan Iran bertarung memperebutkan
pengaruh. Iran mendukung rezim Bashar al-Assad, sementara Saudi mendukung
kelompok-kelompok oposisi Islamis. Di Irak, Saudi menjalin hubungan erat
dengan kaum Kurdi dan Arab Sunni untuk mengimbangi pemerintahan kaum Syiah
dukungan Iran. Di Yaman, Saudi memimpin koalisi Arab yang mendukung
pemerintah Abed Rabbo Mansour Hadi, menghajar pemberontak Syiah Houthi
sokongan Iran.
Saudi pun sempat mengirim tentara ke Bahrain untuk meredam
pemberontakan mayoritas kaum Syiah yang didukung Iran. Tak kalah penting
adalah kekecewaan Saudi atas dukungan Iran pada minoritas Syiah Arab Saudi.
Itu terlihat jelas saat Pemerintah Arab Saudi mengeksekusi mati ulama Syiah
Saudi, Syeikh Nimr al-Nimr, pada Januari 2016. Protes Iran atas eksekusi itu
berujung pada pemutusan hubungan diplomatik kedua negara.
Konflik Iran-Saudi juga terkait Palestina. Riyadh
melihatPalestina sebagai masalah Arab, sementara Teheran mengaitkan dengan
isu Islam. Tak heran jika Saudi menyokong pemerintahan Presiden Mahmoud Abbas
yang berbasis di Tepi Barat, sementara Iran mendukung pemerintahan Hamas yang
berbasis di Jalur Gaza. Dukungan Iran ini membuat Hamas bersama Jihad Islam
Palestina tetap radikal. Akibatnya, perdamaian dengan Israel yang
diidam-idamkan Saudi kian sulit diwujudkan.
Memang Saudi telah membangun pakta militer dengan Mesir
dan Jordania untuk menghadapi Iran. Selain itu, juga memperkuat kerja sama
angkatan laut dengan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) serta bersekutu dengan AS.
Namun, semua itu belum cukup.
Maka, Desember 2015, Saudi berinisiatif membangun aliansi
militer Islam untuk memerangi terorisme. Pusat komando ada di Riyadh.
Organisasi yang telah diikuti oleh 39 negara ini bertujuan memerangi Negara
Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Irak, Suriah, Mesir, Libya, Afganistan,
dan kelompok teror mana pun.
Sulit untuk tidak mengatakan bahwa aliansi militer Islam
ini lebih ditujukan untuk menghadang Iran dan proxy-nya di sejumlah negara
seperti Hizbullah dukungan Iran di Lebanon dan Houthi di Yaman.
”Ancaman” Iran dan ketidakpastian di Timur Tengah membuat
Saudi memandang perlunya membangun persahabatan lebih erat dengan banyak
negara, khususnya Indonesia, setelah Saudi tidak dapat membangun aliansi
dengan Rusia dan Tiongkok, serta Israel karena belum berdamai dengan
Palestina.
AS di bawah Presiden Barack Obama telah mengeluarkan Iran
dari isolasi dengan menandatangani kesepakatan nuklir (Juli 2015). Sebaliknya
Presiden AS Donald Trump mengambil sikap anti-Iran, dengan mengancam
membatalkan perjanjian nuklir yang juga ditandatangani oleh Rusia, China,
Inggris, Perancis, plus Jerman.
Belum lama ini AS menjatuhkan sanksi baru atas Iran
terkait dengan uji coba rudal balistik negeri itu. Namun, mengingat upaya AS
menghancurkan NIIS di Irak dan Suriah memerlukan Iran, sangat mungkin Trump
akan melunak sikapnya.
Maka, kerja sama politik dengan Indonesia penting bagi
Saudi untuk keamanan Saudi dan stabilisasi Timur Tengah. Indonesia yang tidak
terlibat perang di Yaman, bersikap netral dalam perang saudara Suriah, dan
berhubungan dekat dengan Iran, dapat berperan bagi perdamaian di
negeri-negeri bergolak itu.
Ekonomi
Ekonomi juga menjadi alasan penting kedatangan Raja Salman
dan rombongan ke Indonesia. Sejak tahun lalu, Arab Saudi melancarkan Rencana
Transformasi Ekonomi Nasional (Visi Arab Saudi 2030), yang intinya
meninggalkan basis minyak.
Turunnya harga minyak membuat ekonomi Saudi terpukul.
Paling tidak Saudi defisit anggaran 98 miliar dollar AS. Defisit terjadi
karena 75 persen APBN Saudi berasal dari minyak.
Untuk mentransformasikan ekonomi, Arab Saudi perlu
investasi asing di bidang infrastruktur, industri militer, perumahan,
pariwisata, pendidikan, dan kesehatan. Kendati dipandang ambisius,
diprakarsai oleh Wakil Putra Mahkota Muhammad bin Salman (putra Raja Salman),
Visi Saudi 2030 diyakini bisa dicapai dalam 14 tahun, saat diversifikasi
ekonomi tercapai dengan pendapatan per kapita lebih dari 30.000 dollar AS.
Dalam konteks inilah Raja Salman, para menteri, dan
ratusan pebisnis datang. Pasar Indonesia sebagai negara berpendapatan
menengah, anggota G-20, dan jumlah penduduk 250 juta, dipandang cukup
menggiurkan.
Selanjutnya kedua negara dapat meningkatkan kerja sama di
bidang pariwisata, perminyakan, perbankan, pendidikan, dan industri
kemiliteran. Indonesia juga harus ambil bagian dalam proyek-proyek
infrastruktur Saudi yang bernilai miliaran dollar AS.
Kebudayaan
Selama di Jakarta, Raja Salman diagendakan bertemu dengan
ormas-ormas Islam. Bukan tidak mungkin Saudi akan mengonkretkan rencana
pembangunan sekolah-sekolah di Indonesia via ormas-ormas yang dipercaya
Saudi. Rencana ini mungkin akan mendapat perlawanan dari kelompok Islam
moderat yang menganggap Wahabisme, yang dianut mayoritas penduduk Saudi,
sebagai ajaran radikal dan intoleran, walau sejak almarhum Raja Abdullah
berkuasa moderasi terhadap Wahabisme terus dipromosikan.
Misalnya, pada polisi akhlak (mutawin), yang anggotanya
mulai digantikan oleh anggota baru yang lebih toleran terhadap budaya luar.
Kaum perempuan diberi tempat dengan mengangkat anggota Dewan Syura (semacam
parlemen yang anggotanya diangkat raja) dari kalangan perempuan, serta
menunjuk perempuan sebagai wakil menteri.
Kerja sama Saudi dengan ormas-ormas Islam bisa mengarah
pada pembendungan pengaruh Syiah yang oleh Saudi dipandang sebagai alat Iran
menanamkan pengaruh di Indonesia.
Wahabisme dan Syiahisme memang berbeda. Keduanya adalah
pulau di antara lautan ahlu sunnah wal jamaah (Sunni). Wahabisme lebih
menekankan pada teks dengan mengabaikan peran figur, termasuk Nabi Muhammad
SAW sebagai penyampai wahyu saja (bahkan melarang merayakan Maulid dan ziarah
kubur wali). Syiahisme lebih menekankan pada figur (nabi, para imam, dan
figur suci lain), dan mengedepankan rasionalitas dengan ajaran yang
filosofis.
Di tengahnya adalahlautan kaum Sunni yang menganggap teks
Al Quran dan figur (Nabi dan para wali) sama-sama penting. Rasio penting,
tetapi wahyu lebih tinggi daripada rasio. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar