Sabtu, 01 Agustus 2015

HAM dan Keadilan Transisional

HAM dan Keadilan Transisional

Artidjo Alkostar  ;  Hakim Agung/Ketua Kamar Pidana  Mahkamah Agung;
Dosen Fakultas Hukum UII Yogyakarta
KOMPAS, 30 Juli 2015

                                                                                                                                     
                                                

Sudah menjadi hukum sejarah bahwa setiap terjadi  pelanggaran berat hak asasi manusia, genosida, kejahatan perang, pergantian rezim kekuasaan otoriter menjadi pemerintahan yang demokratis melalui revolusi atau reformasi selalu muncul permasalahan krisis kemanusiaan dan keadilan.

Koeksistensi kekuasaan otoriter dengan korupsi politik menuntut adanya tindakan apa saja yang dapat memproteksi kelangsungan kekuasaan politik yang korup dan konglomerasi ekonomi yang mendukungnya. Segala upaya untuk mempertahankan kekuasaan otoritarian berkelanjutan senantiasa berkorelasi dengan harga diri penguasa, loyalitas para pendukung, dan aset sosial ekonominya sehingga tindakan melanggar hak asasi manusia (HAM) oleh penguasa otoriter dengan berbagai corak dan variasinya akan menjadi jalan yang tidak bisa dielakkan.

Konsekuensi logisnya, turbulensi kejahatan HAM yang terjadi menjadi masalah hukum dan kemanusiaan yang kompleks. Kejahatan berat HAM merupakan musuh seluruh umat manusia (hostis hominis generis) sehingga menjadi tanggung jawab bersama (erga omnes obligation) bagi rakyat, negara, dan masyarakat beradab internasional. Kejahatan berat HAM merupakan krisis martabat kemanusiaan yang merobek nurani kemanusiaan bangsa manusia, bukan hanya bangsa Jerman, Jepang, Amerika Latin, Serbia, Afrika Selatan, Indonesia, Kamboja, dan lainnya.

Utang sejarah

Kejahatan berat HAM selalu menjadi mendung dan sisi gelap perjalanan bangsa. Memori kolektif masyarakat internasional dapat muncul dan mengasosiasikan kejahatan HAM oleh Hitler dengan Jerman, jugun ianfu dengan Jepang, genosida antara Tutsi versus Hutu di Rwanda, Serbia versus Herzegovina di bekas Yugoslavia, apartheid di Afrika Selatan, pembunuhan massal di Kamboja, dan lain sejenisnya.  Untuk itu, utang sejarah dalam krisis kemanusiaan harus diselesaikan melalui keadilan transisional (transitional justice). Dalam upaya realisasi keadilan transisional selalu ada dua lembaga kembar yang lahir, yaitu Pengadilan HAM Ad Hoc atau tribunal dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) atau Truth and Reconciliation Commission (TRC).

Harus dicatat bahwa hubungan dua lembaga kembar tersebut bersifat pelengkap (complement), bukan pengganti (substitute).  Dengan demikian, proses hukum di Pengadilan HAM Ad Hoc tidak menegasikan proses rekonsiliasi dan sebaliknya. Sebenarnya negara kita Indonesia telah pernah memiliki UU No 27 Tahun 2004 tentang KKR (Kompas, 18/5/2015), tetapi ironisnya undang-undang tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Pada Pengadilan Ad Hoc Nuremberg Tribunal yang mengadili petinggi Nazi, Tokyo Tribunal, International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICTY), International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) dan sesudahnya, tanggung jawab berada pada individu pelaku, bukan pada negara seperti yang berlaku sebelumnya. Jika tanggung jawab dibebankan kepada negara, akan terjadi impunity (kebebasan dari hukuman) para pelaku kejahatan HAM. Dengan demikian, jelas bahwa tanggung jawab yuridis kasus HAM masa lalu  ada di pundak individu pelaku, bukan pada negara.

Mekanisme keadilan restoratif (restorative justice) menjadi salah satu instrumen penyelesaian kasus HAM masa lalu.  Untuk itu, diperlukan mediator andal dan kompeten dalam memproses mediasi penal. Mediator harus terjun langsung berkomunikasi dengan para korban dan pelaku tanpa melalui perantara. Mediator dituntut memiliki dasar keilmuan, seperti psikologi, komunikasi, dan lain sejenisnya, sehingga bukan hanya sekadar tukang protes atau pengeluh yang kronis atau orang yang tak representatif mengatasnamakan korban. Predikat Indonesia sebagai bangsa yang besar harus dijawab dalam kemampuan menyelesaikan kasus HAM masa lalu yang dihadapi pemerintahan saat ini. Kejahatan HAM membuat kita, bangsa Indonesia, yang memiliki nurani keadilan menjadi malu. Beban sejarah kasus HAM masa lalu mencederai  predikat negara berkeadaban dan berperikemanusiaan.

Penyelenggaraan Pengadilan HAM Ad Hoc merupakan upaya pencerahan atas sisi gelap perjalanan bangsa agar pembangunan negara tidak tersandera oleh masa lalu. Penyelesaian kejahatan HAM yang berkualifikasi most serious crimes melalui penuntutan ke pengadilan sering mengalami keterbatasan untuk mewujudkan keadilan. Namun, hal itu harus tetap dilaksanakan untuk menegakkan martabat bangsa. Belajar dari apa yang telah dilaksanakan di Afrika Selatan, Amerika Latin, Sierra Leone, Kamboja, dan lain sejenisnya, negara kita Indonesia dituntut untuk mencerahkan mendung kasus HAM masa lalu. Untuk itu, kelahiran Pengadilan HAM Ad Hoc biasanya yang memberlakukan ex post facto law atau hukum yang bersifat retroaktif, harus dipahami secara kolektif bahwa keadilan transisional adalah demi keadilan dan kemanusiaan, bukan legalistik semata. 

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Keberadaan TRC ditujukan untuk mewujudkan restorative justice atau total justice guna membangun kembali ekuilibrium metafisik dan relasi sosial kehidupan korban kejahatan HAM dan/atau keluarganya, lingkungan masyarakatnya, para pemangku kepentingan, juga pelaku kejahatan. Dengan adanya upaya restoratif tersebut, gairah kehidupan sosial akan berpendar kembali dan dapat membangun peradabannya.

Secara konstitusional dan yuridis negara Indonesia terikat untuk mematuhi ketentuan tentang HAM. Di samping telah dengan tegas jaminan perlindungan HAM dalam Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab, dan UUD 1945 dengan amandemennya, juga ada UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang mengadopsi Statuta Roma, dan konvensi internasional lain.

Negara Indonesia juga telah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau kovenan hak-hak sipil dan politik dengan UU No 12 Tahun 2005 yang dalam Pasal 2 Ayat (3)a menentukan: setiap negara pihak kovenan ini berjanji: a) untuk menjamin bahwa setiap orang yang hak-haknya atau kebebasan-kebebasannya yang diakui kovenan ini dilanggar harus memperoleh ganti rugi yang efektif meskipun pelanggaran dilakukan oleh orang-orang yang memegang jabatan resmi.

Penyelesaian perkara HAM melalui jalur prosekutorial menuntut adanya pemenuhan prosedur hukum acara, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan proses di pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Dengan demikian, penyelesaian perkara pidana atau kejahatan HAM melalui KKR merupakan konsekuensi etis dari adanya keterbatasan hukum  per se.  Dari banyak faktor yang memberi kontribusi adanya keterbatasan hukum, terutama dalam penegakan hukum HAM, masalah political will menjadi determinan.

Apalagi dalam konteks proses peradilan HAM ad hoc di Indonesia yang menuntut adanya ketersediaan profesionalisme para penegak hukum, baik penyidik, penuntut umum, hakim, maupun penasihat hukum.  Dalam hubungan ini belum ada yang membantah secara resmi buku Prof David Cohen tentang  Pengadilan HAM Ad Hoc di Indonesia yang menyatakan Intended  To Fail yang intinya menyatakan Pengadilan Ad Hoc dalam kasus Timor Timur gagal.

Secara yuridis, pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran berat terhadap HAM. Pelakunya adalah setiap orang yang mencakup pengertian orang perorangan, kelompok orang, baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual. Dalam praktik sering timbul perbedaan penafsiran terhadap penerapan Pasal 42 UU No 26 Tahun 2000 tentang pertanggungjawaban komando atau atasan. Dengan demikian, timbul perbedaan tafsir karena ada yang menyatakan, untuk mengadili dan menyatakan bersalah seorang komandan atau atasan, harus ada bawahan dulu yang diadili dan dinyatakan bersalah, sedangkan pendapat lain menyatakan tak perlu harus ada bawahan dulu yang dipidana.

Sebagai orang yang ikut mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di tingkat kasasi dalam kasus Timor Timur dan Tanjung Priok, saya merasakan adanya keterbatasan hukum untuk mencapai keadilan substantif dalam proses pengadilan. Selain faktor keterbatasan bunyi teks pasal aturan hukum, proses pengadilan tak lepas dari ideologi atau sistem nilai yang dimiliki para penegak hukum.

Penegakan hukum kasus HAM sejatinya merupakan pencerahan terhadap sisi gelap perjalanan peradaban bangsa suatu negara dan peradaban bangsa manusia. Untuk itu, diperlukan  adanya kesadaran kolektif dari stakeholder agar penegakan hukum melalui Pengadilan Ad Hoc dapat berproses secara independen di samping upaya non-penal demi tegaknya martabat bangsa manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar