Beragama
dengan Bahagia
Iqbal Aji Daryono ; Praktisi Media Sosial; Penulis; Kini ia
tinggal sementara di Perth, Australia, dan bekerja sebagai buruh transportasi
|
DETIKNEWS, 28 Februari 2017
Dengan raganya yang mulai menua, ibu saya sudah menyimpan
beberapa keluhan kecil. Entah kolesterol entah asam urat entah apa, tak
begitu jelas buat saya. Yang jelas badannya sering pegal-pegal, semacam masuk
angin tapi bukan. Kalau pas parah-parahnya, sampai-sampai tangannya terpaksa
dia pukul-pukuli sendiri. Kasihan.
Mak'e, begitu saya memanggilnya, sudah mencoba minum
macam-macam. Mulai jeruk nipis, larutan seledri, jus melon, sampai minyak
ikan. Ada sih efeknya, tapi nggak sempurna-sempurna amat. Hingga kemudian dia
mencoba jeruk lemon, buah yang di kota Perth sini biasanya kami abaikan.
Ajaib, ternyata dengan rutin minum lemon, segala keluhan
Mak'e sirna jauh-jauh. Apa saja yang semula selalu dia ratapkan, kini tak
lagi pernah terdengar.
Maka wajar saja, Mak'e jadi begitu tergila-gila pada
lemon. Setiap kali lewat halaman belakang kompleks kami, di mana ada dua
pohon lemon tumbuh dan buahnya untuk warga kompleks, mata Mak'e selalu dengan
tajam mendeteksi keberadaan buah dahsyat itu. Setiap kali kami mau berkunjung
ke rumah teman yang terdeteksi punya pohon lemon, Mak'e selalu berpesan agar
dimintakan. Setiap kali Mak'e melihat pohon lemon di pinggir jalan, dengan
puluhan biji buah ranum bergelantungan (ya, di sini banyak orang menanamnya),
Mak'e tampak ngiler dan bergumam, "Walah, eman-eman, sayang banget ya
nggak dipetiki...."
Nah, syahdan, dalam kondisi batin yang mencintai lemon
satu setengah derajat di bawah cintanya kepada anak laki-lakinya, tiba-tiba
suatu senja Mak'e bercerita.
"Tadi sore waktu nemani Hayun main, aku nemu lemon
jatuh dari rumah di sebelah playground, kuning-kuning, seger-seger."
Hayun adalah anak saya, tujuh tahun umurnya. Saya menyimak
Mak'e sambil lalu, tentu juga sambil ikut senang mendengar kabar
membahagiakan yang statusnya dunia-harus-tahu itu. Tapi ternyata ada sambungannya,
"Tapi setelah aku kantongi dan mulai jalan pulang,
hatiku nggak tenang je, Le. Akhirnya aku kembalikan lagi."
"Lha ngopo, Mak? Kenapa?" saya bertanya, kali
ini jadi jauh lebih memerhatikan.
"Lha aku ki wis tuwo, sudah tua," sambung Mak'e.
"Kalau nanti ada barang yang ternyata nggak bener dan masuk ke perutku,
besok aku tanggung jawabnya di hadapan Gusti Allah tuh gimana...."
Omaigat. Saya tercekat, dan langsung menelan ludah.
Seteguk saja.
Lalu Mak'e mengingatkan tentang kisah hikmah seorang pemuda
yang menemukan buah apel di tepi sungai, memakannya, tapi karena galau
hatinya si pemuda menyusuri sungai berkilo-kilo, untuk menemukan siapa
pemilik pohon apel di hulu sana. Dan seterusnya.
Kali itu saya sudah tidak terlalu mendengarkan cerita tentang
si pemuda dan buah apel yang disampaikan emak saya. Yang ada di kepala dan
hati saya hanyalah perasaan bungah tak terkira, seperti ketika kita berjumpa
sahabat lama yang sudah belasan tahun tak bersua.
Saya sangat bahagia, bersyukur, dan merasa melepas rindu
yang tertahan lama. Sebab sejujurnya, beberapa masa belakangan ini saya agak
mengkhawatirkan kondisi batin Mak'e.
Ya, sejak dia pegang HP yang agak bagusan, lantas bisa
nonton Yutub dan Fesbukan, saya tahu bahwa banyak berita dan tontonan yang
diakses Mak'e adalah yang 'begitu-begitu'. Akibatnya, pernah misalnya, Mak'e
bilang kalau sudah nggak minat lagi mengikuti pengajian Bapak Yang Itu. Saya
merasa tahu sebabnya. Itu pasti karena Si Bapak Yang Itu sudah dituduh
liberal oleh mereka-mereka. Sebagai gantinya, Mak'e nonton Ustazah Anu dengan
tekun. Padahal saya ikut menguping, Sang Ustazah Anu dengan garang bilang,
"O, kalau yang itu sesat! Bukan Islam! Jangan diikuti!"
Belum lagi akun-akun dan fanpage di Fesbuk yang sering
dibuka Mak'e, banyak di antaranya yang sangat religius namun dari jenis yang
saya khawatir justru akan berpengaruh negatif bagi ketenangan batin,
kedamaian hati, dan spiritualitas Mak'e di usia senjanya.
Maka, ketika mendadak mendengar Mak'e bicara agama dari
sisi yang sangat spiritual semacam mengembalikan buah lemon temuan, saya lega
luar biasa. "Mak'e telah kembali," kira-kira begitu batin saya.
Memang sih, secara hukum agama, ada ulama yang membolehkan
makan buah yang jatuh di tempat umum. Tapi berhati-hati, menjaga diri agar
jangan sampai melakukan hal yang siapa tahu tidak disukai orang lain, adalah
nilai keberagamaan yang menurut saya begitu indah.
"Yo wis, bener banget Mak! Ya beragama tu seperti
itu! Sip tenan kuwi!" saya langsung menimpali dengan beringas, sambil berusaha
menutup-nutupi keterharuan saya.
Selang tak berapa lama dari peristiwa "Si Emak dan
Buah Lemonnya", saya datang ke pengajian warga Indonesia di Perth. Sore
itu yang ngisi pengajian adalah Pak Onny Kaji Edan. Ustadz bukan, ulama
bukan, kiai apalagi, jelas bukan. Hahaha. Tapi justru dari pengajian
bersahaja yang disampaikan kolega kami yang satu itu, saya merasa sejenis
perasaan sumringah dan gembira muncul lagi.
Pak Kaji bicara tentang hal yang sangat dekat, yaitu
tentang bagaimana mencari berkah dari restu orangtua. Tak ada ayat-ayat yang
dikutip di situ, tak ada penjelasan hukum-hukum agama di situ, namun yang
saya simak justru sesederhana "Jadi kuncinya, bagaimana menjadikan
segala hal yang menggembirakan hati orangtua kita itu identik dengan diri
kita. Misalnya ibu kita sedang makan roti, maka sebisa mungkin waktu ibu kita
memakannya, beliau mengingat kita, 'Oh ini roti ini mirip yang dikasih anakku
itu....' Nah, saya menjalani laku demikian, dan sungguh kelancaran dan
keberkahan hidup selalu saya dapatkan!"
Oh, aduh. Ini dia. Sudah lamaaa sekali rasanya saya tidak
mendengar pengajian model yang begini ini. Kalau boleh saya menyebutnya,
inilah namanya contoh beragama. Sontak saya membandingkan, bagaimana banyak
orang belajar filsafat, tapi malah gagal berfilsafat. Bagaimana orang belajar
ilmu sastra, tapi belum tentu berhasil bersastra. Bagaimana orang suntuk
siang malam mempelajari ilmu tasawuf, hafal luar kepala khazanah sufisme dari
A sampai Z, tapi justru jauh dari perilaku bertasawuf.
Demikian pula, betapa banyaknya orang belajar ilmu agama,
namun malah lupa bagaimana caranya beragama.
Apa yang saya rasakan dari peristiwa Mak'e dan lemonnya,
juga dari pengajian sederhana tentang bagaimana mencari berkah dari
kebahagiaan orangtua, menjadi pelepas rindu saya akan pemandangan "laku
beragama".
Hari-hari belakangan ini, tahun-tahun terakhir ini, entah
kenapa saya merasa jauh sekali dari nikmatnya beragama. Aktivitas menjalankan
agama yang saya jumpai lebih didominasi oleh pembelaan atas eksistensi agama,
perasaan terancam dan tertindas mewakili agama, kecurigaan atas ini-itu yang
diyakini mengancam agama.
Kata kunci yang tak henti terdengar bukan lagi seperti
masa dulu, ketika guru ngaji di masjid kampung saya bicara tawakal, sabar,
atau ikhlas. Yang diangkat bukan lagi kisah semacam Uwais Al-Qarni yang ke
mana-mana menggendong ibunya yang lumpuh dan buta, bukan cerita tentang
seorang pelacur yang diampuni Tuhan karena memberi minum seekor anjing yang
sekarat kehausan, bukan pula nasihat keutamaan menyingkirkan duri dari jalan
agar orang lain tidak menginjaknya lantas kesakitan.
Paket yang muncul bersama label agama sekarang ini rasanya
melulu tentang... harga diri, marwah, ghiroh, dan entah kata-kata apa lagi
yang menumbuhkan suasana tegang tak henti-henti, keinginan untuk melawan dan
melawan (entah siapa yang mau dilawan), juga sikap penolakan kepada banyak
hal.
"Lho! Emangnya apanya yang salah? Agama bukan cuma
mengajarkan kelembutan! Tapi juga ketegasan dan keberanian!"
Iya, iya. Saya juga tidak sedang mengkampanyekan
depolitisasi agama kok, Mas. Saya tidak sedang menyalahkan, apalagi berupaya
merongrong dan melemahkan dan sebagainya dan seterusnya. Saya cuma bilang,
saya merasa rindu dengan suasana dulu. Dan ternyata kerinduan itu sedikit terobati
dengan beberapa peristiwa kecil yang saya temui.
Apa iya sih, perkara rindu saja harus diperdebatkan sampai
ke twitwar? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar