Rabu, 01 Maret 2017

Demokrasi Kebablasan

Demokrasi Kebablasan
Azyumardi Azra  ;    Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
                                                     KOMPAS, 28 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pernyataan Presiden Joko Widodo, pekan lalu, tentang ”demokrasi kebablasan” cukup menyentak. Pernyataan ”demokrasi kebablasan” pada tahun-tahun awal era Reformasi sering terdengar, tetapi tidak belakangan ini.

Dalam sambutan pada acara Pengukuhan Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Hati Nurani Rakyat, Presiden menyatakan, ”Banyak yang bertanya kepada saya, apakah demokrasi kita sudah terlalu bebas dan kebablasan?”

Menjawab pertanyaan itu, Jokowi menya- takan, ”Saya jawab ya. Demokrasi kita sudah kebablasan dan praktik demokrasi politik yang kita laksanakan telah membuka terjadi- nya artikulasi politik ekstrem, seperti libe- ralisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme, terorisme, dan ajaran lain yang bertentangan dengan ideologi Pancasila.”

Pernyataan Presiden Jokowi itu tampaknya terkait eskalasi politik akibat beberapa aksi dalam jumlah besar yang seolah sambung-menyambung sejak 4 November 2016, 2 Desember 2016, dan terakhir 21 Februari 2017. Berbagai aksi itu cukup kental bernuansa sektarianisme religio-politik, khususnya terkait dengan kasus dugaan penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama, gubernur petahana DKI Jakarta yang juga maju sebagai calon gubernur (cagub).

Namun, sejauh menyangkut demokrasi Indonesia, fenomena berbagai aksi massa mencerminkan bertahannya mobokrasi (kekuatan massa) yang cenderung memaksakan kehendak. Akan tetapi, fenomena ini hanya setengah cerita (half of story). Jika setengah cerita ini cukup mencemaskan, sebaliknya cerita setengah lagi cukup melegakan dan menjanjikan masa depan demokrasi Indonesia lebih baik.

Walau aksi massa ”hanya” setengah cerita, jelas kekhawatiran terus merebak, seperti tersirat dari pernyataan Presiden Jokowi tadi. Tak kurang nervous adalah kalangan sarjana asing dan jurnalis media internasional. Karena nervous, mereka kemudian terjerumus ke dalam pandangan dan kesimpulan sesat bahwa demokrasi Indonesia kini tengah menuju ujung gelap (dead-end).

Padahal, pihak asing ini sebelumnya sering menyatakan Indonesia sebagai show case, contoh sukses demokrasi yang berjalan seiring dengan Islam dan kaum Muslim sebagai penduduk mayoritas. Warga Indonesia juga percaya demokrasi adalah sistem politik lebih cocok bagi Indonesia yang sangat majemuk.

Namun, sekali lagi, ada setengah cerita lain tentang demokrasi Indonesia. Cerita itu berita baik soal demokrasi substantif dan prosedural yang kian membudaya. Demokrasi sebagai sistem politik, proses, dan prosedur untuk mendapatkan pemimpin secara damai dan beradab makin jadi praktik lazim.

Ini terlihat jelas dalam pilkada serentak 2017 di 101 daerah yang berlangsung damai sejak kampanye sampai pemungutan suara. Kericuhan terjadi terbatas hanya di beberapa daerah yang terdapat selisih suara relatif ketat, seperti di Kabupaten Intan Jaya yang menewaskan seorang warga (23 Februari).

Makanya, seperti ditegaskan Presiden Jokowi dalam pertemuan bisnis dengan pengusaha Australia di Sydney (25/2), ”Jangan takut pilkada.” Presiden menyatakan, pengusaha Australia tak usah khawatir dengan tekanan politik akibat pilkada. ”Semuanya akan berjalan dengan baik. Percayalah, semua (tekanan politik) akan berakhir setelah itu (pilkada) selesai” (Kompas, 26/2).

Jelas Pilkada 2017 dan jika juga ditarik ke belakang, Pilkada 2016, Pemilu Legislatif 2014 dan Pemilu Presiden 2014, tidak sempurna 100 persen. Masih ada cacat, misalnya menyangkut daftar pemilih tetap (DPT) yang tidak lengkap atau ada pemilih yang tidak bisa mencoblos karena alasan administratif.

Akan tetapi juga jelas, secara umum, pilkada dan pemilu berlangsung sangat aman dan damai. Jika ada kekerasan, dapat dikatakan aksi main hakim sendiri terkait pilkada dan pemilu relatif amat terbatas. Tensi politik jelas meningkat sebelum serta sesudah pilkada dan pemilu. Tensi dan eskalasi itu juga sering ditandai ”perang kata” berbau SARA, baik melalui media konvensional maupun virtual, khususnya media sosial.

Di sini, ada juga berita baik terkait perang kata atau penyebaran berita palsu (hoaks) bernuansa SARA yang kemudian sering menjadi kasus pencemaran nama baik. Berbagai kasus terkait hal itu juga tidak berujung kekerasan. Sebaliknya, berbagai pihak terkait membawanya ke proses hukum.

Akan tetapi, jelas penegakan hukum belum sepenuhnya sesuai harapan. Banyak warga pencinta demokrasi komplain, aparat penegak hukum belum konsisten atau seolah melakukan ”pembiaran” terjadi pelanggaran hukum atas nama kebebasan dan demokrasi. Akibatnya, banyak warga lain tidak terjamin haknya, misalnya menikmati fasilitas umum (jalan raya atau taman) secara nyaman tanpa gangguan akibat aksi massa.

Karena itu, penegakan hukum yang tegas, konsisten, sekaligus manusiawi amat krusial untuk mencegah terjadinya demokrasi kebablasan. Hanya dengan cara itu dapat tercipta keseimbangan antara hak kebebasan ekspresi demokrasi dan kewajiban memelihara ketertiban dan keamanan sekaligus menghormati hak warga lain.

Memelihara keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam ekspresi demokrasi adalah bagian dari keadaban publik yang penting dan krusial untuk mencegah demokrasi kebablas- an. Kini, saatnya seluruh warga kembali memegang dan menegakkan keadaban publik guna memperkuat demokrasi berkeadaban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar