Sabtu, 01 Agustus 2015

"Quo Vadis" Polisi Sipil

"Quo Vadis" Polisi Sipil

Bambang Widodo Umar  ;  Guru Besar Sosiologi Hukum FISIP-UI;
Pengamat Kepolisian
KOMPAS, 30 Juli 2015

                                                                                                                                     
                                                

Meskipun Polri telah menjadi sipil, dalam artian tidak menjadi bagian dari militer sesuai Tap MPR Nomor VI/MPR-RI/2000, persoalan relasi antara polisi dan masyarakat dalam paradigma "polisi sipil" masih kabur.

Satjipto (2004) menjelaskan bahwa ide polisi sipil sebagai bentuk kepolisian dalam negara demokrasi sesungguhnya sudah dicanangkan oleh Kapolri pertama, Komisaris Jenderal RS Soekanto. Ide itu menuntut perubahan mendasar wujud kepolisian dari bentuk polisi kolonial menjadi polisi dari suatu negara yang merdeka. Sayang, ide itu belum bisa diwujudkan secara benar sampai hari ini, bahkan di lingkungan kepolisian sendiri ada yang tidak setuju.

Gambaran sekilas ini tentu tak menggembirakan jika dilihat dari upaya membangun kepolisian yang profesional. Terlebih dalam langkah panjang memisahkan Polri dari cakupan struktur, kultur, dan konten militer yang hingga kini masih berupa bayang-bayang ketimbang realitas. Pembaruan yang dilaksanakan elite kepolisian dalam rangka reformasi Polri pun belum sejalan dengan paradigma polisi sipil.

Tampaknya cukup sulit mewujudkan polisi sipil dalam konteks politik, gambaran sosok polisi yang diharapkan secara normatif, secara de facto pun sering berbeda. Dalam bernegara, wajah polisi cenderung: (1) memiliki sikap seperti aktor politik, (2) menjadi aktor pemegang monopoli kekerasan yang secara politik dapat digunakan untuk alat dominasi politik, (3) menjadi kekuatan yang dapat menggunakan tindakan hukum sebagai alat politik, (4) merupakan sisi gelap dari sistem dominasi negara di mana polisi dikonstruksikan secara tidak langsung ikut menggiring grouping politics. Dengan struktur polisi yang dikonsepsikan ini tentu berbagai tindak kekerasan menjadi tak terhindarkan.

Dari sini muncul kekhawatiran diarahkannya kembali kepolisian ke dalam "rezim kekerasan negara", apalagi jika dalam pengorganisasian dan pendidikannya disatukan dengan militer yang sangat berbeda sifat dasar kelembagaannya.

Kekerasan di sini dimaksud dalam arti luas, tidak saja sebagai bentuk tindakan fisik mencederai orang di luar aturan UU atau tindakan brutal, tetapi juga penciptaan "rasa ketakutan" dan "ketidakberdayaan" masyarakat. Misalnya, polisi mencari-cari kesalahan orang atau dengan bahasa populer mengkriminalisasi seseorang. Dengan begitu upaya pemisahan Polri dari TNI menjadi serba tak jelas.

Masalah ini dimungkinkan terjadi tak lepas dari kebutuhan politik pragmatis yang mengabaikan aspek mendasar dari kebutuhan pembaruan kepolisian secara keseluruhan. Kelahiran beberapa Tap MPR dan pembaruan UU Kepolisian menjadi tampak paradoks dari realitas politik.

Perdebatan atas ketentuan hukum pun tak juga membebaskan dari pragmatisme penggunaan polisi dalam ruang politik. Akibatnya, produk hukum yang lahir tak mencerminkan persoalan pada aras mana seharusnya kepolisian diletakkan dalam sistem ketatanegaraan, standar kerja, mandat, wewenang, dan prinsip etik kerja.

Menuju polisi sipil

Ada empat parameter untuk mendudukkan polisi sipil: (1) legitimasi (legitimacy);  (2) fungsi (function); (3) struktur (structure); dan (4) budaya (culture). Parameter legitimasi mengacu dari mana sebaiknya polisi mendapatkan mandat kekuasaan dan kepada siapa seharusnya polisi bertanggung jawab. Parameter fungsi menunjukkan secara jelas dan tegas bagaimana polisi diperankan sebagai pengelola kamtibmas atau penegak hukum.

Parameter struktur menunjukkan bagaimana organisasi dan kekuasaan polisi diatur secara seimbang dalam bernegara. Parameter budaya menunjukkan bagaimana sikap perilaku polisi sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya di dalam masyarakat.

Menurut Farouk Muhammad (2004), polisi sipil (civilized police) adalah suatu konsep bukan institusi. Sebagai suatu konsep, polisi sipil mempersyaratkan sejumlah faktor sebagai indikator yang tidak mungkin bisa ditemukan dalam negara otoriter yang acap kali dipandang sebagai police state. Dengan landasan pemikiran ini polisi sipil memiliki ciri profesional dan akuntabel.

Prinsip profesional mengacu pada kemampuan: (1) menggunakan pengetahuan dan keahlian berdasarkan pendidikan dan latihan, (2) memberikan layanan keamanan terbaik, (3) otonom, (4) kontrol kuat di dalam organisasi, (5) mengembangkan profesinya melalui asosiasi, (6) memiliki kode etik, (7) memiliki kebanggaan profesi, (8) profesi polisi sebagai suatu pengabdian, dan (9) bertanggung jawab atas monopoli keahlian.

Adapun akuntabel ditandai oleh kesediaan polisi menerima pengawasan yang kuat atas kewenangan yang diberikan. Tiga elemen akuntabilitas yang harus diterapkan pada lembaga kepolisian: (1) answerability, kewajiban polisi untuk memberikan informasi dan penjelasan atas segala apa yang mereka lakukan kepada masyarakat, (2) enforcement, keberanian polisi menerapkan sanksi kepada pemegang kekuasaan jika mereka mangkir dari tugas-tugas negara/publik, (3) punishability, ketulusan polisi untuk menerima sanksi jika mereka terbukti melanggar code of conduct atau tindak pidana.

Dengan demikian, negara demokrasi membutuhkan polisi yang mampu berperan sebagai pengawal nilai-nilai sipil. Nilai-nilai itu dirumuskan dalam hak asasi manusia yang dijamin sebagai hukum positif (the guardian of civilian values). Dalam tugas, polisi mengedepankan pendekatan kemanusiaan yang secara luas dikaitkan dengan nilai-nilai peradaban (civilization) dan keadaban (civility).

Dengan kata lain, polisi sipil adalah polisi yang beradab, bukan polisi yang sewenang-wenang. Pertimbangan tindakan polisi tidak semata-mata didasarkan pada nilai-nilai kekuasaan yang dimiliki atau hukum positif semata, sekalipun pada hal-hal tertentu diperbolehkan. Penghargaan kepada masyarakat sebagai orang yang bermartabat adalah ciri utama bagi kinerja polisi sipil. Jadi polisi sipil merupakan wakil dari kepentingan masyarakat sipil, bukan wakil dari kepentingan elite politik tertentu. Meski lembaganya dibentuk melalui kebijakan politik, sikap perilakunya mengayomi semua pihak.

Dari gambaran itu tampak dinamika polisi yang sedang berlangsung dalam proses politik sekarang ini belum mencerminkan sebuah paradigma polisi sipil dalam sistem bernegara yang bertumpu pada masyarakat sipil yang kuat. Seiring hal itu, elite polisi pun masih kuat mempertahankan otonomi kepolisian secara luas, posisi kepolisian di bawah presiden, mempertahankan struktur vertikalistis dalam fungsi, tugas, peranan, kewenangan dan pengawasan, serta kewenangan yang bersifat otonom dalam memenuhi kebutuhan dan pemenuhannya (exclusive).

Kondisi demikian sesungguhnya menggambarkan hakikat kepolisian yang masih merupakan bagian dari rezimentasi kekuasaan negara yang cenderung menjauhkan diri dari kapasitas kontrol masyarakat. Bahkan, lebih jauh bisa dikatakan model kepolisian seperti ini meletakkan dirinya sebagai aktor yang berada di atas masyarakat dan menjadi salah satu sumber pengendalian kekuasaan negara. Sampai di sini tentu sulit menemukan jawaban menggembirakan atas upaya bagaimana membangun polisi sipil dalam wilayah masyarakat sipil yang kuat. 

Dari analisis masalah kepolisian di atas konsekuensi strategis untuk membangun polisi sipil di masa depan yang perlu diperhatikan mulai saat ini adalah: (1) legitimasi Polri dalam UU Kepolisian didudukkan secara seimbang antara otoritas negara dan otoritas masyarakat sipil, (2) fungsi utama kepolisian adalah pengelola kamtibmas, di samping penegak hukum, dan community based policing merupakan pendekatan dengan masyarakat adat/lokal, (3) struktur kepolisian disusun non-vertikalistis, sesuai sifat pluralisme masyarakat, dan (4) nilai-nilai Tri Brata menjadi landasan kepemimpinan ataupun seluruh aspek organisasi dan manajemen kepolisian.

Belum mendasar

Pandangan ini sama sekali tak bermaksud tak menghargai kemajuan atas upaya penting yang telah dilakukan elite kepolisian dalam memperbaiki citranya. Namun, jika melihat upaya-upaya yang telah dilakukan tampak belum cukup mendasar dalam membangun polisi sipil ketika diletakkan pada konsepsi kepolisian dalam ruang negara yang masih mendekap dirinya sebagai instrumen politik.

Karena itu, untuk mewujudkan polisi sipil diperlukan "kebijakan politik" sebagai keseriusan pencapaiannya.  Di sisi lain, pihak kepolisian sendiri mesti berani ambil sikap untuk melepaskan diri dari pembiusan politik yang sangat diharamkan dalam negara demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar