"Quo
Vadis" Polisi Sipil
Bambang Widodo Umar ; Guru
Besar Sosiologi Hukum FISIP-UI;
Pengamat Kepolisian
|
KOMPAS,
30 Juli 2015
Meskipun Polri telah menjadi sipil, dalam artian tidak
menjadi bagian dari militer sesuai Tap MPR Nomor VI/MPR-RI/2000, persoalan
relasi antara polisi dan masyarakat dalam paradigma "polisi sipil"
masih kabur.
Satjipto (2004) menjelaskan bahwa ide polisi sipil sebagai
bentuk kepolisian dalam negara demokrasi sesungguhnya sudah dicanangkan oleh
Kapolri pertama, Komisaris Jenderal RS Soekanto. Ide itu menuntut perubahan
mendasar wujud kepolisian dari bentuk polisi kolonial menjadi polisi dari
suatu negara yang merdeka. Sayang, ide itu belum bisa diwujudkan secara benar
sampai hari ini, bahkan di lingkungan kepolisian sendiri ada yang tidak
setuju.
Gambaran sekilas ini tentu tak menggembirakan jika dilihat
dari upaya membangun kepolisian yang profesional. Terlebih dalam langkah
panjang memisahkan Polri dari cakupan struktur, kultur, dan konten militer
yang hingga kini masih berupa bayang-bayang ketimbang realitas. Pembaruan
yang dilaksanakan elite kepolisian dalam rangka reformasi Polri pun belum
sejalan dengan paradigma polisi sipil.
Tampaknya cukup sulit mewujudkan polisi sipil dalam
konteks politik, gambaran sosok polisi yang diharapkan secara normatif,
secara de facto pun sering berbeda. Dalam bernegara, wajah polisi cenderung:
(1) memiliki sikap seperti aktor politik, (2) menjadi aktor pemegang monopoli
kekerasan yang secara politik dapat digunakan untuk alat dominasi politik,
(3) menjadi kekuatan yang dapat menggunakan tindakan hukum sebagai alat
politik, (4) merupakan sisi gelap dari sistem dominasi negara di mana polisi
dikonstruksikan secara tidak langsung ikut menggiring grouping politics.
Dengan struktur polisi yang dikonsepsikan ini tentu berbagai tindak kekerasan
menjadi tak terhindarkan.
Dari sini muncul kekhawatiran diarahkannya kembali
kepolisian ke dalam "rezim kekerasan negara", apalagi jika dalam
pengorganisasian dan pendidikannya disatukan dengan militer yang sangat
berbeda sifat dasar kelembagaannya.
Kekerasan di sini dimaksud dalam arti luas, tidak saja
sebagai bentuk tindakan fisik mencederai orang di luar aturan UU atau
tindakan brutal, tetapi juga penciptaan "rasa ketakutan" dan
"ketidakberdayaan" masyarakat. Misalnya, polisi mencari-cari
kesalahan orang atau dengan bahasa populer mengkriminalisasi seseorang.
Dengan begitu upaya pemisahan Polri dari TNI menjadi serba tak jelas.
Masalah ini dimungkinkan terjadi tak lepas dari kebutuhan
politik pragmatis yang mengabaikan aspek mendasar dari kebutuhan pembaruan
kepolisian secara keseluruhan. Kelahiran beberapa Tap MPR dan pembaruan UU
Kepolisian menjadi tampak paradoks dari realitas politik.
Perdebatan atas ketentuan hukum pun tak juga membebaskan
dari pragmatisme penggunaan polisi dalam ruang politik. Akibatnya, produk
hukum yang lahir tak mencerminkan persoalan pada aras mana seharusnya
kepolisian diletakkan dalam sistem ketatanegaraan, standar kerja, mandat,
wewenang, dan prinsip etik kerja.
Menuju polisi sipil
Ada empat parameter untuk mendudukkan polisi sipil: (1)
legitimasi (legitimacy); (2) fungsi
(function); (3) struktur (structure); dan (4) budaya (culture). Parameter
legitimasi mengacu dari mana sebaiknya polisi mendapatkan mandat kekuasaan
dan kepada siapa seharusnya polisi bertanggung jawab. Parameter fungsi
menunjukkan secara jelas dan tegas bagaimana polisi diperankan sebagai
pengelola kamtibmas atau penegak hukum.
Parameter struktur menunjukkan bagaimana organisasi dan
kekuasaan polisi diatur secara seimbang dalam bernegara. Parameter budaya
menunjukkan bagaimana sikap perilaku polisi sesuai dengan nilai-nilai sosial
budaya di dalam masyarakat.
Menurut Farouk Muhammad (2004), polisi sipil (civilized
police) adalah suatu konsep bukan institusi. Sebagai suatu konsep, polisi
sipil mempersyaratkan sejumlah faktor sebagai indikator yang tidak mungkin
bisa ditemukan dalam negara otoriter yang acap kali dipandang sebagai police
state. Dengan landasan pemikiran ini polisi sipil memiliki ciri profesional
dan akuntabel.
Prinsip profesional mengacu pada kemampuan: (1)
menggunakan pengetahuan dan keahlian berdasarkan pendidikan dan latihan, (2)
memberikan layanan keamanan terbaik, (3) otonom, (4) kontrol kuat di dalam
organisasi, (5) mengembangkan profesinya melalui asosiasi, (6) memiliki kode
etik, (7) memiliki kebanggaan profesi, (8) profesi polisi sebagai suatu
pengabdian, dan (9) bertanggung jawab atas monopoli keahlian.
Adapun akuntabel ditandai oleh kesediaan polisi menerima
pengawasan yang kuat atas kewenangan yang diberikan. Tiga elemen
akuntabilitas yang harus diterapkan pada lembaga kepolisian: (1) answerability, kewajiban polisi untuk
memberikan informasi dan penjelasan atas segala apa yang mereka lakukan
kepada masyarakat, (2) enforcement,
keberanian polisi menerapkan sanksi kepada pemegang kekuasaan jika mereka
mangkir dari tugas-tugas negara/publik, (3) punishability, ketulusan polisi untuk menerima sanksi jika mereka
terbukti melanggar code of conduct
atau tindak pidana.
Dengan demikian, negara demokrasi membutuhkan polisi yang
mampu berperan sebagai pengawal nilai-nilai sipil. Nilai-nilai itu dirumuskan
dalam hak asasi manusia yang dijamin sebagai hukum positif (the guardian of civilian values).
Dalam tugas, polisi mengedepankan pendekatan kemanusiaan yang secara luas
dikaitkan dengan nilai-nilai peradaban (civilization)
dan keadaban (civility).
Dengan kata lain, polisi sipil adalah polisi yang beradab,
bukan polisi yang sewenang-wenang. Pertimbangan tindakan polisi tidak
semata-mata didasarkan pada nilai-nilai kekuasaan yang dimiliki atau hukum
positif semata, sekalipun pada hal-hal tertentu diperbolehkan. Penghargaan
kepada masyarakat sebagai orang yang bermartabat adalah ciri utama bagi
kinerja polisi sipil. Jadi polisi sipil merupakan wakil dari kepentingan
masyarakat sipil, bukan wakil dari kepentingan elite politik tertentu. Meski
lembaganya dibentuk melalui kebijakan politik, sikap perilakunya mengayomi
semua pihak.
Dari gambaran itu tampak dinamika polisi yang sedang
berlangsung dalam proses politik sekarang ini belum mencerminkan sebuah
paradigma polisi sipil dalam sistem bernegara yang bertumpu pada masyarakat
sipil yang kuat. Seiring hal itu, elite polisi pun masih kuat mempertahankan
otonomi kepolisian secara luas, posisi kepolisian di bawah presiden,
mempertahankan struktur vertikalistis dalam fungsi, tugas, peranan,
kewenangan dan pengawasan, serta kewenangan yang bersifat otonom dalam
memenuhi kebutuhan dan pemenuhannya (exclusive).
Kondisi demikian sesungguhnya menggambarkan hakikat
kepolisian yang masih merupakan bagian dari rezimentasi kekuasaan negara yang
cenderung menjauhkan diri dari kapasitas kontrol masyarakat. Bahkan, lebih
jauh bisa dikatakan model kepolisian seperti ini meletakkan dirinya sebagai
aktor yang berada di atas masyarakat dan menjadi salah satu sumber
pengendalian kekuasaan negara. Sampai di sini tentu sulit menemukan jawaban
menggembirakan atas upaya bagaimana membangun polisi sipil dalam wilayah
masyarakat sipil yang kuat.
Dari analisis masalah kepolisian di atas konsekuensi
strategis untuk membangun polisi sipil di masa depan yang perlu diperhatikan
mulai saat ini adalah: (1) legitimasi Polri dalam UU Kepolisian didudukkan
secara seimbang antara otoritas negara dan otoritas masyarakat sipil, (2)
fungsi utama kepolisian adalah pengelola kamtibmas, di samping penegak hukum,
dan community based policing
merupakan pendekatan dengan masyarakat adat/lokal, (3) struktur kepolisian
disusun non-vertikalistis, sesuai sifat pluralisme masyarakat, dan (4)
nilai-nilai Tri Brata menjadi landasan kepemimpinan ataupun seluruh aspek
organisasi dan manajemen kepolisian.
Belum mendasar
Pandangan ini sama sekali tak bermaksud tak menghargai
kemajuan atas upaya penting yang telah dilakukan elite kepolisian dalam
memperbaiki citranya. Namun, jika melihat upaya-upaya yang telah dilakukan
tampak belum cukup mendasar dalam membangun polisi sipil ketika diletakkan
pada konsepsi kepolisian dalam ruang negara yang masih mendekap dirinya
sebagai instrumen politik.
Karena itu, untuk mewujudkan polisi sipil diperlukan
"kebijakan politik" sebagai keseriusan pencapaiannya. Di sisi lain, pihak kepolisian sendiri
mesti berani ambil sikap untuk melepaskan diri dari pembiusan politik yang
sangat diharamkan dalam negara demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar