Demokrasi
Kebablasan
Azyumardi Azra ;
Guru
Besar Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
KOMPAS, 28 Februari 2017
Pernyataan Presiden Joko Widodo, pekan lalu, tentang
”demokrasi kebablasan” cukup menyentak. Pernyataan ”demokrasi kebablasan”
pada tahun-tahun awal era Reformasi sering terdengar, tetapi tidak belakangan
ini.
Dalam sambutan pada acara Pengukuhan Pengurus Dewan
Pimpinan Pusat Partai Hati Nurani Rakyat, Presiden menyatakan, ”Banyak yang
bertanya kepada saya, apakah demokrasi kita sudah terlalu bebas dan
kebablasan?”
Menjawab pertanyaan itu, Jokowi menya- takan, ”Saya jawab
ya. Demokrasi kita sudah kebablasan dan praktik demokrasi politik yang kita
laksanakan telah membuka terjadi- nya artikulasi politik ekstrem, seperti
libe- ralisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme, terorisme, dan
ajaran lain yang bertentangan dengan ideologi Pancasila.”
Pernyataan Presiden Jokowi itu tampaknya terkait eskalasi
politik akibat beberapa aksi dalam jumlah besar yang seolah
sambung-menyambung sejak 4 November 2016, 2 Desember 2016, dan terakhir 21
Februari 2017. Berbagai aksi itu cukup kental bernuansa sektarianisme
religio-politik, khususnya terkait dengan kasus dugaan penodaan agama Basuki
Tjahaja Purnama, gubernur petahana DKI Jakarta yang juga maju sebagai calon
gubernur (cagub).
Namun, sejauh menyangkut demokrasi Indonesia, fenomena
berbagai aksi massa mencerminkan bertahannya mobokrasi (kekuatan massa) yang
cenderung memaksakan kehendak. Akan tetapi, fenomena ini hanya setengah
cerita (half of story). Jika setengah cerita ini cukup mencemaskan,
sebaliknya cerita setengah lagi cukup melegakan dan menjanjikan masa depan
demokrasi Indonesia lebih baik.
Walau aksi massa ”hanya” setengah cerita, jelas kekhawatiran
terus merebak, seperti tersirat dari pernyataan Presiden Jokowi tadi. Tak
kurang nervous adalah kalangan sarjana asing dan jurnalis media
internasional. Karena nervous, mereka kemudian terjerumus ke dalam pandangan
dan kesimpulan sesat bahwa demokrasi Indonesia kini tengah menuju ujung gelap
(dead-end).
Padahal, pihak asing ini sebelumnya sering menyatakan
Indonesia sebagai show case, contoh sukses demokrasi yang berjalan seiring
dengan Islam dan kaum Muslim sebagai penduduk mayoritas. Warga Indonesia juga
percaya demokrasi adalah sistem politik lebih cocok bagi Indonesia yang
sangat majemuk.
Namun, sekali lagi, ada setengah cerita lain tentang
demokrasi Indonesia. Cerita itu berita baik soal demokrasi substantif dan
prosedural yang kian membudaya. Demokrasi sebagai sistem politik, proses, dan
prosedur untuk mendapatkan pemimpin secara damai dan beradab makin jadi
praktik lazim.
Ini terlihat jelas dalam pilkada serentak 2017 di 101
daerah yang berlangsung damai sejak kampanye sampai pemungutan suara.
Kericuhan terjadi terbatas hanya di beberapa daerah yang terdapat selisih
suara relatif ketat, seperti di Kabupaten Intan Jaya yang menewaskan seorang
warga (23 Februari).
Makanya, seperti ditegaskan Presiden Jokowi dalam
pertemuan bisnis dengan pengusaha Australia di Sydney (25/2), ”Jangan takut
pilkada.” Presiden menyatakan, pengusaha Australia tak usah khawatir dengan
tekanan politik akibat pilkada. ”Semuanya akan berjalan dengan baik.
Percayalah, semua (tekanan politik) akan berakhir setelah itu (pilkada)
selesai” (Kompas, 26/2).
Jelas Pilkada 2017 dan jika juga ditarik ke belakang,
Pilkada 2016, Pemilu Legislatif 2014 dan Pemilu Presiden 2014, tidak sempurna
100 persen. Masih ada cacat, misalnya menyangkut daftar pemilih tetap (DPT)
yang tidak lengkap atau ada pemilih yang tidak bisa mencoblos karena alasan
administratif.
Akan tetapi juga jelas, secara umum, pilkada dan pemilu
berlangsung sangat aman dan damai. Jika ada kekerasan, dapat dikatakan aksi
main hakim sendiri terkait pilkada dan pemilu relatif amat terbatas. Tensi
politik jelas meningkat sebelum serta sesudah pilkada dan pemilu. Tensi dan
eskalasi itu juga sering ditandai ”perang kata” berbau SARA, baik melalui
media konvensional maupun virtual, khususnya media sosial.
Di sini, ada juga berita baik terkait perang kata atau
penyebaran berita palsu (hoaks) bernuansa SARA yang kemudian sering menjadi
kasus pencemaran nama baik. Berbagai kasus terkait hal itu juga tidak
berujung kekerasan. Sebaliknya, berbagai pihak terkait membawanya ke proses
hukum.
Akan tetapi, jelas penegakan hukum belum sepenuhnya sesuai
harapan. Banyak warga pencinta demokrasi komplain, aparat penegak hukum belum
konsisten atau seolah melakukan ”pembiaran” terjadi pelanggaran hukum atas
nama kebebasan dan demokrasi. Akibatnya, banyak warga lain tidak terjamin
haknya, misalnya menikmati fasilitas umum (jalan raya atau taman) secara
nyaman tanpa gangguan akibat aksi massa.
Karena itu, penegakan hukum yang tegas, konsisten,
sekaligus manusiawi amat krusial untuk mencegah terjadinya demokrasi
kebablasan. Hanya dengan cara itu dapat tercipta keseimbangan antara hak
kebebasan ekspresi demokrasi dan kewajiban memelihara ketertiban dan keamanan
sekaligus menghormati hak warga lain.
Memelihara keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam
ekspresi demokrasi adalah bagian dari keadaban publik yang penting dan
krusial untuk mencegah demokrasi kebablas- an. Kini, saatnya seluruh warga
kembali memegang dan menegakkan keadaban publik guna memperkuat demokrasi
berkeadaban. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar